Wednesday 22 July 2009

Mencegah Jatuhnya Korban Penembakan di Papua


Neles Tebay
Akhir-akhir ini, Papua menjadi daerah yang sering terjadi penembakan. Korban pun berjatuhan. Rakyat Papua sudah merasa bosan, bahkan jenuh mendengar berita tentang penembakan. Sejumlah kasus yang terjadi, beberapa minggu terakhir, seperti pada Minggu (12/7), penembakan di Kabupaten Mimika, tepatnya di jalan raya yang menghubungkan Kota Timika dan Distrik Tembagapura di mana PT Freeport Indonesia mengeksploitasi emas dan tembaga. Penembakan oleh orang yang tidak dikenal itu menewaskan dua orang dan melukai enam lainnya.

Sebelumnya, Sabtu (11/7), terjadi penembakan di jalan raya yang sama dan menewaskan seorang warga negara Australia. Pihak TNI menduga kelompok dari Tentara Pembebasan Nasional/OPM di bawah pimpinan Kelly Kwalik yang melakukannya. Sementara, pihak kepolisian masih melakukan penyelidikan.

Di Kabupaten Yapen, kontak senjata terjadi dua hari (10 dan 12/7) antara pihak kepolisian dan kelompok TPN/OPM di bawah pimpinan Erich Manitori. Sebelumnya, tiga anggota TPN/OPM menderita luka tembak dalam kontak senjata dengan aparat gabungan polisi dan TNI di Distrik Poiway pada 2 Juli.

Di Enarotali, ibukota Kabupaten Paniai, pada 30 Juni, seorang warga sipil tewas dan tiga lainnya menderita luka serius, karena ditembak. Di Kota Nabire, 25 Juni, seorang warga sipil, Melkianus Agapa tewas ditembak.

Sehari sebelumnya (24/6) di Kabupaten Puncak Jaya, seorang anggota Brimob Briptu (Anm) Achmad tewas ditembak oleh kelompok bersenjata yang tak dikenal. Penembakan terjadi sekitar 50 meter dari Pos TNI 754 di Kampung Katoba, Distrik Tingginambut. Sebelumnya (22/6), Izak Psakor (16) menderita luka serius karena ditembak di Distrik Arso Timur, Kabupaten Kerom. .

Mengamati sejumlah peristiwa di atas, tampak jelas bahwa pihak yang menjadi korban penembakan bervariasi antara masyarakat sipil, anggota Brimob, dan WNA. Berbagai peristiwa penembakan menimbulkan pertanyaan: Apakah Papua sudah dijadikan arena penembakan? Apa yang dikejar sebagai sasaran akhir dari semua peristiwa penembakan? Apakah semua peristiwa penembakan mempunyai kaitan atau berdiri sendiri? Diharapkan, pihak kepolisian mengidentifikasi para pelaku penembakan, menemukan motif dan sasaran akhir.


Solusi

Selain membongkar misteri di balik berbagai aksi penembakan, saya melihat ada hal penting untuk dipikirkan bersama oleh para stakeholders di Papua dan Jakarta, bagaimana mengakhiri berbagai penembakan ini secara damai dan mencegahnya agar tidak terulang.

Solusi yang tepat menuntut pemahaman yang benar tentang penyebab dari peristiwa penembakan. Diagnosis yang keliru akan melahirkan solusi yang tidak tepat. Dan pemaksaaan solusi yang keliru akan memperkeruh dan memperumit masalah. Maka diperlukan suatu cara yang tepat untuk memahami persoalan yang sebenarnya, agar dapat menemukan solusi yang tepat.

Perlu ditegaskan, berbagai peristiwa penembakan bukan karena Papua kekurangan jumlah petugas keamanan. Sekalipun jumlah petugas ditambah, penembakan masih berlangsung.

Sejak Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua mulai diimplementasikan, diperkirakan jumlah anggota TNI di Papua bertambah banyak. Indikasi penambahan ini dapat dilihat dari bertambahnya jumlah Korem, pembentukan sejumlah Kodim baru seiring kebijakan pemerintah yang mendirikan kabupaten-kabupaten baru, pendirian beberapa Batalion Infanteri (Yonif), penambahan pasukan di batalion lama, dan penambahan pos-pos keamanan sepanjang daerah perbatasan dengan Papua Nugini (PNG).

Berbagai peristiwa penembakan, entah siapa pun pelaku dan korban, hanyalah percikan-percikan dari satu hal, yakni konflik Papua yang belum dituntaskan secara menyeluruh. Konflik ini melibatkan dua pihak, yakni Pemerintah Indonesia dan orang asli Papua. Selama kedua belah pihak memandang satu sama lain sebagai musuh, dan selama hubungan diantara mereka diwarnai oleh sikap saling mencurigai dan tidak saling percaya, selama itu pula konflik Papua akan terus melahirkan berbagai percikan dalam bentuk aksi kekerasan. Artinya, aksi penembakan akan terus terjadi dan korban akan terus berjatuhan selama konflik Papua belum dituntaskan secara menyeluruh.

Peristiwa penembakan di Papua, akhir-akhir ini, mengirimkan pesan kepada pemerintah, terutama kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), bahwa konflik Papua masih harus diselesaikan secara menyeluruh dan tanpa pertumpahan darah untuk mencegah jatuhnya lebih banyak korban pada masa depan.


Penulis adalah Pengajar pada Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Fajar Timur, Abepura, Papua
http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=9333

Teror dan Bahaya "Failed State!"


Christianto Wibisono
Majalah Foreign Policy, Juli/Agustus 2009, masih menempatkan Indonesia di zona in danger dalam indeks failed state. Bila elitenya masih selalu menggunakan pola Orde Baru yang "sepupu" dengan teror. Itu tidak akan berhasil menumpas terorisme. Sebab, jati diri elite itu sendiri masih tersandera oleh gen impunitas praktik pelanggaran HAM pola Orde Baru. Teror JW Marriott dan Ritz Carlton tidak lepas dari penyakit generic terorris dari oknum yang memakai nama identitas Nur Hasbi. Yang check in 15 Juli dan check out 17 Juli, langsung ke akhirat bersama 9 korban bom bunuh dirinya.

Pakar terorisme dari International Crisis Group (ICG), Sidney Jones, dalam wawancara dengan pelbagai jaringan TV menyatakan, oknum Nur Hasbi merupakan bagian dari sempalan Jamaah Islamiyah (JI). Sebagian sudah berganti nama atau sudah bertobat dari gerakan kekerasan menjadi gerakan dakwah. Media massa juga menampilkan Nasir Abbas, mantan anggota komplotan Noordin M Top, yang sekarang sudah menjadi "pendakwah" bersama 580 mantan JI lain. Nasir dkk, menjadi bagian dari operasi "appeasement" Polri untuk mempertobatkan mantan rekan-rekan teroris agar menjadi orang baik-baik. Juga, tersiar pernyataan Jamaah Islamiyah bahwa JI tidak terlibat dengan pengeboman Jakarta.

Teror 17 Juli membuat berang Presiden SBY, dan dalam pidato Jumat siang, mengungkit laporan intelijen tentang rencana pembunuhan, kekacauan, dan pendudukan kantor KPU serta revolusi semacam Iran. Yang langsung ditanggapi oleh Megawati, Prabowo, dan Jusuf Kalla serta para pengamat. Malamnya, Rafsanjani dalam kotbah Jumat siang, waktu Teheran, mengecam Ahmadinejad dan menyatakan Iran dalam keadaan krisis karena pilpres yang dinilai curang. Pernyataan SBY tentu bukan main-main karena dalam era real time internet, pelbagai peristiwa di seluruh penjuru dunia akan saling memengaruhi dan memicu inspirasi dalam itikad baik maupun hasutan teror.


Mengutuk

Bangsa Indonesia sekarang harus membuktikan setelah serangan 17 Juli bahwa tidak ada lagi toleransi untuk kebiadaban. Apalagi yang bermotif politik warisan Orde Baru, yang dikombinasi dengan terorisme internasional untuk menghancurkan citra RI. Dewan Keamanan PBB yang bersidang dalam 12 jam, telah mengutuk pengeboman Marriott - Ritz Carlton. Watapri Marty Natalegawa, dengan meyakinkan telah berpidato dan diliput seluruh media massa, Indonesia akan membawa pelaku teror ke pengadilan apa pun motif politiknya.

Waktunya sudah tiba untuk elite Teheran dan Jakarta maupun dunia ketiga lain, tidak mudah belajar mempraktikkan demokrasi secara jujur dan adil. Tapi, tidak berarti demokrasi itu hanya monopoli Al Gore dan George Bush. Sebab pada tahun 2000, juga hampir terjadi anarki dan chaos ketika surat suara di Florida dihitung ulang beberapa kali, yang akhirnya memenangkan George Bush dan mengalahkan Al Gore. Waktu itu, almarhum Dan Lev sempat mengatakan bahwa AS mirip Dunia Ketiga yang perlu bantuan pengamat pemilu supaya jujur dan adil.

Pemilihan umum terbersih dan terjujur adalah waktu PM Burhanudin Harahap dari Masyumi menyelenggarakan Pemilu DPR 29 September dan 15 Desember untuk Konstituante. Padahal, Burhanudin Harahap baru diangkat menjadi Perdana Menteri pada bulan Agustus. Masyumi dan PNI muncul sebagai partai besar dengan jumlah kursi sama walaupun popular vote PNI lebih besar. Di tempat ketiga Nahdlatul Ulama dan di tempat keempat PKI. Setelah itu Bung Karno mendekritkan kembali ke UUD 1945 dengan sistem presidensial dan membubarkan DPR hasil pemilu 1955 itu pada 1960. Karena Masyumi dan PSI yang terlibat pemberontakan PRRI/Permesta dibubarkan dan anggota DPR dari kedua partai itu dipecat, dan dibentuk DPR Gotong Royong, di mana pimpinannya dijadikan anggota kabinet diberi pangkat menteri. Suatu keamburadulan eksekutif legislatif yang salah kaprah.

Bung Karno hanya 5 tahun berkuasa secara diktator karena sejak 1 Oktober 1965 mulai ditantang oleh "matahari baru", Soeharto yang menolak perintah Bung Karno untuk datang ke Halim. Secara merangkak Soeharto mengkup Bung Karno sejak 11 Maret 1966, dan kabinet 100 menteri dibubarkan setelah 15 menteri ditangkap pada 18 Maret 1966.

Soeharto kemudian mengadakan konsolidasi dan pemilu bohongan diawali tahun 1971. Soeharto terpilih terus dan hanya mengganti wakil presiden sebagai ban serep yang terus hilang lenyap, kecuali yang terakhir BJ Habibie. Napoleon dari Sulawesi ini menyerobot jadi presiden ketika Soeharto lengser. Mengundang dendam kesumat Soeharto yang tidak mau bertemu Habibie sampai akhir hayatnya.

Politik Indonesia karena itu, memang tidak pernah mengenal kompetisi secara sehat, beradab, dan berbudaya. Selalu harus melalui perselingkuhan, persekongkolan, kemunafikan dan watak Ken Arok. Soeharto diangkat oleh Sukarno seperti Zia ul Haq diangkat oleh Ali Bhutto, tapi Zia ul Haq tega menggantung Ali Bhutto. Suatu kebiadaban yang tidak pernah dikutuk oleh bangsa Pakistan. Sehingga akhirnya putri Bhutto, Benazir juga ditembak mati oleh lawan politik.

Di Indonesia banyak pembunuhan politik yang tidak terungkap tuntas, kecuali yang terjadi secara kasat mata, seperti penculikan dan pembunuhan jendral Yani cs oleh oknum Tjakrabirawa Letkol Untung cs. Hadisubeno, Ketua Umum PNI meninggal mendadak dalam kampanye pemilu 1971 begitu pula Subchan ZE, Ketua Umum PBNU meninggal dalam kecelakaan mobil di Arab. Djuanda meninggal mendadak setelah berdansa di Nirwana, night club pertama di Hotel Indonesia. Letjen KKO Hartono yang Sukarnois ditembak mati. Ali Murtopo sendiri juga mati mendadak. Baharudin Lopa, Agus Wirahadikusumah, dan Munir, meninggal mendadak secara misterius. Bung Karno sendiri sering mengalami percobaan pembunuhan berulang kali, seperti digranat di Cikini, ditembak ketika salat Idul Adha, ditembaki senapan mesin di Makassar, dan ditembaki dari pesawat MIG, tapi akhrinya malah meninggal dalam status tahanan politik oleh Jenderal Soeharto di rumah istri Jepangnya, Ratna Sari Dewi.

Metro TV Sabtu malam, juga memutar ulang dokumentasi kematian Arafat, di mana diungkapkan, ada 3 diagnosis kematian. Semuanya dinyatakan tidak mungkin, karena Arafat tidak menderita kanker, atau infeksi berat seperti HIV AIDS. Kemungkinan ketiga, diracun, juga tidak diketemukan. Jawabannya, ialah Arafat merasa terkucil, berdosa, bersalah, kapok, kikuk, dan menyesal. Kenapa ia tidak mau menerima perdamaian dengan Israel ketika Clinton menjadi comblang dengan Ehud Barak di Camp David, Juni 2000.

Ia menderita retak jiwa dengan istri hidup mewah di Paris. Sementara, pejuang Palestina bunuh diri bergelimpangan tanpa prospek karena telanjur bersikap ekstrem tidak mau mengakui Israel. Arafat meninggal karena tidak berhasil mengentaskan bangsa Palestina mencapai kemerdekaan. Dan kemudian malah ditinggalkan oleh kelompok garis keras Hamas yang jenuh dengan korupsi di rezim Arafat (kelompok Fatah). Kita perlu merenung nasib Arafat dan moral elite Jakarta dalam menyikapi teror serta masa depan demokrasi di Indonesia. Agar peringatan majalah Foreign Policy bahwa bahaya terpuruk menjadi failed state, masih tetap mengancam bagaikan drakula politik ingin menghisap dan menghancurkan Republik Indonesia dengan konspirasi teror dan pelanggaran HAM berat sebagai modus utama politik Orde Baru.

Penilis Adalah Pengamat Masalah Nasional dan Internasional
http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=9324

Penembakan di Freeport Mulai Terungkap

23 Juli 2009 06:01:27
CEPOS
Polda Papua Tetapkan 3 Tersangka
TIMIKA-Kapolda Papua Irjen Pol. Drs. Bagus Ekodanto menyatakan dari hasil penyelidikan dan penyidikan pasca penangkapan 15 warga sipil pada hari Senin dan Selasa (20-21/7), tiga orang diantaranya telah ditetapkan sebagai tersangka pelaku penembakan di Mile 51, Tembagapura beberapa waktu lalu.
"Kita sudah tetapkan tiga tersangka," kata Kapolda ketika dikonfirmasi wartawan melalui telepon seluler, Rabu (22/7) kemarin
Kapolda belum menyebutkan inisial ketiga tersangka. Namun sesuai keterangan Kapolda dalam jumpa pers di Mapolres Mimika, Selasa (21/7) lalu, diduga ketiganya adalah UY, VB dan SB.
Dalam keterangan pers yang disampaikan Kapolda sebelumnya, disebutkan bahwa dalam penyidikan, YU mengakui sebagai pelaku penembakan di Mile 51. Sedangkan SB, salah satu warga sipil yang ditangkap pada penyisiran Senin (20/7) lalu, dalam penyidikan mengaku menjabat sebagai komandan regu salah satu kelompok yang juga diindikasi membawa amunisi.
Kapolda kemarin (22/7) mengatakan, warga sipil lainnya yang sebelumnya ikut ditangkap, namun kemudian dalam pemeriksaan tidak cukup bukti terlibat dalam kasus penembakan tersebut, maka dipulangkan. " Sesuai aturan hukum yang berlaku, oleh penyidik Polda Papua gabungan, itu telah dipulangkan," kata Kapolda yang tidak menyebutkan jumlah warga sipil yang dipulangkan.
Kapolda menerangkan ketiga warga yang ditetapkan sebagai tersangka adalah warga sipil yang ditangkap secara terpisah di Mile 27 maupun yang ditangkap personel Densus 88 di Kwamki Baru, Distrik Mimika Baru, Senin (20/7) lalu.
Untuk diketahui, lewat penyisiran yang dilakukan polisi di Mile 27 pada Senin (20/7) lalu, lima warga sipil ditangkap. Kemudian delapan orang ditangkap di Kwamki Baru pada hari yang sama.
Warga sipil yang ditangkap di Mile 27 sekitar pukul 16.00 WIT Senin lalu, masing-masing berinisial NDK, SB, BN, YB dan YS. Di Mile 27, aparat juga berhasil menemukan barang bukti berupa 142 butir peluru berkaliber 5,56 mm bertuliskan PIN 8,5 dan PIN 91 dengan bungkusan coklat berlebel perindustrian TNI- AD.
Sekadar mengingatkan, beberapa kali kasus penembakan yang terjadi di Mile 48 hingga Mile 54 Distrik (Kecamatan) Tembagapura sejak 11-17 Juli lalu, telah menewaskan satu karyawan Freeport asal Australia, satu karyawan kontrak Departemen Security Freeport, satu anggota polisi yang jatuh di jurang serta lima anggota Brimob mengalami luka tembak.
Ditanya pengamanan, Kapolda mengatakan jajaran Polda Papua dan TNI terus melakukan pengamanan secara intensif. (lrk/eng)
http://www.cenderawasihpos.com/detail.php?id=30223

Tuesday 21 July 2009

Tersangka Pembakar Rektorat Uncen Diserahkan ke Jaksa

CEPOS 22 JULI 2009
JAYAPURA-Dua tersangka pembakaran gedung Rektorat Universitas Cenderawasih (Uncen) yang terjadi 9 pril 2009 pukul 03.00 WIT lalu, akhirnya diserahkan ke Kejaksaan Negeri Jayapura, setelah berkas penyidikannya dinyatakan lengkap alias P.21
Selain menyerahkan kedua tersangka, penyidik juga menyerahkan barang bukti kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk proses hukum selanjutnya.
“Berkasnya sudah masuk tahap II, sehingga tersangka dan barang buktinya kami serahkan hari ke jaksa,” ungkap Kapolresta Jayapura AKBP Roberth DJoenso SH didampingi Kasat Reskrim AKP Y Takamully SH, MH kepada Cenderawasih Pos, selasa (21/7).
Diungkapkan, dua tersangka yang diserahkan yaitu WW (39) seorang petani yang biasa mengumpulkan batu di kali Kampwolker Waena dan SH (22) seorang mahasiswa yang ditangkap di Nabire, 30 Mei lalu.
Dalam penyidikan yang dilakukan, menurut Kapolresta berkas kedua tersangka dipisahkan dan tersangka WW dijerat penyidik dengan pasal berlapis yakni primer pasal 170 ayat 1 ke-1e KUHP dan subsider pasal 406 KUHP dengan barang bukti berupa 1 motor Yamaha RX King.
Sedangkan, tersangka SH dijerat pasal berlapis yakni pasal 170 ayat 1 KUHP subsider pasal 406 dan pasal 363 ayat 1 ke-2e, 3e, 4 e dan 5 e KUHP dengan ancaman hukuman penjara maksimal 7 tahun, dengan barang bukti 1 buah kunci royal warna keemasan.
Kapolresta menjelaskan bahwa dalam kasus pembakaran gedung Rektorat Uncen beberapa jam sebelum pencontrengan Pemilu legislatif lalu, atau 3 jam setelah penyerangan Mapolsekta Abepura, pihaknya masih terus berupaya melakukan pengejaran terhadap pelaku pembakaran lainnya. “Kami masih mengejar pelaku lainnya,” tandas Kapolresta.
Sekadar diketahui, tersangka WW berhasil ditangkap saat turun dari angkutan umum di Abepura 3 minggu setelah kebakaran tersebut, karena diduga kuat WW terlibat dalam pembakaran rektorat Uncen tersebut.
Dari hasil pemeriksaan, tersangka WW diketahui malam harinya, ia berada di pangkalan ojek baru Perumnas III dan bertemu dengan dua orang pelaku yang mengajaknya naik ke Rektorat Uncen, tersangka mengikuti ajakan kedua pelaku dan naik motor RX King sedangkan 2 pelaku naik Honda Mega Pro.
Setelah naik ojek, tersangka WW turun di perempatan portal kedua depan halte bus bersama dua orang pelaku dan saat itu sudah dan 6 pelaku lain yang menunggu. Salah satu pelaku mengambil jerigen ukuran 20 liter berisi bensin yang dibungkus karung beras untuk membakar gedung rektorat Uncen.
Tersangka sempat tanya kenapa dibakar, namun dijawab karena tidak ada warga di daerah tersebut diterima menjadi pegawai di Rektorat Uncen tersebut, sehingga tidak berapa lama, tersangka bersama 8 orang pelaku tersebut naik ke atas dan bertemu dengan belasan pelaku lainnya.
Tersangka langsung melempar kaca gedung dengan kayu sedangkan yang lain membakar gedung tersebut, lalu tersangka pulang ke rumahnya dengan jalan kaki.
Sementara itu, dari pemeriksaan tersangka SH, ia sempat mendobrak pintu gudang kantor Rektorat Uncen tersebut dan mengambil 1 jerigen bensin dan 1 unit mesin babat rumput. Ia sempat naik ke atas gedung Rektorat Uncen untuk memantau situasi.
Hanya saja, ada saksi yang melihat tersangka bersama dengan beberapa orang pelaku lainnya dengan menggunakan senjata tajam dan beberapa botol miras yang diduga molotov naik ke gedung Rektorat Uncen dan saat tiba di di depan pintu masuk gedung tersebut, tersangka bersama dengan pelaku lainnya membakar gedung tersebut. (bat)

Di Timika, Densus 88 Tangkap Warga Sipil

CEPOS 22 JULI 2009
TIMIKA - Anggota Densus 88 Polri Polda Papua menangkap lima oknum warga di sebuah rumah di Jalan Baru Timika, atau sekitar 150 meter dari arah lorong Klinik Hadelisari yang terletak di Jalan Cenderawasih, Timika.
Penangkapan yang dilakukan sekitar pukul 16.00 WIT, Selasa (21/7) kemarin, berlangsung singkat. Sekitar 10 anggota Densus 88 yang dilengkapi senjata laras panjang, meringkus kelima warga tersebut. Selanjutnya mereka dibawa ke Mapolres Mimika menggunakan mobil Patroli Polsek Mimika Baru dengan pengawalan ketat.
Sesuai data yang dihimpun Radar Timika (grup Cenderawasih Pos) di lapangan, menyebutkan kelima oknum warga tersebut masing-masing berinisial MW (20), MK (28), HK (20), YJ (19) dan PC.
Penangkapan itu bermula dari anggota Densus 88 melakukan penyisiran di beberapa rumah yang terletak di lokasi penangkapan. Anggota Densus berusaha mencari target dengan memasuki satu demi satu rumah di lokasi tersebut. Tidak ada perlawanan berarti dari oknum warga yang ditangkap.
Saat digiring masuk ke dalam mobil dengan kedua tangan mereka diborgol, kelima warga tersebut tidak mengeluarkan satu katapun.
Proses penangkapan ini, nampak berbeda dengan penangkapan yang dilakukan di salah satu rumah di pertigaan Jalan Yos Sudarso dan Jalan Trikora, Senin (20/7) lalu, dimana ratusan warga datang ingin menyaksikan dari dekat.
Kemarin di Jalan Baru hanya terlihat beberapa warga yang menyaksikan operasi Densus 88 tersebut.
Sementara itu, sehari sebelumnya, ( Senin 20/7) sejumlah warga sipil ditangkap polisi di dua lokasi berbeda di Kelurahan Kwamki Baru, Distrik Mimika Baru. Belum diketahui pasti alasan penangkapan yang dilakukan oleh personil Densus 88 Polri dan Polda Papua tersebut.
Kapolda Papua yang dikonfirmasi Radar Timika melalui Kabid Humas Polda Papua AKBP Nurhabri, Senin (20/7) malam, membenarkan bahwa polisi telah melakukan penangkapan terhadap delapan warga di Timika. Hanya saja AKBP Nurhabri belum mau merincikan identitas kedelapan warga yang ditahan tersebut.
"Mereka masih dalam pemeriksaan ya, nanti besok (hari ini, Red.) nanti ada konferensi pers," kata Nurhabri singkat.
Ketika ditanya lebih jauh apakah penangkapan warga tersebut terkait kasus penembakan di areal PT Freeport Indonesia (PTFI) beberapa hari lalu, Kabid Humas Polda AKBP Nurhabri menegaskan bahwa warga sipil yang ditangkap masih dalam pemeriksaan.
Sementara itu, dari pantauan di lapangan, penggerebekan dan penangkapan terjadi sekitar Pukul 15.00-16.00 WIT. Tim Densus 88 Mabes Polri dan tim Polda Papua, dipimpin salah satu petinggi Polri dan Kombes Pol. Bambang Rudi, yang merupakan Direskrim Polda Papua. Penangkapan dilakukan di dua lokasi. Selanjutnya warga yang ditahan langsung diamankan ke Mapolres Mimika di Mile 32 guna menjalani pemeriksaan.
Operasi penangkapan itu sempat menjadi tontonan banyak warga. Sebagian terheran-heran melihat polisi dengan senjata otomatis dan penutup wajah.
Sejumlah warga yang ditangkap kemudian dimasukan ke dalam mobil yang sudah disiapkan. Beberapa warga yang mengaku sebagai keluarga dari warga yang ditangkap, sempat protes karena menganggap kerabatnya tidak tahu persoalan.
Sesuai informasi lapangan, warga yang diamankan ada sembilan orang, yaitu EA, IK, TM, DD, PU, AJ, PUt, SB, dan EK. Mula-mula diamankan lebih dahulu tujuh warga sipil yang bermukim di Jalan C. Heatubun tepatnya di sekitar Komplek Kodok, belakang Wowor. Selanjutnya, dua warga lainnya diamankan di kediaman DB, warga bilangan Jalan Trikora.
Di rumah tersebut, polisi mengamankan anak panah dan busur sebagai alat perang tradisional, dua buah parang dan palu besi. Semuanya ikut dibawa ke Mapolres Mimika.
Sampai berita ini ditulis, belum diketahui latar belakang penangkapan sejumlah warga tersebut. Termasuk apakah terkait atau tidak dengan kasus penembakan oleh penembak misterius di jalan tambang PTFI beberapa hari lalu yang telah menewaskan dua warga sipil dan satu anggota polisi.
Dengan penangkapan kemarin ditambah penangkapan Senin lalu, diperkirakan saat ini jumlah warga yang ditangkap telah mencapai 15 orang. Sampai malam ini belum ada keterangan resmi dari petinggi Polda Papua. Sejumlah pejabat belum berhasil dikonfirmasi melalui ponselnya.
Belum diketahui apakah penangkapan warga tersebut terkait dengan kasus pembakaran bus dan pos pantau di Mile 71, Tembagapura pada Rabu (8/7) silam atau beberapa kali kasus penembakan beberapa waktu lalu yang telah menewaskan karyawan PT Freeport Indonesia asal Australia, Drew Nicolas Grant, karyawan kontrak PT Freeport di Departemen Security, Markus Ratteallo dan Briptu Marson.
Sekedar mengingatkan, selain aksi penembakan di MIle 51, 52, 54, dan 48 selama beberapa hari lalu, juga terjadi kasus pembakaran bus dan pos pantau di Mile 71 pada Rabu (8/7) silam. Hingga kini belum diketahui siapa pelakunya. (eng/lrk)

7 Anggota TPN/OPM Digiring ke Polda

CEPOS 22 JULI 2009
Wakapolda: Masih Dalam Pengembangan Penyelidikan
JAYAPURA - Tujuh warga yang diduga terlibat dalam serangkaian kegiatan TPN/OPM di Yapen, Provinsi Papua dan sempat diamankan Polres Kepulauan Yapen, beberapa hari lalu dari Kampung Kayu Puri dan Kampung Matembu, akhirnya digiring ke Mapolda Papua di Jayapura, Selasa (21/7).
Mereka dibawa dengan pengawalan ketat oleh petugas dari Polres Kepuluan Yapen dengan menumpang KM Dorolonda dan tiba pelabuhan Jayapura, kemarin.
Ketujuh orang tersebut, diketahui masing-masing berinisial YA (27), AB (18), YR (49), PU (37), LA (43), OA (30) dan OY. Mereka dijemput petugas Ditreskrim Polda Papua dengan mobil tahanan dan tiba di Mapolda Papua, Selasa (21/7) pukul 08.30 WIT. Bersama dengan ke tujuh orang tersebut, sejumah barang bukti juga ikut dibawa.
Tiba di Mapolda Papua, ketujuh orang tersebut kemudian menjalani pemeriksaan kesehatan oleh petugas dari Biddokkes Polda Papua, sedangkan barang bukti langsung digelar oleh petugas.
Barang bukti yang berhasil diamankan diantaranya 1 lembar bendera bintang kejora, 2 pistol rakitan, 4 senjata laras panjang rakitan, amunisi, busur dan puluhan anak panah, baret warna merah dengan logo burung Mambruk, senjata tajam tradisional, parang dan kampak.
Wakapolda Papua Brigjen Pol Achmad Riadi Koni kepada wartawan mengatakan, ketujuh warga tersebut dibawa ke Mapolda Papua untuk pengembangan penyelidikan.
" Kami baru terima ketujuh tersangka dari Polres Kepulauan Yapen. Sekarang kami kembangkan sejauh mana keterlibatan mereka, sehingga nanti akan kami periksa terlebih dahulu," ungkap Wakapolda Achmad Riadi Koni didampingi Kabag Analis Ditreskrim Polda Papua, AKBP Agustinus di Mapolda Papua.
Wakapolda menjelaskan, tiga orang berinisial YA, AB dan YR sempat menyerahkan diri di Kampung Kayu Puri, 7 Juli lalu setelah sebelumnya anggota Polres Kepulauan Yapen menggerebek kelompok TPN/OPM yang diduga pelarian dari Kapeso, Mamberamo Raya di daerah Poiway.
Hanya saja, ketiga warga tersebut, sempat melarikan diri ke Kampung Kayu Puri.
"Polres setempat sempat mengepung kelompok tersebut, sehingga ketiganya tidak ada bahan makanan dan memilih menyerahkan diri," ungkap Wakapolda.
Wakapolda Papua menduga bahwa ketiga pelaku terkait erat dengan pelaku pengibaran bendera bintang kejora di Kepulauan Yapen pada 6 Juli 2009 lalu. Berdasarkan dugaan itu Polres setempat melakukan patroli dan penggerebekan di Poiway. "Mereka jelas kelompok kriminal bersenjata, namun belum jelas kelompok mana," ujarnya.
Sementara itu, ketiga warga lainnya berinisial PU, LA, OA sebelumnya berhasil ditangkap di Kampung Mantembo, Kepulauan Yapen. Sebelumnya, jelas Wakapolda Achmad Riadi Koni, Polres setempat melakukan patroli ke kampung tersebut, namun apara yang melakukan patroli diserang dengan tembakan dan lemparan granat sehingga terjadi kontak senjata.
Usai kontak senjata dengan kelompok orang yang diduga TPN/OPM pimpinan Fernando Warobay tersebut, Polres setempat berhasil menangkap ketiganya. "Dari pengembangan penyelidikan, petugas berhasil ditangkap OY di Mantembu," ungkapnya.
Wakapolda Papua menduga ke-4 warga ini ( PU, LA, OA dan OY) diduga merupakan anggota kelompok kriminal bersenjata, sesuai laporan masyarakat setempat yang merasa terganggu akibat ulah mereka. Bersadarkan laporan warga, mereka mengganggu ketentraman, keamanan dan mengganggu sumber air minum warga.
Wakapolda menduga, mereka terkait dengan kasus penguasaan Lapter Kapeso, dimana mereka sempat melarikan diri setelah pasukan berhasil menguasai Lapter Kapeso, Mamberamo Raya beberapa minggu lalu, apalagi antara daerah Kepulauan Yapen dengan Mamberamo Raya cukup dekat.
Saat ini, tambah Wakapolda, Polres Kepulauan Yapen terus melakukan pendekatan kepada masyarakat dan terus memberikan himbauan, sebab, banyak masyarakat di sana yang tidak mengetahui tentang kegiatan yang dilakukan oleh kelompok kriminal bersenjata tersebut.
Himbauan tersebut ternyata membuahkan hasil, dimana ada 9 warga setempat yang dengan sukarela kembali ke kampung halaman mereka. "Ada 9 warga yang dengan sukarela kembali ke kampung halamannya, sudah dibina dan tidak ditahan, dilepaskan kembali," imbuhnya.
Sementara itu, pengakuan AB, ia telah ditipu oleh Erick Manitori, pimpinan TPN/OPM yang mengajaknya ke Haneka, Mambramo Raya dengan alasan untuk mengantarnya ke Serui, Kepulauan Yapen. "Saya baru ikut 1 minggu dengan Erick Manitori," ujarnya.
Sedangkan, YA mengakui juga telah tertipu. Ia diajak Erick Manitori untuk membangun proyek perumahan di Mamberamo Raya. "Setelah saya ikut, ternyata sampai di Kapeso dan saya lihat ada yang potong kayu untuk tiang dan menaikan bendera bintang kejora," katanya.
Namun, ia langsung melarikan diri pulang ke Serui setelah pasukan datang ke Kapeso. Tetapi, karena sakit ia kemudian memilih menyerahkan diri ke Mapolres Kepulauan Yapen.
Sedangkan, LA yang ikut diamankan dari Matembo sempat melihat pimpinan mereka membawa dua senjata api rakitan dan 1 buah granat tangan. (bat)

Forkorus: Itu TPN/OPM Gadungan

CEPOS 22 JULI 2009
Soal Pelaku Penembakan di Areal Freeport
SENTANI-Aksi penyerangan dan penembakan terhadap aparat keamanan di areal PT. Freeport Indonesia (FI) yang kemudian ada tudingan bahwa yang melakukan aksi itu adalah TPN/OPM (Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka), membuat Ketua Dewan Adat Papua, Forkorus Yaboisembut,S.Pd angkat bicara.
Ia menegaskan, penembakan yang dituduhkan kepada TPN/OPM adalah tidak benar, sebab itu dilakukan oleh TPN/OPM gadungan, yang telah memiliki kepentigan besar terhadap tujuan tertentu dengan menyiapkan skenario sedemikian rapi dan sudah dibangun sejak lama.
Menurutnya, indikator itu adalah tidak mungkin TPN/OPM melaksanakan aksi tersebut karena di seluruh Tanah Papua tersebar ribuan intelijen dengan menyamar berbagai profesi dan tersebar pula aparat keamanan (Polisi dan TNI) baik pasukan organik maupun non organik, sehingga mustahil bila para intelijen tidak mengetahui akan terjadi kasus penembakan itu.
"Saya punya dugaan bukan masyarakat adat atau TPN/OPM yang melakukan penembakan itu. Masa intelijen begitu banyak tidak bisa mendeteksi adanya penembakan itu sebelum terjadi. Ini kan aneh," ungkapnya Selasa, (21/7).
Kedua, TPN/OPM maupun masyarakat adat tidak mungkin melakukan tindakan sebodoh itu yang tidak menguntungkan dan menodai perjuangan murninya selama ini. Diantaranya memperjuangkan hak-hak yang selama ini diabaikan dan ditindas, seperti hak ekonomi, hak hutan, hasil laut dan sebagainya.
Indikator berikutnya, lanjut Forkorus, mana bisa TPN/OPM dan masyarakat adat mampu melakukan penembakan yang sangat tepat sasaran, padahal untuk memegang senjata saja sudah gemetar, apalagi menembakkannya. Ia yakin tidak mengenai sasaran dan paling tidak hanya mengenai pada badan mobil bahkan bisa meleset, apalagi kendaraan dalam keadaan melaju.
"Saya sangat setuju dengan pernyataan Kapolda bahwa itu hanya bisa dilakukan orang terlatih. Dan sudah jelas itu dilakukan TPN/OPM gadungan/siluman, yang juga sebagai agen provokator dengan menghilangkan jejak dan bukti-bukti tanpa bekas," tandasnya.
Ditandaskannya, dari kasus yang satu ke kasus yang lain merupakan sesuatu yang sudah direkayasa untuk membungkam dan membunuh masyarakat adat Papua baik secara fisik maupun psikologis.
Secara fisik dapat dilihat dari kasus pembunuhan dan penembakan selama ini terjadi, masalah HIV-AIDS yang tidak pernah bisa diatasi, bahkan tidak ada tindakan untuk mengkarantina mereka yang datang di Papua untuk mengetahui status kesehatannya.
Kemudian masalah minuman keras (Miras) yang umumnya turut membunuh ratusan orang Papua. Hal ini disebabkan karena tidak ada kebijakan yang jelas untuk menangani masalah Miras itu.
Selanjutnya pembunuhan masyarakat Papua secara psikis (pembunuhan karakter) dapat dilihat dari teror, intimidasi di kampung-kampung, sehingga secara tidak secara langsung membunuh semangat masyarakat adat dalam memperjuangkan hak-haknya itu.
"PNG saja meski kesejahteraannya lebih tertinggal dibandingan kami, tapi jumlah penduduknya lebih bagus, sementara kami Papua pertumbuhan penduduknya sangat lambat, karena itu tadi pembunuhan secara fisik maupun psikis itu yang membuat kami tidak berkembang. Kami juga sudah menyampaikan kepada pemerintah Australia untuk tidak menyalahkan kami masyarakat adat Papua, dan kami minta tim investigasi mereka untuk turun selidiki kasus itu," imbuhnya.
Ditegaskannya, sekian persoalan baik penembakan dan lainnya akan ia laporkan ke International Indigenous People bahwa di Papua telah terjadi pemusnahan secara perlahan bagi masyarakat adat Papua.
Terkait dengan itu, Dewan Adat Papua sangat menyesal dan menyayangkan atas tindakan aparat keamanan yang ingin memperbaiki nama baiknya di mata dunia internasional dengan mulai melakukan penangkapan masyarakat adat di sana sini tanpa mempunyai bukti yang jelas.
Untuk itu ia meminta kepada Pangdam XVII/Cenderawasih dan Kapolda Papua untuk menghentikan penangkapan dan menarik pasukannya, serta hendaknya menurunkan tim investigasi yang benar-benar jujur dan adil dalam mengungkapkan siapa pelaku di balik kasus tersebut.
"Hendaknya jangan masyarakat adat di kambinghitamkan untuk mencapai tujuannya yang tidak terpuji itu," pungkasnya.(nls)

Saturday 18 July 2009

Penembakan di Freeport Sarat Motif Politik


JAKARTA (PAPOS) — Serangkaian kekerasan yang terjadi sejak tiga hari lalu di areal pertambangan Freeport, hingga menghilangkan 3 orang nyawa merupakan sebuah tindakan yang terencana dan disinyalir sarat dengan motif politik.

Hal itu disampaikan Direktur Hubungan Eksternal Imparsial Poengky Indarti melalui konferensi pers menyikapi peningkatan eskalasi kekerasan yang terjadi di Papua pasca pilpres, Selasa (14/7) di kantor Imparsial Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat.

Poengky menilai aksi kekerasan yang terjadi di Papua baru-baru ini tidak terjadi dalam ruang yang kosong, tetapi justru sarat dengan motif politik.

"Apalagi kekerasan ini meningkat pada saat dan pascapilpres," kata Poengky.

Menurutnya, kekerasan di Papua ini bisa jadi merupakan imbas dari semakin memanasnya kondisi politik di Jakarta.

"Ada kemungkinan kasus ini merupakan akibat dari kepentingan-kepentingan yang terkait urusan pilpres kemarin," kata Poengky.

Ia menilai bahwa aksi ini dilakukan oleh oknum-oknum yang menginginkan Papua tetap berada dalam kondisi ketidakamanan sehingga terus menempatkan Papua sebagai daerah yang rawan konflik.

"Perlu diingat, aksi kekerasan yang terjadi di Timika bukanlah yang pertama terjadi. Sebelum pilpres dan pileg juga sudah terjadi aksi semacam ini. Di titik itu, peristiwa kekerasan di Papua bisa jadi merupakan rangkaian terpisah, namun juga bisa merupakan suatu rangkaian yang terkait," ujar Poengky.

Lebih lanjut Koordinator HAM Imparsial Al Araf meminta kepada pihak aparat keamanan untuk tidak dengan mudah menuding Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai pelaku teror tersebut.

"Jangan langsung mengkambinghitamkan kelompok tertentu sebelum ada investigasi yang serius," kata Al Araf.

Karena itu, Imparsial mengimbau kepada aparat kepolisian untuk bertindak tegas dalam menangani kasus kekerasan di Papua. "Jangan sampai aparat kepolisian terjebak dalam spekulasi yang tak jelas asal-usulnya," kata Al Araf.

Orang Terlatih

Imparsial juga menilai sejumlah kejadian kekerasan di Papua dilakukan oleh orang-orang yang terlatih dan memiliki kemampuan untuk merencanakan aksi kekerasan mereka secara matang.

Mereka melakukan itu dengan tujuan menciptakan kesan tidak aman dan rawan konflik di wilayah tersebut. Peristiwa serupa bukan baru kali ini saja terjadi di Timika melainkan sudah pula terjadi sejak sebelum pemilihan umum, baik legislatif maupun presiden, digelar kemarin.

Imparsial lebih lanjut menyayangkan, peristiwa kekerasan terjadi bahkan di saat aparat keamanan seharusnya lebih waspada dan menerapkan kontrol dan penjagaan ketat mengingat momen dan proses demokrasi terpenting di Indonesia saat itu tengah terjadi dan berjalan.

Untuk itu mereka meminta aparat keamanan tidak dengan gampang main tuding keberadaan Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai dalang maupun pelaku teror dan kekerasan selama ini di Papua, apalagi sebelum proses hukum benar-benar berjalan.

Seperti dilansir dari KCM, sejumlah poin seruannya Imparsial meminta aparat Kepolisian RI (Polri) bertindak tegas menegakkan hukum untuk menyelesaikan kasus teror dan kekerasan di Timika, termasuk juga terhadap pekerja PT Freeport Indonesia sehingga masyarakat Papua dapat hidup aman dan tenang. Tidak hanya itu, Imparsial juga mendesak otoritas politik di Papua berperan aktif membantu terjaminnya situasi Papua yang kondusif dan menguatkan rasa aman masyarakat di sana terutama di Timika. (ant/kcm)

230 Ribu Orang Papua Buta Aksara

Ditulis oleh Lina//Papos
Jumat, 17 Juli 2009 00:00
JAYAPURA (PAPOS) –Papua, masuk 10 besar provinsi di wilayah Indonesia Indonesia yang dinyatakan padat akan buta aksara selain Bali, Kalimantan Timur, Kalimatan Barat,Jawa Timur, Jawa Tengah, NNT, Banten, Selawesi Selatan, Jawa Barat.
Sementara kepadatan buta aksara di Papua ini terbesar berada di Kabupaten Pegunungan Bintang (Pegubin), Kabupaten Yahukimo, Kabupaten Asmat dan Kabupaten di pegunungan lainnya.

“Memang untuk pegunungan merupakan daerah terbesar penyandang buta aksara, hal ini disebabkan sulitnya transportasi ke daerah tersebut serta minimnya SDM untuk dimanfaatkan di sana,” ungkap Ka-Dispora Provinsi James Modouw kepada wartawan disela-sela cara penguatan kapasitas pengelola/penyelengara program pendidikan masyarakat pada 10 provinsi di Hotel Mahkota, Kamis (16/7) kemarin.

Menurutnya, dalam waktu dekat Pemprov Papua akan menggenjot agar buta aksara di Papua hilang atau paling minim berkurang dari jumlah 230.000 penyandang buta aksara yang terdapat di Papua saat ini.

“Melalui dukungan nggaran yang dihasilkan dari ABPD sebesar Rp. 6 M pertahunnya, upaya pemerintah itu nantinya akan dilakukan melalui pendirian taman bacaan, sosialisasi ke masyarakat serta berbagai pelatihan tentang upaya pemberantasan buta aksara,”katanya.

Dari jumlah 230.000 penyandang buta aksara di Papua jika dibandingkan dengan jumlah pada tahun pertama program pemberantasan buta aksara dilakukan yaitu pada tahun 2005 terjadi penurunan.

Tahun 2005 lalu Papua mencapai angka 552.000 penyandang buta aksara dan untuk tahun 2009 ini turun hingga 230.000, sehingga dipastikan tahun 2014 nanti Papua akan benar-benar bebas dari buta aksara.

“Sebenarnya pemda Papua sudah berhasil dalam memberantas buta aksara, kita bisa lihat dari penurunan penyandang buta aksara saat ini,” lanjut dia.

Pemberantasan buta aksara untuk daerah Papua ini dikatakan olehnya, nanti akan didukung pula melalui kearifan muatan local yaitu, diwajibkan setiap sekolah dasar untuk menggunakan bahasa ibu atau bahasa budaya setempat.

Dikatakan pula oleh James Modouw, masih besarnya penyandang buta aksara di kota Jayapura disebabkan mobilisasi penduduk yang terus meningkat hingga upaya pemda setempat untuk memberantas buta aksara terbilang sulit.(lina)

AS Jangan Dukung Separatis Papua

Ditulis oleh Ant/Papos
Jumat, 17 Juli 2009 00:00
New York (PAPOS) - Ketua MPR-RI Hidayat Nur Wahid meminta Amerika Serikat membantu Indonesia mengembangkan demokrasi dengan tidak memberikan dukungan terhadap upaya dan kegiatan separatisme di Papua.
"Saya sampaikan, untuk mengembangkan demokrasi, Indonesia perlu mengkonsentrasikan segala sumber daya yang dimiliki...Jangan sampai anggaran negara habis untuk membela kedaulatan wilayah," kata Hidayat di Washington, DC, ketika dihubungi ANTARA-New York, Rabu.

Hidayat menyampaikan harapan Indonesia itu ketika bertemu dengan beberapa anggota Kongres AS dalam lawatan satu harinya di Washington.

"Jadi, saya minta anggota-anggota Kongres untuk benar-benar membantu Indonesia karena yang saya dengar kadang-kadang masih ada beberapa anggota Kongres yang berupaya memunculkan masalah Papua di Kongres," kata Hidayat.

Ketua MPR mengatakan bahwa dalam pertemuannya dengan para anggota Kongres di Washington, isu tentang separatisme di Papua memang menjadi salah satu bahan pembicaraan.

Namun kendati menyangkut situasi Papua, menurut Hidayat dalam pertemuan itu tidak disinggung mengenai insiden baru-baru ini di Papua, termasuk penembakan akhir pekan lalu di kawasan PT Freeport Indonesia (PTFI) Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua, yang menewaskan warga negara Australia Drew Nicholas Grant.

Sementara itu, selain pertemuan dengan anggota Kongres AS, selama di Washington, Hidayat juga memberikan pemaparan di forum masyarakat AS-Indonesia (Usindo) tentang peran MPR dalam menjaga demokrasi, termasuk dalam menyukseskan pemilihan presiden dan wakil presiden RI baru-baru ini.

Setelah dari Washington, Hidayat bertolak menuju Houston, Texas, untuk melakukan sosialisasi amendemen UUD 1945 dan putusan MPR.

Sosialisasi yang sama telah dilakukan anggota MPR di beberapa kota lainnya di AS pada tahun lalu, termasuk di Washington dan New York.

Dari Houston, Hidayat akan melanjutkan perjalanan ke Vietnam untuk sosialisasi serupa. (ant)

Jadi Sumber Masalah Tutup Saja Freeport


JAKARTA (PAPOS)- Kehadiran PT. Freeport Indonesia di Papua, dinilai lebih sering menjadi sumber masalah dan keributan, bahkan kekerasan dan juga masalah yang terjadi akibat kehadiran tambang emas raksasa ini sudah berlangsung lama dan mengakibatkan beberapa nyawa melayang.
Direktur Eksekutif WALHI Berry Nahdian Forqan menambahkan, keberadaan PT Freeport di Papua sudah harus dihentikan. Jika tidak, kekerasan di Papua akan semakin besar dan memuncak.

"Jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah Papua adalah menghentikan sumber masalahnya yaitu tutup Freeport," tandasnya.

Disamping menjadi sumber masalah, Ketidakadilan sosial dinilai menjadi pemicu aksi kekerasan yang akhir-akhir ini marak terjadi di kawasan itu.

Ketua Umum Liga Perjuangan Nasional Rakyat Papua Arkilaus Arnesius Baho akar persoalan yang memicu kerecokan di Timika, atau Freeport adalah tidak adanya keadialan atas eksploitasi sumber daya alam Papua.

"Akar persoalan Papua adalah ketidakadilan sosial yang terjadi karena eksploitasi Freeport, kalau mau menyelesaikan Papua maka selesaikan dulu Freeport," kata Arki saat jumpa pers di kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Pusat, Jl Tegal Parang, Jakarta Selatan, Kamis (16/7) kemarin.

Arki menjelaskan, sejak Freeport berdiri di tanah Papua masalah rakyat Papua semakin kompleks. Banyaknya diskriminasi, kesenjangan sosial, masalah ekologi hingga konlik sosial semakin sering terjadi.

"Insiden kemarin termasuk bagian konflik kepentingan akibat kue yang diperebutkan dari hasil eksploitasi," imbuhnya.

Menurut Arki, pihaknya belum mengetahui siapa pelaku kekerasan di daerah Tambang Freeport baru-baru ini. Meski begitu, Arki memastikan kelompok tersebut bukan berasal Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau kelompok yang menentang NKRI.

"Penembakan itu dari kelompok struktur non organik yang tidak terkomando," jelasnya.

Gugat PT Freeport US$ 30 M

Merasa memiliki hak ulayat atas tanah yang dijadikan lokasi penambangan, 92 warga masyarakat adat yang berasal dari Suku Amungme, Papua menggugat PT Freeport McMoran Indonesia. Mereka menggugat PT Freeport untuk membayar ganti rugi sebesar Us$ 30 miliar.

"Kita gugat secara tanggung renteng pihak-pihak yang bertanggungjawab senilai 30 miliar USD," kata kuasa hukum perwakilan pemilik hak ulayat tanah operasi PT Freeport Titus Natkime.

Hal itu disampaikan Titus kepada wartawan di kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Pusat, Jl Tegal Parang, Mampang, Jakarta Selatan, Kamis (16/7/2009).

Gugatan bernomor 1247 tertanggal 27 Mei 2009 tersebut ditujukan kepada PT Freeport, Pemerintah Indonesia dan pemilik saham Freeport, group Bakrie. Sidang perdana akan dimulai pada 6 Agustus 2009.

"Tempatnya Di PN Jakarta Selatan," jelasnya.

Titus menjelaskan, besarnya jumlah nilai gugatan didasarkan pada kerugian masyarakat adat suku Amungme yang sudah menderita puluhan tahun. PT Freeport dinilai telah melakukan kesewenang-wenangan dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap suku Amungme.

"Coba bayangkan saja tanah diambil sejak tahun 1967 hingga sekarang, padahal penghasilan Freeport setiap harinya bisa mencapai US$ 27,7 juta," imbuhnya.

Menurut Titus, sebelumnya masyarakat adat pernah melakukan gugatan serupa di luar negeri. Namun sayang, gugatan tersebut kalah.

"Tahun 1997 kami gugat terus kalah, ini gugatan kembali untuk pertama di Indonesia," terang Titus.


Kekerasan Sejak 1977

Sementara itu, seperti dilansir dari KCM, mengabarkan, teror penembakan di kawasan PT Freeport Indonesia Timika ternyata sudah dimulai sejak tahun 1977.

"Menurut saya, kehadiran PT Freeport di Timika mengandung masalah serius, sehingga tidak mengherankan tindak kekerasan masih terus berlangsung," kata Koordinator Elsam Amiruddin Ar Rahab di Jakarta, Rabu (16/7).

Menurut Amir, dalam studi Elsam yang banyak mengkaji persoalan di tanah Papua, ada dua persoalan pokok di kawasan tambang emas dan tembaga tersebut sehingga tindak kekerasan masih berlanjut. Pertama, Kehadiran PT Freeport tidak memberikan perbaikan hidup bagi orang asli Papua yang tinggal di sekitar kawasan tersebut.

Kedua, sejak PT Freeport hadir di sana, pola interaksi antarpersonal maupun suku berubah. Hal ini disebabkan imigrasi besar-besaran orang luar Papua masuk ke daerah tersebut. "Data menunjukkan 70 persen penduduk kota Timika adalah pendatang," ungkap Amir.

Lebih jauh ia mengatakan, bagaimanapun kasus penembakan yang terjadi di kawasan PT Freeport adalah tindakan pidana. "Tugas polisilah yang menyelidikinya dan menyeret pelaku ke pengadilan," papar Amir.

Seperti telah diberitakan sebelumnya, sejak 11 Juli 2009 tercatat ada tiga tindak kekerasan di kawasan itu yang menyebabkan dua orang meninggal dan lima luka parah, baik dari sipil maupun Polri.

Kasus terakhir terjadi kemarin, saat dua orang Brimob ditembak orang tak dikenal. Mereka adalah Bripka Jimmy Renhard yang ditembak di kaki dan Abraham Ngamelubun yang pantat dan pahanya ditembak. Saat ini mereka tengah dirawat intensif di R.S. Kuala Kencana Timika.

Dengan tertembaknya beberapa polisi, Amir melanjutkan, mau menunjukkan belum siapnya kepolisian baik secara metode maupun pemetaan masalah di kawasan PT Freeport. "Mereka baru 2 tahun di sana. Selama ini kan yang menjaga tentara, TNI," tuturnya.

Kondisi ini menjadi tantangan besar bagi kepolisian untuk menunjukkan profesionalitasnya sebagai aparat penegak hukum. Bagaimana menyikapi kasus ini? Amir mengungkapkan bahwa kasus ini akan terus berlanjut selama pemerintah tidak menjalankan kewajibannya untuk campur tangan dalam hal peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua, khususnya di kawasan PT Freeport. "Tentu ini terkait juga dengan PT Freeport-nya," katanya.

Kemudian, penegakan hukum mesti dilakukan, siapapun pelakunya ditindak. "Apapun alasannya, entah soal ekonomi maupun sosial, hukum mesti ditegakkan," tandas Amir. (ant/dtk/kcm)