Saturday, 18 July 2009

Jadi Sumber Masalah Tutup Saja Freeport


JAKARTA (PAPOS)- Kehadiran PT. Freeport Indonesia di Papua, dinilai lebih sering menjadi sumber masalah dan keributan, bahkan kekerasan dan juga masalah yang terjadi akibat kehadiran tambang emas raksasa ini sudah berlangsung lama dan mengakibatkan beberapa nyawa melayang.
Direktur Eksekutif WALHI Berry Nahdian Forqan menambahkan, keberadaan PT Freeport di Papua sudah harus dihentikan. Jika tidak, kekerasan di Papua akan semakin besar dan memuncak.

"Jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah Papua adalah menghentikan sumber masalahnya yaitu tutup Freeport," tandasnya.

Disamping menjadi sumber masalah, Ketidakadilan sosial dinilai menjadi pemicu aksi kekerasan yang akhir-akhir ini marak terjadi di kawasan itu.

Ketua Umum Liga Perjuangan Nasional Rakyat Papua Arkilaus Arnesius Baho akar persoalan yang memicu kerecokan di Timika, atau Freeport adalah tidak adanya keadialan atas eksploitasi sumber daya alam Papua.

"Akar persoalan Papua adalah ketidakadilan sosial yang terjadi karena eksploitasi Freeport, kalau mau menyelesaikan Papua maka selesaikan dulu Freeport," kata Arki saat jumpa pers di kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Pusat, Jl Tegal Parang, Jakarta Selatan, Kamis (16/7) kemarin.

Arki menjelaskan, sejak Freeport berdiri di tanah Papua masalah rakyat Papua semakin kompleks. Banyaknya diskriminasi, kesenjangan sosial, masalah ekologi hingga konlik sosial semakin sering terjadi.

"Insiden kemarin termasuk bagian konflik kepentingan akibat kue yang diperebutkan dari hasil eksploitasi," imbuhnya.

Menurut Arki, pihaknya belum mengetahui siapa pelaku kekerasan di daerah Tambang Freeport baru-baru ini. Meski begitu, Arki memastikan kelompok tersebut bukan berasal Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau kelompok yang menentang NKRI.

"Penembakan itu dari kelompok struktur non organik yang tidak terkomando," jelasnya.

Gugat PT Freeport US$ 30 M

Merasa memiliki hak ulayat atas tanah yang dijadikan lokasi penambangan, 92 warga masyarakat adat yang berasal dari Suku Amungme, Papua menggugat PT Freeport McMoran Indonesia. Mereka menggugat PT Freeport untuk membayar ganti rugi sebesar Us$ 30 miliar.

"Kita gugat secara tanggung renteng pihak-pihak yang bertanggungjawab senilai 30 miliar USD," kata kuasa hukum perwakilan pemilik hak ulayat tanah operasi PT Freeport Titus Natkime.

Hal itu disampaikan Titus kepada wartawan di kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Pusat, Jl Tegal Parang, Mampang, Jakarta Selatan, Kamis (16/7/2009).

Gugatan bernomor 1247 tertanggal 27 Mei 2009 tersebut ditujukan kepada PT Freeport, Pemerintah Indonesia dan pemilik saham Freeport, group Bakrie. Sidang perdana akan dimulai pada 6 Agustus 2009.

"Tempatnya Di PN Jakarta Selatan," jelasnya.

Titus menjelaskan, besarnya jumlah nilai gugatan didasarkan pada kerugian masyarakat adat suku Amungme yang sudah menderita puluhan tahun. PT Freeport dinilai telah melakukan kesewenang-wenangan dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap suku Amungme.

"Coba bayangkan saja tanah diambil sejak tahun 1967 hingga sekarang, padahal penghasilan Freeport setiap harinya bisa mencapai US$ 27,7 juta," imbuhnya.

Menurut Titus, sebelumnya masyarakat adat pernah melakukan gugatan serupa di luar negeri. Namun sayang, gugatan tersebut kalah.

"Tahun 1997 kami gugat terus kalah, ini gugatan kembali untuk pertama di Indonesia," terang Titus.


Kekerasan Sejak 1977

Sementara itu, seperti dilansir dari KCM, mengabarkan, teror penembakan di kawasan PT Freeport Indonesia Timika ternyata sudah dimulai sejak tahun 1977.

"Menurut saya, kehadiran PT Freeport di Timika mengandung masalah serius, sehingga tidak mengherankan tindak kekerasan masih terus berlangsung," kata Koordinator Elsam Amiruddin Ar Rahab di Jakarta, Rabu (16/7).

Menurut Amir, dalam studi Elsam yang banyak mengkaji persoalan di tanah Papua, ada dua persoalan pokok di kawasan tambang emas dan tembaga tersebut sehingga tindak kekerasan masih berlanjut. Pertama, Kehadiran PT Freeport tidak memberikan perbaikan hidup bagi orang asli Papua yang tinggal di sekitar kawasan tersebut.

Kedua, sejak PT Freeport hadir di sana, pola interaksi antarpersonal maupun suku berubah. Hal ini disebabkan imigrasi besar-besaran orang luar Papua masuk ke daerah tersebut. "Data menunjukkan 70 persen penduduk kota Timika adalah pendatang," ungkap Amir.

Lebih jauh ia mengatakan, bagaimanapun kasus penembakan yang terjadi di kawasan PT Freeport adalah tindakan pidana. "Tugas polisilah yang menyelidikinya dan menyeret pelaku ke pengadilan," papar Amir.

Seperti telah diberitakan sebelumnya, sejak 11 Juli 2009 tercatat ada tiga tindak kekerasan di kawasan itu yang menyebabkan dua orang meninggal dan lima luka parah, baik dari sipil maupun Polri.

Kasus terakhir terjadi kemarin, saat dua orang Brimob ditembak orang tak dikenal. Mereka adalah Bripka Jimmy Renhard yang ditembak di kaki dan Abraham Ngamelubun yang pantat dan pahanya ditembak. Saat ini mereka tengah dirawat intensif di R.S. Kuala Kencana Timika.

Dengan tertembaknya beberapa polisi, Amir melanjutkan, mau menunjukkan belum siapnya kepolisian baik secara metode maupun pemetaan masalah di kawasan PT Freeport. "Mereka baru 2 tahun di sana. Selama ini kan yang menjaga tentara, TNI," tuturnya.

Kondisi ini menjadi tantangan besar bagi kepolisian untuk menunjukkan profesionalitasnya sebagai aparat penegak hukum. Bagaimana menyikapi kasus ini? Amir mengungkapkan bahwa kasus ini akan terus berlanjut selama pemerintah tidak menjalankan kewajibannya untuk campur tangan dalam hal peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua, khususnya di kawasan PT Freeport. "Tentu ini terkait juga dengan PT Freeport-nya," katanya.

Kemudian, penegakan hukum mesti dilakukan, siapapun pelakunya ditindak. "Apapun alasannya, entah soal ekonomi maupun sosial, hukum mesti ditegakkan," tandas Amir. (ant/dtk/kcm)

No comments: