Friday, 15 January 2010

Menengok Anak-anak Papua yang Digembleng Matematika dan IPA di Surya Institute

15 Januari 2010 10:25:25
Ditekan Menangis, Sepuluh Bulan Siap Terjun di OlimpiadeTAK ada anak Indonesia yang bodoh. Itulah yang diyakini pendiri Surya Institute Prof Yohanes Surya PhD. Berbekal keyakinan tersebut, dia merekrut 27 anak Papua secara acak untuk digembleng di lembaga yang dipimpinnya. Kini, setelah sepuluh bulan, sebagian di antara mereka siap diterjunkan dalam ajang olimpiade.TITIK ANDRIYANI, Jakarta"Delapan lima pangkat dua hasilnya berapa Merlin?" tanya Bambang Susianto, salah seorang pengajar matematika di Surya Institute, sebuah lembaga yang konsen mempersiapkan siswa-siswi Indonesia mengikuti olimpiade matematika dan IPA internasional.Mendapat pertanyaan tersebut, kening Merlin Kogoya, siswa kelas IV SD YPPGI, Kabupaten Tolikara, Papua, mengernyit sejenak. Sekitar tiga detik kemudian, dia langsung melontarkan jawaban. "Tujuh ribu dua ratus dua puluh lima," jawabnya yakin. Sejurus kemudian, Bambang mencercanya dengan berbagai pertanyaan hitung-hitungan. "Kalau 72 x 18 berapa?" ujarnya lagi. Dengan tangkas bocah berusia sembilan tahun tersebut langsung menjawab, 1.286. Bambang pun tersenyum puas. Sebab, dari hari ke hari, kemampuan siswa didikannya semakin matang dalam berhitung numerik. Sesaat kemudian, pandangan Bambang tertuju kepada Christian Murib, anak Papua lain dari SD YPPK Betlehem, Wamena. Lalu, Bambang berjalan menuju papan tulis putih di depan kelas. Dia menuliskan 415.624 akar delapan. Kemudian, dia meminta Christian menghitung jawaban soal itu. Bocah berusia 11 tahun tersebut maju dan langsung menulis jawaban seolah tanpa berpikir. "Kami memang melatih mereka berhitung cepat dengan metode khusus," terang Bambang. Selain Merlin dan Chriatian, 25 anak Papua lainnya saat ini tengah mendapat pelatihan khusus di Surya Institute. Pendiri Surya Institute, Prof Yohanes Surya, mengungkapkan, sejak setahun lalu pihaknya mengambil para siswa yang berkemampuan kurang untuk dilatih belajar matematika. Dia mengambil para siswa dari Papua. Sebab, Yohanes memiliki pengalaman yang membuat hatinya tergerak untuk mendidik anak-anak Papua. Dia pernah melontarkan soal sederhana tentang penjumlahan kepada salah seorang siswa di Papua. "Berapa 18 ditambah 5?" tanyanya ketika itu. Sang siswa yang mendapat pertanyaan tersebut berpikir cukup lama. Dibuatnya garis-garis kecil sejumlah bilangan yang ditanyakan. Kemudian, dihitungnya garis-garis tersebut satu per satu. Hati Yohanes trenyuh. Sebab, untuk menjawab soal sederhana itu saja dibutuhkan waktu cukup lama.Yohanes menyakini, bila metode pembelajaran diberikan dengan baik, anak-anak itu pun bisa menyerap pelajaran secara baik. Selain itu, dia percaya anak-anak Papua memiliki kemampuan yang tidak kalah oleh siswa di Jawa atau daerah lain di Indonesia yang lebih maju, asalkan diberi kesempatan yang sama. Dia ingin membuktikan bahwa keyakinannya tersebut bukanlah sebuah kesalahan. Karena itu, dia memilih Papua, daerah yang dinilai terbelakang dalam banyak hal. Dengan persetujuan sekolah, orang tua, serta pemda setempat, 27 anak Papua dibawa ke Surya Institute, Tangerang. Mereka dipilih secara acak dari Kabupaten Tolikara, Waropen, Sorong Selatan, Lani Jaya, dan Wamena.Tidak ada seleksi. Sebisa mungkin mereka yang terpilih justru yang memiliki kemampuan di bawah rata-rata. Mereka digembleng di pusat pelatihan matematika dan fisika tersebut. Para pengajarnya adalah ahli matematika, geometik, dan fisika.Sepuluh bulan telah berlalu. Merlin dan kawan-kawan semakin jago berhitung. Termasuk, memecahkan soal-soal tersulit sekelas olimpiade. Tak urung, lantaran hasil belajar yang ditunjukkan mereka dinilai memuaskan, Yohanes berencana mengikutsertakan beberapa di antaranya ke olimpiade.Sejatinya, kata Yohanes, awalnya Surya Institute tidak bermaksud menyiapkan anak-anak itu ke olimpiade. Namun, seiring berjalannya waktu, terlihat ada beberapa siswa yang memiliki potensi khusus di bidang matematika dan fisika. Di antaranya, Merlin dan Christian.Yohanes pun akhirnya ingin mempersiapkan mereka secara khusus untuk bertarung menuju olimpiade sains nasional (OSN) yang tiap tahun dihelat pemerintah. "Kalau berhasil di OSN, dengan sendirinya mereka akan melenggang menuju olimpiade internasional," terang pria kelahiran 6 November 1963 tersebut. Dia menjelaskan, tiap hari mereka dididik belajar matematika selama empat jam. Mereka diberi materi pelajaran matematika secara intens. Pada bulan pertama, anak-anak itu diberi buku khusus matematika yang amat tebal. Materinya, soal-soal penjumlahan, perkalian, dan pembagian. Selama sebulan soal-soal di buku tersebut harus dituntaskan."Jika bisa menyelesaikan materi itu, berarti mereka sudah menguasai kemampuan dasar matematika kelas 1 sampai kelas 6," terang fisikawan itu. Mereka diajari berhitung dengan amat cepat. Pada bulan kedua dan seterusnya, kata Yohanes, mereka diberi metode lanjutan. Termasuk, trik-trik menyelesaikan soal-soal dengan berbagai tingkat kesulitan. Yohanes memiliki metode khusus untuk membuat siswa cepat menangkap materi yang diajarkan. Metode penghitungan yang diberikan berbalik dengan cara penghitungan yang jamak dipakai. "Kalau biasanya menghitung penjumlahan dari belakang, metode saya justru terbalik. Yaitu, dari depan. Lebih cepat dan mudah," ujarnya.Tak hanya itu, mereka juga dibekali kemampuan bahasa Inggris dan kepribadian. Anak-anak Papua tersebut juga diberi pelajaran komputer. "Kami juga mengajarkan character building kepada mereka," jelasnya.Kemampuan mereka pun terasah. Merlin mengaku kemampuan berhitungnya berkembang amat pesat. Dia juga tidak mengira bahwa belajar matematika amat menantang dan mengasyikkan. Karena itu, dia menuturkan ingin menjadi profesor matematika kelak."Sebab, belajar matematika itu asyik," ungkap bocah berambut ikal tersebut. Keinginan Merlin juga diiyakan temannya, Christian. "Saya juga ingin jadi profesor matematika," ujarnya lantas tersenyum.Yohanes begitu bangga pada cita-cita dua anak itu. Kemudian, mereka diberi soal phytagoras. Dengan tangkas dan penuh antusias, Merlin dan Christian berebut menjawab. "Keduanya saat ini bahkan bersaing dengan anak saya yang seumuran mereka," ujar Yohanes. Menurut dia, anak-anak Papua memiliki keunikan tersendiri. Pendiri Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI) itu menyatakan, mereka tak sekadar diajari hingga pintar matematika dan IPA. Tapi, mereka juga belajar karakter budaya. "Mereka punya kekhususan. Kalau ditekan, mereka menangis. Ada juga yang melawan. Bergantung sukunya. Karena itu, kami memakai pendekatan budaya," jelasnya. Sebelum membawa 27 siswa dari Papua tersebut, Yohanes mengorbitkan Septinus George Saa dari SMA Negeri 3 Wamena, Papua. Septinus berhasil meraih penghargaan The First Step to Nobel Prize pada 2003. Setahun kemudian, dia membimbing siswi dari Papua lainnya, Anneke Bowaire dari SMA Serui, yang berhasil merebut gelar The First Step to Nobel Prize pada 2004.Alumnus Fisika College of William and Mary, Virginia, AS, tersebut menuturkan, ke depan, Surya Institute berencana meminta semua kabupaten di Papua memilih anak-anak yang dianggap paling "bodoh" di daerahnya. Bakal diminta satu anak dari tiap kabupaten. Mereka akan dididik di Surya Institute selama enam bulan. Bukan hanya siswa, para guru di daerah tersebut juga akan dilatih. Dari tiap kabupaten akan diambil 10 guru. Bersama LSM World Vision, pihaknya akan menjaring guru serta siswa di daerah terpencil dan suku pedalaman untuk digembleng di lembaganya.Para guru itu akan diberi pelatihan metode pengajaran yang baik. Mereka akan mempraktikkan langsung materi yang didapatkan kepada para siswa. Tujuannya, memperbaiki metode pengajaran guru-guru tersebut selama ini. Juga, meningkatkan rasa percaya diri mereka. Dengan demikian, sekembali dari Surya Institute, mereka bisa melatih guru lain di daerah masing-masing. Menurut Yohanes, jika seorang guru itu minimal bisa melatih 10 guru lain, akan ada 100 guru yang bisa ditulari untuk mengajar dengan baik. "Artinya, nanti ada 110 guru yang memiliki kemampuan mengajar dengan baik," jelas peraih nilai summa cum laude di College of William and Mary Virginia itu. Kemudian, jelas Yohanes, jika seorang guru setidaknya bisa melatih 10 siswa untuk belajar matematika dengan baik, akan ada 1.100 anak yang bisa menguasai matematika dengan baik. "Sebanyak 110 guru dikali 10 anak akan menghasilkan 1.100 siswa yang dapat menguasai matematika," tegasnya.Setelah itu, siswa Papua lainnya akan dijaring. Diharapkan, ada 5.000 anak Papua yang nanti pintar matematika. Itulah konsep yang dia gagas. Akhir bulan ini, para guru dan siswa tersebut mulai digembleng di lembaganya. Yohanes mengungkapkan, selama ini juara olimpiade selalu berkiblat pada Tiongkok. Dia ingin mengubah persepsi tersebut. Karena itu, Yohanes bermimpi ingin melahirkan 3.000 doktor pada 2030. Mereka harus menguasai sains dan teknologi. Calon doktor itu akan disekolahkan ke luar negeri. Untuk mewujudkan impian itu, pihaknya akan bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan Nasional dan menggandeng BUMN-BUMN yang ada. Termasuk, merangkul pemerintah provinsi. Dia memaparkan, jika tiap kabupaten/kota bisa berkomitmen mengirim lima siswa untuk belajar ke luar negeri, akan ada 2.000 anak yang bisa menikmati belajar di negara di seluruh dunia. "Lima anak kali 400 kabupaten/kota di Indonesia akan menghasilkan 2.000 anak," jelas kepala pusat penelitian nanoteknologi dan bioteknologi di The Mochtar Riady Center for Nanotechnology and Bioengineering di Karawaci, Tangerang, tersebut. Sementara itu, 1.000 anak lainnya akan dikirim melalui beasiswa yang diberikan perusahaan-perusahaan, Kementerian Pendidikan, maupun stakeholder yang peduli terhadap pendidikan. Yohanes meyakini mimpi itu bisa menjadi kenyataan. Sama dengan mimpi yang berhasil direalisasikan Tiongkok dalam 20 tahun terakhir ini. Surya Institute, kata dia, siap memelopori terwujudnya gagasan tersebut. Dia juga mengimpikan pada 2020 ilmuwan Indonesia bisa meraih Nobel. (**/nw)(scorpions)
http://www.cenderawasihpos.com/detail.php?ses=&id=1688

No comments: