Wednesday 22 July 2009

Teror dan Bahaya "Failed State!"


Christianto Wibisono
Majalah Foreign Policy, Juli/Agustus 2009, masih menempatkan Indonesia di zona in danger dalam indeks failed state. Bila elitenya masih selalu menggunakan pola Orde Baru yang "sepupu" dengan teror. Itu tidak akan berhasil menumpas terorisme. Sebab, jati diri elite itu sendiri masih tersandera oleh gen impunitas praktik pelanggaran HAM pola Orde Baru. Teror JW Marriott dan Ritz Carlton tidak lepas dari penyakit generic terorris dari oknum yang memakai nama identitas Nur Hasbi. Yang check in 15 Juli dan check out 17 Juli, langsung ke akhirat bersama 9 korban bom bunuh dirinya.

Pakar terorisme dari International Crisis Group (ICG), Sidney Jones, dalam wawancara dengan pelbagai jaringan TV menyatakan, oknum Nur Hasbi merupakan bagian dari sempalan Jamaah Islamiyah (JI). Sebagian sudah berganti nama atau sudah bertobat dari gerakan kekerasan menjadi gerakan dakwah. Media massa juga menampilkan Nasir Abbas, mantan anggota komplotan Noordin M Top, yang sekarang sudah menjadi "pendakwah" bersama 580 mantan JI lain. Nasir dkk, menjadi bagian dari operasi "appeasement" Polri untuk mempertobatkan mantan rekan-rekan teroris agar menjadi orang baik-baik. Juga, tersiar pernyataan Jamaah Islamiyah bahwa JI tidak terlibat dengan pengeboman Jakarta.

Teror 17 Juli membuat berang Presiden SBY, dan dalam pidato Jumat siang, mengungkit laporan intelijen tentang rencana pembunuhan, kekacauan, dan pendudukan kantor KPU serta revolusi semacam Iran. Yang langsung ditanggapi oleh Megawati, Prabowo, dan Jusuf Kalla serta para pengamat. Malamnya, Rafsanjani dalam kotbah Jumat siang, waktu Teheran, mengecam Ahmadinejad dan menyatakan Iran dalam keadaan krisis karena pilpres yang dinilai curang. Pernyataan SBY tentu bukan main-main karena dalam era real time internet, pelbagai peristiwa di seluruh penjuru dunia akan saling memengaruhi dan memicu inspirasi dalam itikad baik maupun hasutan teror.


Mengutuk

Bangsa Indonesia sekarang harus membuktikan setelah serangan 17 Juli bahwa tidak ada lagi toleransi untuk kebiadaban. Apalagi yang bermotif politik warisan Orde Baru, yang dikombinasi dengan terorisme internasional untuk menghancurkan citra RI. Dewan Keamanan PBB yang bersidang dalam 12 jam, telah mengutuk pengeboman Marriott - Ritz Carlton. Watapri Marty Natalegawa, dengan meyakinkan telah berpidato dan diliput seluruh media massa, Indonesia akan membawa pelaku teror ke pengadilan apa pun motif politiknya.

Waktunya sudah tiba untuk elite Teheran dan Jakarta maupun dunia ketiga lain, tidak mudah belajar mempraktikkan demokrasi secara jujur dan adil. Tapi, tidak berarti demokrasi itu hanya monopoli Al Gore dan George Bush. Sebab pada tahun 2000, juga hampir terjadi anarki dan chaos ketika surat suara di Florida dihitung ulang beberapa kali, yang akhirnya memenangkan George Bush dan mengalahkan Al Gore. Waktu itu, almarhum Dan Lev sempat mengatakan bahwa AS mirip Dunia Ketiga yang perlu bantuan pengamat pemilu supaya jujur dan adil.

Pemilihan umum terbersih dan terjujur adalah waktu PM Burhanudin Harahap dari Masyumi menyelenggarakan Pemilu DPR 29 September dan 15 Desember untuk Konstituante. Padahal, Burhanudin Harahap baru diangkat menjadi Perdana Menteri pada bulan Agustus. Masyumi dan PNI muncul sebagai partai besar dengan jumlah kursi sama walaupun popular vote PNI lebih besar. Di tempat ketiga Nahdlatul Ulama dan di tempat keempat PKI. Setelah itu Bung Karno mendekritkan kembali ke UUD 1945 dengan sistem presidensial dan membubarkan DPR hasil pemilu 1955 itu pada 1960. Karena Masyumi dan PSI yang terlibat pemberontakan PRRI/Permesta dibubarkan dan anggota DPR dari kedua partai itu dipecat, dan dibentuk DPR Gotong Royong, di mana pimpinannya dijadikan anggota kabinet diberi pangkat menteri. Suatu keamburadulan eksekutif legislatif yang salah kaprah.

Bung Karno hanya 5 tahun berkuasa secara diktator karena sejak 1 Oktober 1965 mulai ditantang oleh "matahari baru", Soeharto yang menolak perintah Bung Karno untuk datang ke Halim. Secara merangkak Soeharto mengkup Bung Karno sejak 11 Maret 1966, dan kabinet 100 menteri dibubarkan setelah 15 menteri ditangkap pada 18 Maret 1966.

Soeharto kemudian mengadakan konsolidasi dan pemilu bohongan diawali tahun 1971. Soeharto terpilih terus dan hanya mengganti wakil presiden sebagai ban serep yang terus hilang lenyap, kecuali yang terakhir BJ Habibie. Napoleon dari Sulawesi ini menyerobot jadi presiden ketika Soeharto lengser. Mengundang dendam kesumat Soeharto yang tidak mau bertemu Habibie sampai akhir hayatnya.

Politik Indonesia karena itu, memang tidak pernah mengenal kompetisi secara sehat, beradab, dan berbudaya. Selalu harus melalui perselingkuhan, persekongkolan, kemunafikan dan watak Ken Arok. Soeharto diangkat oleh Sukarno seperti Zia ul Haq diangkat oleh Ali Bhutto, tapi Zia ul Haq tega menggantung Ali Bhutto. Suatu kebiadaban yang tidak pernah dikutuk oleh bangsa Pakistan. Sehingga akhirnya putri Bhutto, Benazir juga ditembak mati oleh lawan politik.

Di Indonesia banyak pembunuhan politik yang tidak terungkap tuntas, kecuali yang terjadi secara kasat mata, seperti penculikan dan pembunuhan jendral Yani cs oleh oknum Tjakrabirawa Letkol Untung cs. Hadisubeno, Ketua Umum PNI meninggal mendadak dalam kampanye pemilu 1971 begitu pula Subchan ZE, Ketua Umum PBNU meninggal dalam kecelakaan mobil di Arab. Djuanda meninggal mendadak setelah berdansa di Nirwana, night club pertama di Hotel Indonesia. Letjen KKO Hartono yang Sukarnois ditembak mati. Ali Murtopo sendiri juga mati mendadak. Baharudin Lopa, Agus Wirahadikusumah, dan Munir, meninggal mendadak secara misterius. Bung Karno sendiri sering mengalami percobaan pembunuhan berulang kali, seperti digranat di Cikini, ditembak ketika salat Idul Adha, ditembaki senapan mesin di Makassar, dan ditembaki dari pesawat MIG, tapi akhrinya malah meninggal dalam status tahanan politik oleh Jenderal Soeharto di rumah istri Jepangnya, Ratna Sari Dewi.

Metro TV Sabtu malam, juga memutar ulang dokumentasi kematian Arafat, di mana diungkapkan, ada 3 diagnosis kematian. Semuanya dinyatakan tidak mungkin, karena Arafat tidak menderita kanker, atau infeksi berat seperti HIV AIDS. Kemungkinan ketiga, diracun, juga tidak diketemukan. Jawabannya, ialah Arafat merasa terkucil, berdosa, bersalah, kapok, kikuk, dan menyesal. Kenapa ia tidak mau menerima perdamaian dengan Israel ketika Clinton menjadi comblang dengan Ehud Barak di Camp David, Juni 2000.

Ia menderita retak jiwa dengan istri hidup mewah di Paris. Sementara, pejuang Palestina bunuh diri bergelimpangan tanpa prospek karena telanjur bersikap ekstrem tidak mau mengakui Israel. Arafat meninggal karena tidak berhasil mengentaskan bangsa Palestina mencapai kemerdekaan. Dan kemudian malah ditinggalkan oleh kelompok garis keras Hamas yang jenuh dengan korupsi di rezim Arafat (kelompok Fatah). Kita perlu merenung nasib Arafat dan moral elite Jakarta dalam menyikapi teror serta masa depan demokrasi di Indonesia. Agar peringatan majalah Foreign Policy bahwa bahaya terpuruk menjadi failed state, masih tetap mengancam bagaikan drakula politik ingin menghisap dan menghancurkan Republik Indonesia dengan konspirasi teror dan pelanggaran HAM berat sebagai modus utama politik Orde Baru.

Penilis Adalah Pengamat Masalah Nasional dan Internasional
http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=9324

No comments: