Tuesday, 5 January 2010

OTSUS BUKAN FINAL SOLUTION

06 Januari 2010 08:49:34

JAYAPURA-Adanya pernyataan dari Anggota Pokja Papua di Jakarta, Frans Maniagasi bahwa Otonomi Khusus (Otsus) merupakan satu-satunya solusi bagi Papua untuk saat ini dan masa mendatang mendapat respon beragam dari berbagai pihak.
Wakil Ketua Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) Ir. Weynand Watory berpendapat, Otsus seharusnya diperjelas terlebih dahulu letak posisinya dalam perkembangannya hingga sekarang, sebab belum ada kesepakatan antara Jakarta dengan Papua, dimana Jakarta melihat Otsus sebagai final solution, namun orang Papua menilai Otsus bukan final solution.
"Dua hal ini kan belum sepakat, oleh karena itu dari awal titik mulainya Otsus di Papua sudah terbelah dua sehingga dalam perjalanannya penafsiran bermacam-macam, dimana ada yang menilai Otsus sebagai win-win solution, sehingga bagi orang Papua Otsus bukan final solution namun masih harus diperdebatkan untuk melihat proses yang ada di dalamnya karena UU Otsus sendiri menyebutkan perlu pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi untuk meluruskan sejarah. Jadi harus ada dialog untuk kita berbicara soal Otsus karena belum final," ujarnya.
Bahkan, orang Papua dari awal mengatakan ada masalah dan dengan diberikannya Otsus bukan kemudian selesai masalah, karena orang Papua dalam kongres menuntut merdeka namun yang diberikan bukan merdeka berarti belum selesai masalah. "Dalam arti masih ada yang harus diselesaikan lewat dialog, namun kemudian secara sepihak pemerintah Indonesia yang berikan UU Otsus sebagai penyelesaian namun orang Papua tidak meminta Otsus," katanya.
Menurutnya permasalahan ini mesti diselesaikan lewat dialog, supaya ada kesepakatan. Dengan demikian, semua apa yang sudah dikerjakan tidak akan muncul berbagai perbedaan penafsiran dan pemikiran sehingga tidak akan selesai.
"Untuk itu yang bisa mengembalikan titik temu sebelum masalah semakin besar maka harus dilakukan dialog untuk berbicara, pemerintah Indonesia harus berani membuka ruang untuk dialog. Karena kalau pun Otsus ini diperpanjang maka masalah akan semakin panjang dan besar, sebab tidak ada titik temu, oleh karena itu sebelum jauh jaraknya maka harus dilakukan dialog," tambahnya.
Disinggung soal tidak adanya koordinasi dan agenda bersama antara tiga unsur yaitu Pemprov Papua, DPRP dan MRP, menurutnya hal itu sebagai komponen kecil dari proses kekacauan yang besar, karena antara pemberi Otsus dan penerima tidak pernah berbicara sepakat, apalagi orang dengan penafsiran berbeda sehingga berjalan sendiri-sendiri dikarenakan UU ini tidak dibuat peraturan pelaksananya.
"Bahkan yang mengatur untuk berjalan secara bersama-sama tidak ada rambu-rambunya sehingga berjalan sendiri," imbuhnya.
Namun demikian, semua masyarakat membutuhkan waktu untuk mengevaluasi, kemudian melihat dialog tersebut sebagai alternatif untuk berbicara. "Karena kalau tidak, maka semua harapan yang semua orang berbicara tidak ada menghasilkan apa-apa bahkan Papua bisa semakin berbahaya," pungkasnya.
Sementara Sekda Provinsi Papua, Drs. Tedjo Soeprapto,MM berpendapat, Otsus bukan masalah satu dua orang saja tapi adalah masalah bersama, dan memang Otsus meruapakan solusi dalam menyelesaikan masalah di Papua khususnya masalah kesejahteraan bagi masyarakat Papua yang selama ini umumnya patut mendapatkan perhatian serius untuk diberdayakan dan memandirikan kehidupannya di segala aspek kehidupan menjadi lebih baik lagi dari sekarang ini.
Meski demikian, ia menandaskan, pada dasarnya selama ini anggapan banyak orang bahwa yang namanya Otsus adalah soal anggaran. Padahal anggapan tersebut salah.
"Karena yang namanya Otsus itu menyangkut banyak hal yang selama ini belum mendapatkan perhatian secara optimal, bahkan terlupakan oleh masyarakat sendiri. Dimana Otsus itu juga berarti bagaimana memampukan masyarakat untuk menggali potensi yang ada di lingkungannya itu demi menghasilkan pendapatan bagi dirinya dan keluarganya," katanya.
Untuk itulah mengenai masalah Papua dan Otsus itu harus dibicarakan bersama bukan saja antara Pemerintah, DPRP, MRP, tapi semua pihak untuk menyatukan persepsi yang sama untuk bagaimana baiknya Otsus itu dilaksanakan dalam meningkatkan derajat masyarakat Papua secara khusus dan masyarakat Papua pada umumnya.
Bukan seperti sekarang ini secara sendiri-sendiri mulai membicarakan masalah Otsus lalu membawanya keluar Papua yang tentunya tidak menyelesaikan masalah yang ada, tapi justru menamba masalah baru.
Di tempat terpisah, Ketua Umum Dewan Adat Papua (DAP), Forkorus Yaboisembut, S.Pd, menandaskan, sesuai dengan atuan HAM, maka wajar-wajar saja orang menyampaikan pendapatnya.
Namun ia mempertanyakan pernyataan Frans Maniagasi apakah mewakili seluruh masyarakat adat Papua sehingga mengeluarkan statmen seperti itu ataukah hanya mewakili pribadinya saja.
Menurutnya, seharusnya pikiran-pikiran demikian dibawa ke dalam forum adat lalu dibicarakan bersama di para-para adat untuk memutuskan apakah pemikiran itu mewakili masyarakat adat atau bukan. Dengan kata lain apakah pemikiran itu disetujui oleh masyarakat adat?.
"Jadi dengan tegas saya nyatakan pernyataan Frans Maniagasi itu tidak mewakili masyarakat adat, karena pemikirannya itu tidak dibawa dan diputuskan dalam sidang adat," tegasnya.
Dikatakan, Otsus pada dasarnya belum bisa dikatakan solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah yang dialami masyarakat Papua. Karena sejak sekian tahun lamanya Otsus diberlakukan di Papua, hingga kini belum menyelesaikan masalah yang mendasar di Papua.
Karena pada awalnya undang-undang (UU) Otsus itu dirancang, telah melenceng dari amanat Otsus yang sebenarnya. Dimana draf awal UU Otsus itu dirubah dari drafnya yang asli sebelum disahkan menjadi UU seperti sekarang ini.
"Implementasinya tidak jalan, karena Peratuan Pemerintah (PP) belum turun, sehingga bagaimana Perdasus itu bisa dilaksanakan dengan baik dalam menjawab persoalan di masyarakat. Otsus hanya jalan dengan keputusan presiden, bagaimana bisa pelaksanaan Otsus akan optimal dalam memproteksi masyarakat asli Papua untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka," tandasnya.
"Kebijakan (Aturan) tertulis saja bisa dirubah, apalagi secara lisan. Keppres itu kan tidak bisa memperkuat suatu UU dalam pelaksanaannya. Ini tidak bisa menjamin masa depan Papua. Jadi kami sekarang ini hanya mau dialog antara Indonesia dan Papua. Jangan alihkan masalah dengan menambah masalah," sambungnya.
Sementara Ir. N.A Maidepa, M,App,Sc, anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) yang juga Ketua Badan Kehormatan lembaga representasi kultural orang asli Papua itu mengatakan, masalah Papua hendaknya dilihat secara utuh bahwa persolannya dimulai dari mana dan berakhir dimana.
Sebab yang ia lihat selama ini, semua hanya meraba-raba dan tidak mengerti persoalan yang sebenarnya. Yang menyusun Undang Undang Otsus Papua justru disusun sesuai dengan kepentingan masing - masing.
Ia juga menilai bahwa keistimewaan yang ada di dalam UU Otsus bagi orang asli Papua tidak berjalan sesuai dengan semestinya. Contoh kecil, MRP yang tidak memiliki wewenang apapun bahkan tidak memiliki peran dipentas politik. Tak hanya itu perjuangan MRP soal 11 kursi bagi orang asli Papua di DPRP dan 9 kursi di DPRD Provinsi Papua Barat tak pernah dikabulkan. "Betapa sulitnya kami memperjuangka 11 kursi itu," ujarnya. Khusus masalah ini ia mengharapkan ada suatu mekanisme yang mengakomodir 11 kursi sehingga anggotanya harus orang asli Papua.
Lebih jauh Maidepa menilai bahwa persoalan Papua yang sebenarnya bukan seperti yang selama ini didengung-dengungkan bahwa masalah Papua adalah masalah kesejahteraan. "Bukan, bukan itu, masalah Papua yang sebenarnya adalah masalah politik. Tetapi yang terjadi masalah politik dibelokan menjadi masalah kesejahteraan. Padahal substansinya bukan itu," terangnya.
Karena membelokan masalah Papua yang sebenarnya ini, tak heran kalau kemudian sampai sekarang ini Otsus belum juga mampu menyelesaikan masalah Papua dan belum membawa perubahan yang signifikan kendati implementasi Otsus telah berlangsung delapan tahun lebih. "Jadi kalau Otsus itu solusi kenapa sampai sekarang belum ada hasilnya. Itu karena solusinya tidak sesuai dengan akar masalahnya. Minimal kita bisa melihat hasil awal, tetapi mana," katanya seraya mengacungkan tangan.
Maidepa mengatakan bahwa jangan melihat keberhasilan Otsus dengan orang Papua yang sudah menjadi bupati atau orang Papua banyak yang menduduki jabatan strategis karena sebaliknya kondisi rakyat asli Papua masih begitu - begitu saja. Itu berarti Otsus belum mencakup inti yang sebenarnya.
Kata dia, jika dilihat secara jernih, keinginan orang Papua sebenarnya hanya satu yakni berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan bangsa - bangsa lainnya di dunia. "Itu saja, serahkan kepada masyarakat Papua untuk selesaikan masalahnya sendiri," paparnya.
Karena itu, ia tidak setuju dengan tawaran dialog atau dibukanya suatu forum dan sebagainya, menurut dia hal itu tidak akan menyelesaikan masalah, sebaliknya cara itu justru akan memperumit keadaan. Satu-satunya cara yang dia merasa sependapat adalah gagasan LIPI yang menawarkan konsep Papua road map yakni suatu model penyelesaian konflik Papua secara mendasar dan komprehensif. "Intinya, selesaikan msalah Papua secara ilmiah," tandasnya.(nal/nls/ta/fud)
(scorpions)

No comments: