19 Nopember 2008 05:54:46
Cenderawasih Post.
*Suebu: Sebelum Saya, Ada Rp 2 Triliun Tak Dipertanggungjawabkan (Sebagian Besar Uang Otsus Digunakan di Birokrasi) JAYAPURA-Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang sudah berjalan 6 Tahun, tampaknya implementasinya masih jauh dari harapan rakyat Papua. Justru yang terjadi selama ini pelaksanaan Otsus tersebut masih kacau balau dan belum terarah pada tujuan yang sebenarnya. Kacaunya implementasi UU Otsus Nomor 21 Tahun 2001 ini, diakibatkan belum adanya pemahaman dan persepsi yang baik tentang Otsus disemua tingkatan mulai dari pusat hingga ke kampung-kampung. Hal ini diungkapkan Gubernur Papua Barnabas Suebu, SH saat membawakan materi " implementasi kebijakan Otsus Papua " dalam seminar membedah dan mengagas 6 Tahun pelaksanaan Otsus dalam rangka Dies Natalis ke-63 Universitas Cenderawasih di Kampus Fakultas Ekonomi Uncen Waena, Selasa (18/11) kemarin.Dikatakan, Otsus lahir disaat rakyat Papua ingin minta merdeka. Untuk meredam aspirasi merdeka itu, Pemerintah Pusat memberikan tawaran politik sekaligus sebagai solusi dalam bentuk Otsus. Otsus ini ditempuh dalam rangka untuk menghindarkan diri dari jatuhnya korban yang tidak perlu." Sebab, jika rakyat Papua tetap menginginkan merdeka maka yang terjadi adalah peperangan. Jika ini terjadi maka yang akan menelan korban adalah rakyat Papua. Karena itu jalan tengahnya adalah melalui Otsus," tutur Bas Suebu.Namun di dalam implementasinya, masih banyak persoalan. Sehingga pada saat dilakukan evaluasi di GOR Cenderawasih, rakyat Papua tidak mau O (Otsus) tapi M (Merdeka). Tapi ada juga yang menginginkan OM, artinya bahwa O dulu baru M. Sebab, menurut gubernur, implementasi Otsus itu sangat penting. Jika implementasinya kacau, maka Otsus itu yang tadinya sebuah solusi akan menjadi masalah.Ketika Otsus itu berubah menjadi masalah dan masalah itu tidak bisa menyelesaikan masalah, maka yang terjadi adalah kacau balau. Karena itu menurut Gubernur, pelaksanaan Otsus sejak pertama kali dilaksanakan hingga pertengahan 2006 sejak dirinya jadi Gubernur bisa disimpulkan implementasinya kacau balau.Mengapa bisa begitu, itu terjadi karena adanya pemahaman/persepsi yang berbeda-beda. Pemahaman rakyat, pemahaman aparatur pemerintah di tingkat bawah hingga tingkat menteri tidak paham apa itu Otsus. "Jadi masalah persepsi dan pemahaman sampai hari ini (kemarin) masih menghadapi kendala. Semua orang belum paham tentang Otsus. Satu sama lain memiliki interprestasi yang lain-lain," tandasnya.Persoalan lainnya adalah masalah kesungguhan dan keikhlasan dari semua pihak terutama dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten sampai ke tingkat bawah. Jadi sampai saat ini belum ada kesungguhan dan keihlasan yang utuh untuk mengimplementasikan Otsus. Contohnya adalah, saat dilakukan rapat dengan DPR RI mengenai anggaran Otsus Papua Tahun 2009, dana Rp 1 triliun dari Otsus mau dipotong sehingga hal yang membuat dirinya sempat marah. " Waktu itu saya bersikap keras jika memang pusat mau Bantu ya jangan dipotong. Tapi jika memang uang Otsus mau dipotong, lebih baik tidak usah dibantu sekalian. Karena DPR RI takut, akhirnya mereka memberikan tambahan uang lagi. Kondisi ini mengambarkan bahwa pusat pun tidak sungguh-sungguh dalam melaksanakan Otsus," terangnya. Yang memperihatinkan lagi menurut Suebu, saat uang Otsus turun ke provinsi atau saat dirinya menjadi Gubernur, telah terjadi pesta pora uang di dunia birokrasi. Saat akan dilakukan audit, dirinya tidak mau pakai uang dulu sebelum dilakukan audit. Setelah dilakukan audit pada pertengahan 2006, baru ketahuan bahwa ada uang yang jumlahnya kurang lebih Rp 2 triliun tidak dipertanggungjawabkan.Ini artinya sejak 2002 hingga 2006 telah terjadi pesta pora uang Otsus di dunia birokrasi. Sementara, saat dirinya keliling kampung sebanyak 2600 kampung dan bertemu dengan masyarakat, keadaannya sangat menyedihkan. Kemiskinan, gizi buruk terjadi dimana-mana, terutama orang asli Papua. Sedihnya lagi, anak-anak tamatan SD dan SMP tidak tahu membaca. Standar minimum pelayanan pendidikan di kampung-kampung jauh dari pelayanan standar minimum. Mengapa begitu, karena kehidupan masyarakat di kampung hidup dalam kesendirian dan ketidakberdayaan, sementara di dunia birokrasi hidup dalam pesta pora uang Otsus. Ini semuanya adalah hasil audit yang dilakukan pada pertengahan 2006.Menurut Gubernur, kondisi ini bisa terjadi karena dana dari pusat langsung turun ke birokrasi, sementara aturan-aturan pelaksanaannya seperti Perdasi dan Perdasus itu belum disiapkan. Begitu juga dengan sistemnya, organisasinya maupun prosedur pengunaan dananya dalam sistem namanya kontrol sistem belum ada. Sebab, kontrol sistem ini sangat penting karena di dalamnya ada transparansi, dan accountability sama sekali tidak berjalan. Sehingga yang terjadi adalah pemborosan dan penyimpangan dana yang tidak terkontrol. " Yang saya tahu saat ini aturan-aturan pelaksanannya sedang dibahas di DPRP yakni lebih dari 30-an Perdasi dan Perdasus. Jadi selain pemahaman dan kesungguhan, maka aturan-aturan sistem sangat penting dalam rangka pelaksanaan Otsus termasuk SDM disemua lini yang juga belum memadai," paparnya.Dengan kondisi seperti itu, maka pelaksanaan Otsus mulai 2002-2006 merupakan massa yang sangat kacau balau. Mengapa begitu, karena massa itu belum ada pemahaman yang baik tentang Otsus, belum ada kesungguhan serta belum adanya aturan-aturan pelaksanaan Otsus. Jujur saja, sampai saat inipun pusat belum sepenuhnya memberikan semua kewenangan, termasuk tugas-tugas kenegaraan yang berkaitan dengan kekhususan, seperti Departemen Kehutanan berkaitan dengan illegal logging dan HPH. Sebab, sesuai UU Otsus Menteri Kehutanan kewenangannya nol. Tapi, sampai sekarang ini mereka yang mengatur, contohnya mengenai pelelangan hasil-hasil hutan. " Kesimpulannya disini adalah pemerintah pusat masih enggan menyerahkan kewenangannya yang diperintahkan UU Otsus. Kondisi ini jelas sekali ikut mengacaukan implementasi Otsus itu sendiri," cetusnya Karena itu, mulai 2007 kedepan kondisi seperti ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Sebab, dana Otsus itu diperuntukkan untuk rakyat Papua. Tapi yang terjadi selama ini, orang Papua makan orang Papua sendiri. Sebab, perputaran proyek semuanya ada di tingkat elit Papua sendiri.Untuk mengatasi penyimpangan itu, yang dibutuhkan sekarang ini adalah tata kelola pemerintahan yang baik, terutama mulai dari perencanaan. Berkaitan dengan tata kelola pemerintahan ini, saat ini banyak kepala dinas maupun pihak gereja sendiri mulai mengeluhkan soal sulitnya mengeluarkan uang.Sebab, yang dikelola ini adalah uang negara sehingga perlu dimanaj dan setiap pengeluaran 1 sen pun harus dipertanggungjawabkan secara jelas. Karena itu dalam evaluasi ini, hal yang paling penting adalah reformasi pemerintahan dan struktur anggaran belanja." Dalam tata kelola pemerintahan ini harus dilakukan secara baik, bersih dan takut akan Tuhan serta yang melayani rakyatnya sebaik-baiknya. Indikator dari efektifitas tata kelola pemerintahan ini nantinya dapat dilihat apakah kehidupan rakyat bisa lebih baik atau tidak, jangan sampai rakyat miskin diatas kekayaannya sendiri," ungkapnya.Berkaitan dengan tata kelola pemerintahan yang baik itu, maka nantinya di Pemerintah Provinsi akan ada penciutan struktur birokrasi. Ini, dilakukan kedepannya uang Otsus lebih banyak turun dikampung, sebab keberadaan rakyat ada di kampung-kampung.Yang membuat uang Otsus hanya sedikit turun dikampung, karena sebagian besar uang Otsus digunakan oleh kepentingan birokrasi. Untuk itulah, yang akan dilakukan kedepan adalah melakukan perampingan struktur birokrasi dan memperkaya fungsi-fungsi pelayanan kepada rakyat.Diharapkan dengan cara ini, anggaran belanja untuk kepentingan birokrasi semakin sedikit dan efisien, sebaliknya untuk anggaran kepentingan rakyat harus semakin besar porsinya. Sementara itu, Rektor Uncen Prof. Bert Kambuaya, MBA mengungkapkan, selama Otsus Papua berjalan upaya pemberdayaan rakyat Papua masih rapuh, sehingga yang harus dilakukan saat ini adalah bagaimana membuat orang Papua bisa kuat dan mandiri. Sebab, dengan orang menjadi kuat dan mandiri, maka mereka ini bisa terlibat dalam berbagai hal. Jika hal ini belum dibangun secara baik, maka orang dikasih uang pun selama mereka tidak memiliki kapasitas yang baik, maka uang yang dikasihpun tidak ada manfaatnya." Untuk membangun kapasitas masyarakat maka dibutuhkan pendidikan yang baik. Sebab, tidak mungkin orang bisa diberdayakan jika mereka ini tidak mendapatkan pendidikan yang baik. Karena selaku lembaga pendidikan di Papua, Uncen telah berkomitmen untuk membantu menyiapkan kapasitas masyarakat agar bisa berpartisipasi dalam pembangunan segala hal," imbuhnya.Seminar ini sendiri berlangsung 2 hari dan baru akan berakhir hari ini Rabu (19/11) sekaligus akan disampaikan hasil-hasil seminar serta rekomendasi kepada Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Pusat. Kegiatan ini dihadiri para pimpinan gereja, tokoh adat, tokoh perempuan, tokoh pemuda, Sekjen PDP Thaha Alhamid, pimpinan perguruan tinggi se- Jayapura, para dosen dan para mahasiswa se- Jayapura. (mud
Wednesday, 19 November 2008
Sunday, 17 August 2008
5 Pentolan DAP Gagal Diperiksa
CEPOS, JAYAPURA-14 Agustus 2008 23:40:07
Sesuai rencana, Kamis (14/8) kemarin, lima orang pentolan Dewan Adat Papua (DAP) akan menjalani pemeriksaan sebagai saksi insiden pengibaran bintang kejora, pada acara peringatan hari Pribumi di Wamena, Sabtu lalu.Namun rencana pemeriksaan itu akhirnya gagal, sebab meskipun para pentolan DAP itu sudah datang ke Polda Papua, tetapi mereka menolak untuk dilakukan pemeriksaan.Ketua DAP, Forkurus Yoboisembut saat ditanya wartawan seusai keluar dari ruang Direktorat Reserse dan Kriminal Polda Papua, mengatakan, pihaknya menolak diperiksa karena tidak dilibatkan sebagai saksi dalam kasus penembakan terhadap Otinus Tabuni yang juga terjadi pada momen yang sama. "Kami sepakat menolak pemeriksaan dengan dugaan melakukan pengibaran bintang kejora, sebab kita tidak ikut dijadikan saksi dalam kasus penembakan warga yang ikut dalam peringatan itu," paparnya didampingi Kepala Pemberitaan DAP, Fadel Alhamid, Kepala DAP Wilayah Lembah Baliem, Lemoks Mabel, Ketua dan Sekretaris Panitia Hari Bangsa Pribumi di Wamena, Yulianus Isage dan Dominikus Sorabut. Forkorus menegaskan, dirinya dan rekan lainnya hanya bersedia diperiksa pada kasus pengibaran bintang kejora, jika dalam kasus penembakan dilibatkan sebagai saksi. Itupun dengan beberapa syarat antara lain: polisi harus segera mengungkap pelaku penembakan dan saat diperiksa, DAP minta didampingi oleh utusan dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB)."Kami mau diperiksa jika didampingi pelapor khusus anti kekerasan PBB, Mampret Nowak. Bila tidak, kami menolak untuk diperiksa dalam kasus pengibaran bintang kejora," ucapnya.Pihaknya meminta polisi segera mengusut dan mengungkap secara transparan dan menghukum pelakunya. DAP Dianggap Ingkar Janji /// Sementara itu, Kabidhumas Polda Papua, Kombes Pol. Drs. Agus Rianto saat dikonfirmasi mengatakan, saat di Wamena dan di hadapan Kapolda, para pentolan DAP itu menyanggupi untuk diperiksa Kamis (14/8). "Tetapi kenyataannya, mereka menolak dengan alasan harus didampingi PBB. Dengan penolakan ini, kami menganggap, mereka telah mengingkari janjinya saat di Wamena," tuturnya.Pihaknya menyatakan, siapapun orangnya yang ada di negara ini, mereka harus tunduk pada aturan yang berlaku di negara ini, bukan terpengaruh pada orang luar.Kabidhumas menegaskan bahwa pengibaran bintang kejora itu dilarang, karena itu dianggap sebagai lambang separatis. "Orang yang melanggar ini sudah banyak yang ditahan dan dihukum. Karena itu, masyarakat dihimbau agar tidak lagi terprovokasi untuk mengibarkan bintang kejora.Terkait penolakan pemeriksaan itu, maka pihaknya akan kembali melakukan pemanggilan terhadap para pentolan DAP itu untuk diperiksa terkait kasus pengibaran bintang kejora.Kemudian terkait kasus penembakan yang mengakibatkan satu korban tewas, saat ini penyidik telah memeriksa 33 orang polisi dan 4 orang saksi dari masyarakat. Sedangkan untuk memastikan peluru itu dari siapa, pihaknya masih menunggu hasil uji balistik di Labfor Makassar. Komnasham Anggap Telah Terjadi Pelanggaran Sementara itu, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnasham) Pusat, Ifdhal Kasim menegaskan, kasus penembakan di Wamena itu merupakan pelanggaran terhadap hak hidup orang. "Penembakan pada suatu kerumunan yang sedang melakukan aksi damai seperti memperingati hari pribumi internasional itu, ada aparat yang melakukan penembakan dan mengakibatkan tewasnya orang, dimana aksi itu juga tidak mengancam ketertiban umum, maka itu jelas merupakan pelanggaran, pelanggaran atas hak hidup orang lain," paparnya. Karena ini merupakan pelanggaran terhadap hak hidup, maka kasus ini harus diungkap dan meminta pertanggungjawaban dari orang yang melakukan penembakan itu.Dengan kejadian ini, Komnasham meminta kepada pihak kepolisian untuk menuntaskan dengan jelas, siapa yang melakukan penambakan. "Pengungkapannya harus tuntas," tandasnya.Menurutnya, menghadapi dinamika politik local yang menggunakan bintang kejora, pemerintah tidak menghadapinya dengan cara kekerasan atau menggunakan pendekatan keamanan. "Karena itu kami mendorong agar mengutamakan pendekatan dialogis, agar ada penyelesaian dalam mengatasi bintang kejora ini," ujarnya. (fud)
Sesuai rencana, Kamis (14/8) kemarin, lima orang pentolan Dewan Adat Papua (DAP) akan menjalani pemeriksaan sebagai saksi insiden pengibaran bintang kejora, pada acara peringatan hari Pribumi di Wamena, Sabtu lalu.Namun rencana pemeriksaan itu akhirnya gagal, sebab meskipun para pentolan DAP itu sudah datang ke Polda Papua, tetapi mereka menolak untuk dilakukan pemeriksaan.Ketua DAP, Forkurus Yoboisembut saat ditanya wartawan seusai keluar dari ruang Direktorat Reserse dan Kriminal Polda Papua, mengatakan, pihaknya menolak diperiksa karena tidak dilibatkan sebagai saksi dalam kasus penembakan terhadap Otinus Tabuni yang juga terjadi pada momen yang sama. "Kami sepakat menolak pemeriksaan dengan dugaan melakukan pengibaran bintang kejora, sebab kita tidak ikut dijadikan saksi dalam kasus penembakan warga yang ikut dalam peringatan itu," paparnya didampingi Kepala Pemberitaan DAP, Fadel Alhamid, Kepala DAP Wilayah Lembah Baliem, Lemoks Mabel, Ketua dan Sekretaris Panitia Hari Bangsa Pribumi di Wamena, Yulianus Isage dan Dominikus Sorabut. Forkorus menegaskan, dirinya dan rekan lainnya hanya bersedia diperiksa pada kasus pengibaran bintang kejora, jika dalam kasus penembakan dilibatkan sebagai saksi. Itupun dengan beberapa syarat antara lain: polisi harus segera mengungkap pelaku penembakan dan saat diperiksa, DAP minta didampingi oleh utusan dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB)."Kami mau diperiksa jika didampingi pelapor khusus anti kekerasan PBB, Mampret Nowak. Bila tidak, kami menolak untuk diperiksa dalam kasus pengibaran bintang kejora," ucapnya.Pihaknya meminta polisi segera mengusut dan mengungkap secara transparan dan menghukum pelakunya. DAP Dianggap Ingkar Janji /// Sementara itu, Kabidhumas Polda Papua, Kombes Pol. Drs. Agus Rianto saat dikonfirmasi mengatakan, saat di Wamena dan di hadapan Kapolda, para pentolan DAP itu menyanggupi untuk diperiksa Kamis (14/8). "Tetapi kenyataannya, mereka menolak dengan alasan harus didampingi PBB. Dengan penolakan ini, kami menganggap, mereka telah mengingkari janjinya saat di Wamena," tuturnya.Pihaknya menyatakan, siapapun orangnya yang ada di negara ini, mereka harus tunduk pada aturan yang berlaku di negara ini, bukan terpengaruh pada orang luar.Kabidhumas menegaskan bahwa pengibaran bintang kejora itu dilarang, karena itu dianggap sebagai lambang separatis. "Orang yang melanggar ini sudah banyak yang ditahan dan dihukum. Karena itu, masyarakat dihimbau agar tidak lagi terprovokasi untuk mengibarkan bintang kejora.Terkait penolakan pemeriksaan itu, maka pihaknya akan kembali melakukan pemanggilan terhadap para pentolan DAP itu untuk diperiksa terkait kasus pengibaran bintang kejora.Kemudian terkait kasus penembakan yang mengakibatkan satu korban tewas, saat ini penyidik telah memeriksa 33 orang polisi dan 4 orang saksi dari masyarakat. Sedangkan untuk memastikan peluru itu dari siapa, pihaknya masih menunggu hasil uji balistik di Labfor Makassar. Komnasham Anggap Telah Terjadi Pelanggaran Sementara itu, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnasham) Pusat, Ifdhal Kasim menegaskan, kasus penembakan di Wamena itu merupakan pelanggaran terhadap hak hidup orang. "Penembakan pada suatu kerumunan yang sedang melakukan aksi damai seperti memperingati hari pribumi internasional itu, ada aparat yang melakukan penembakan dan mengakibatkan tewasnya orang, dimana aksi itu juga tidak mengancam ketertiban umum, maka itu jelas merupakan pelanggaran, pelanggaran atas hak hidup orang lain," paparnya. Karena ini merupakan pelanggaran terhadap hak hidup, maka kasus ini harus diungkap dan meminta pertanggungjawaban dari orang yang melakukan penembakan itu.Dengan kejadian ini, Komnasham meminta kepada pihak kepolisian untuk menuntaskan dengan jelas, siapa yang melakukan penambakan. "Pengungkapannya harus tuntas," tandasnya.Menurutnya, menghadapi dinamika politik local yang menggunakan bintang kejora, pemerintah tidak menghadapinya dengan cara kekerasan atau menggunakan pendekatan keamanan. "Karena itu kami mendorong agar mengutamakan pendekatan dialogis, agar ada penyelesaian dalam mengatasi bintang kejora ini," ujarnya. (fud)
Thursday, 7 August 2008
Kongres AS Desak SBY Bebaskan Anggota OPM
NEW YORK, KAMIS - Sejumlah anggota Kongres Amerika Serikat melayangkan surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang isinya antara lain meminta Yudhoyono memastikan pembebasan segera dan tanpa syarat dua separatis Organisasi Papua Merdeka, Filep Karma dan Yusak Pakage. Surat yang ditandatangani 40 anggota Kongres tersebut dialamatkan kepada Yudhoyono dengan penulisan alamat "Dr. H Susilo Bambang Yudhoyono, President of the Republic of Indonesia, Istana Merdeka, Jakarta 10110, Indonesia". Surat itu antara lain berbunyi, "Kami, para anggota Kongres AS, yang bertandatangan di bawah ini dengan hormat meminta Bapak (Presiden Yudhoyono, red) memberikan perhatian terhadap kasus Filep Karma dan Yusak Pakage, yang pada Mei 2005 dijatuhi hukuman karena keterlibatan mereka dalam kegiatan damai yang dilindungi hukum, yaitu bebas mengeluarkan pendapat, di Abepura, Papua, pada 1 Desember 2004." "Kami mendesak Bapak mengambil langkah untuk memastikan pembebasan segera dan tanpa syarat bagi Bpk Karma dan Bpk Pakage," demikian bunyi kalimat di bagian bawah surat. Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat Sudjadnan Parnohadingrat membenarkan adanya surat dari sejumlah anggota Kongres AS yang langsung ditujukan kepada Presiden Yudhoyono. "Memang benar. Surat itu tertanggal 29 Juli 2008 dan dikirimkan melalui kita. Sudah kita kirimkan ke Jakarta," kata Sudjadnan, Rabu (6/8). Ia melihat bobot kepentingan yang terkandung dalam surat tidak ringan. "Yang mengirimkan sudah tingkat Kongres AS. Dan yang memberikan tandatanganpun cukup banyak, 40 anggota Kongres," ujarnya. Menurutnya, pertanyaan dan kritik seputar penahanan Filep Karma dan Yusak Pakage juga cukup banyak dilontarkan oleh berbagai pihak di AS. "Tapi selalu kami katakan bahwa keduanya (Filep dan Yusak, red) ditahan karena ada unsur pidana. Proses hukumnya juga sudah tuntas dijalankan, mulai dari tingkat pengadilan tingkat pertama, banding, kasasi, hingga keputusan dari Mahkamah Agung," kata Sudjadnan. Kepada pihak-pihak yang mempertanyakan penahanan Filep dan Yusak, paparnya, Indonesia selalu menerangkan bahwa kedua separatis Papua Merdeka itu ditahan bukan karena melakukan demonstrasi, tetapi lebih karena materi unjuk rasa yang selalu mereka usung, yaitu ingin menciptakan Papua merdeka. "Setiap negara punya kategori, apa yang dianggap menjadi ancaman terhadap keamanan. Amerika, misalnya, mereka anggap terorisme sebagai ancaman. Bagi negara kita, tidak hanya terorisme. Upaya memerdekakan bagian dari wilayah NKRI adalah masalah serius. Itu sudah termasuk ancaman terhadap keamanan," tegas Sudjadnan. Ia juga menekankan bahwa pemerintah Indonesia tidak mungkin campur tangan dalam masalah pembebasan Filep dan Yusak dari tahanan. "Pemerintah tidak boleh mencampuri wilayah tersebut. Itu kewenangan pihak yudikatif," katanya, mengingatkan. Tentang surat dari 40 anggota Kongres, Sudjadnan mengungkapkan bahwa KBRI Washington D.C. sendiri dalam waktu dekat akan mengirimkan surat balasan. "Isinya, ya sama seperti yang kami telah paparkan kepada khalayak di AS yang pernah mempertanyakan soal penahanan Filep dan Yusak," katanya. Filep Karma dan Yusak Pakage pada Mei 2005 dijatuhi hukuman 15 dan 10 tahun penjara dalam kasus makar pengibaran bendera Bintang Kejora di Lapangan Trikora, Abepura, pada 1 Desember 2004.
Friday, 1 August 2008
Ditolak, Pembangunan Markas TNI di Belu
SUARA PEMBARUAN DAILY
[KUPANG] Rencana pembangunan markas TNI untuk batalyon baru dan kompi kavaleri tank di wilayah Kabupaten Belu dan Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timor (NTT), ditolak Uskup Atambua, Mgr Dominikus Saku Pr. Pembangunan markas TNI di dua kabupaten ini bukan merupakan kebutuhan mendesak karena yang dibutuhkan masyarakat adalah keadilan sosial.
Uskup Atambua, Dominikus Saku ketika dihubungi SP melalui telepon selulernya, Jumat (1/8) pagi mengatakan, penolakan rencana pembangunan markas TNI tersebut sudah dikemukakan langsung saat pertemuan dengan Komandan Komando Resor Militer (Danrem) 161 Wirasakti, Kol Inf Winston Pardamean Simanjuntak di Atambua, awal pekan ini.
Dijelaskan, pertemuan itu merupakan tindak lanjut terhadap Surat Tanggapan Uskup, setelah pihaknya menerima surat dari Kodim 1605 Belu dan Kodim 1618 TTU. Di mana, Komandan Kodim (Dandim) 1605 Belu memohon bantuan Bupati Belu menyediakan lahan antara 50 - 70 hektare (ha) dekat jalan utama di kota Atambua untuk pembangunan markas batalyon kavaleri tank.
Selain itu, dalam surat tertanggal 19 Mei 2008 tersebut, diminta pula lahan antara 30 - 40 ha untuk pembangunan markas kavaleri tank dan pembangunan kompi penyerbu di wilayah selatan Betun dan wilayah utara di Atapupu dengan luas lahan 10 ha hingga 15 ha.
Hal yang sama diajukan Dandim 1618 TTU dalam suratnya, tanggal 22 Mei 2008 kepada Bupati TTU dengan memohon penyediaan lahan untuk pembangunan markas batalyon infanteri di atas lahan antara 60 - 70 ha dan pembangunan markas kompi kavaleri tank dengan luas lahan antara 9 - 10 ha.
Menyuarakan
Terhadap permohonan tersebut, pihak gereja dalam hal ini keuskupan, perlu menyuarakan suara masyarakat. Untuk itu dalam rapat di tingkat keuskupan, sudah secara tegas ditolak rencana tersebut. Kehadiran pasukan yang cukup banyak bukan merupakan kebutuhan yang mendesak karena yang dibutuhkan masyarakat adalah ketenangan. Apalagi kondisi di wilayah perbatasan Indonesia - Timor Leste relatif aman dan kondusif.
Uskup Dominikus menjelaskan, dalam diskusi bersama itu, Danrem didampingi Dandim 1605 Belu, Dandim 1618 Belu, Komandan Batalyon (Danyon) 744/ SBY serta sejumlah perwira lainnya, banyak hal yang diutarakan. Bahkan Danrem mengutarakan soal ancaman dari luar yang akan merongrong kewibawaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Terhadap masukan ini, tambahnya, pihaknya tetap pada pendirian bahwa kehadiran militer memang sangat dibutuhkan manakala kondisi wilayah perbatasan sedang dalam keadaan perang. Saat ini, justru kehidupan masyarakat berjalan sangat baik, apalagi antara masyarakat di Timor Barat dan masyarakat Timor Leste memiliki akar budaya yang sama.
Danrem 161/ Wirasakti, Winstion Pardamean Simanjuntak mengatakan, kehadiran markas TNI di perbatasan Indonesia - Timor Leste sudah melalui pengkajian. Hal ini dikarenakan, ada upaya dari luar untuk merongrong kewibawaan NKRI. Mengantisipasi hal-hal tersebut, diperlukan tambahan pasukan TNI di kawasan perbatasan. Untuk itu, diharapkan adanya kemauan baik semua pihak terkait untuk bersama-sama memikirkan masa depan bangsa. [120]
Last modified: 31/7/08
[KUPANG] Rencana pembangunan markas TNI untuk batalyon baru dan kompi kavaleri tank di wilayah Kabupaten Belu dan Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timor (NTT), ditolak Uskup Atambua, Mgr Dominikus Saku Pr. Pembangunan markas TNI di dua kabupaten ini bukan merupakan kebutuhan mendesak karena yang dibutuhkan masyarakat adalah keadilan sosial.
Uskup Atambua, Dominikus Saku ketika dihubungi SP melalui telepon selulernya, Jumat (1/8) pagi mengatakan, penolakan rencana pembangunan markas TNI tersebut sudah dikemukakan langsung saat pertemuan dengan Komandan Komando Resor Militer (Danrem) 161 Wirasakti, Kol Inf Winston Pardamean Simanjuntak di Atambua, awal pekan ini.
Dijelaskan, pertemuan itu merupakan tindak lanjut terhadap Surat Tanggapan Uskup, setelah pihaknya menerima surat dari Kodim 1605 Belu dan Kodim 1618 TTU. Di mana, Komandan Kodim (Dandim) 1605 Belu memohon bantuan Bupati Belu menyediakan lahan antara 50 - 70 hektare (ha) dekat jalan utama di kota Atambua untuk pembangunan markas batalyon kavaleri tank.
Selain itu, dalam surat tertanggal 19 Mei 2008 tersebut, diminta pula lahan antara 30 - 40 ha untuk pembangunan markas kavaleri tank dan pembangunan kompi penyerbu di wilayah selatan Betun dan wilayah utara di Atapupu dengan luas lahan 10 ha hingga 15 ha.
Hal yang sama diajukan Dandim 1618 TTU dalam suratnya, tanggal 22 Mei 2008 kepada Bupati TTU dengan memohon penyediaan lahan untuk pembangunan markas batalyon infanteri di atas lahan antara 60 - 70 ha dan pembangunan markas kompi kavaleri tank dengan luas lahan antara 9 - 10 ha.
Menyuarakan
Terhadap permohonan tersebut, pihak gereja dalam hal ini keuskupan, perlu menyuarakan suara masyarakat. Untuk itu dalam rapat di tingkat keuskupan, sudah secara tegas ditolak rencana tersebut. Kehadiran pasukan yang cukup banyak bukan merupakan kebutuhan yang mendesak karena yang dibutuhkan masyarakat adalah ketenangan. Apalagi kondisi di wilayah perbatasan Indonesia - Timor Leste relatif aman dan kondusif.
Uskup Dominikus menjelaskan, dalam diskusi bersama itu, Danrem didampingi Dandim 1605 Belu, Dandim 1618 Belu, Komandan Batalyon (Danyon) 744/ SBY serta sejumlah perwira lainnya, banyak hal yang diutarakan. Bahkan Danrem mengutarakan soal ancaman dari luar yang akan merongrong kewibawaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Terhadap masukan ini, tambahnya, pihaknya tetap pada pendirian bahwa kehadiran militer memang sangat dibutuhkan manakala kondisi wilayah perbatasan sedang dalam keadaan perang. Saat ini, justru kehidupan masyarakat berjalan sangat baik, apalagi antara masyarakat di Timor Barat dan masyarakat Timor Leste memiliki akar budaya yang sama.
Danrem 161/ Wirasakti, Winstion Pardamean Simanjuntak mengatakan, kehadiran markas TNI di perbatasan Indonesia - Timor Leste sudah melalui pengkajian. Hal ini dikarenakan, ada upaya dari luar untuk merongrong kewibawaan NKRI. Mengantisipasi hal-hal tersebut, diperlukan tambahan pasukan TNI di kawasan perbatasan. Untuk itu, diharapkan adanya kemauan baik semua pihak terkait untuk bersama-sama memikirkan masa depan bangsa. [120]
Last modified: 31/7/08
Tuesday, 29 July 2008
Nelayan Thailand Ditemukan Tewas
CEPOS
28 Juli 2008 05:16:19
Dilaporkan, Sebelumnya Korban Mengkonsumsi MirasMERAUKE – Kasus tewasnya warga negara asing (WNA) , terutama nelayan asing yang mencari ikan di sekitar perairan Arafura, kembali terjadi di Merauke. Seorang warga negara asal Thailand ditemukan tewas bernama Yanakom (27) yang sehari-harinya bekerja sebagai ABK kapal diatas kapal Mega Jaya 02 itu ditemukan tewas diatas kapal tersebut, Minggu (27/7) sekitar pukul 09.30 WIT. Belum diketahui penyebab kematian korban. Namun data yang berhasil dihimpun koran ini Minggu kemarin sesaat setelah kejadian tersebut menyebutkan, pada malam harinya korban telah minum-minuman keras jenis Sopi. Kapolres Merauke AKBp Drs I Made Djuliadi, SH, didampingi Kapolsek KP3 Laut Pelabuhan Merauke AKP Marthin Koagouw, membenarkan ketika dikonfirmasi Minggu (27/7). Menurut Kapolres, dari laporan awal yang diterima pihaknya, pada malam harinya sebelum kejadian itu, korban telah minum minuman keras. Dan setelah minum itu korban dilaporkan muntah-muntah. Sekitar pukul 09.30 WIT korban tiba-tiba terbangun dan merasakan sesak napas. ‘’Dari laporannya awal bahwa korban pada malamnya minum-minuman keras jenis sopi, kemudian muntah-muntah dan sesak napas kemudian meninggal. Tapi, kita tidak bisa berpegang pada laporan awal itu,’’ kata Kapolres. Karena itu, untuk kepentingan penyelidikan, tetap dilakukan untuk mengungkap kematian korban tersebut. Selain autopsi jenasah, juga saksi-saksi akan dimintai keterangan. ‘’Apalagi ini warga Negara asing,’’ terang Kapolres. Kendati korban diperkirakan meninggal sekitar pukul 09.30 WIT, namun pihak Polsek KP3 Laut Pelabuhan Merauke baru mendapatkan laporan dari pihak pengelola kapal PT Marind Mina Lestari sekitar pukul 13.00 WIT, kemarin. Mendapat laporan, pihak KP3 Laut memerintahkan untuk segera mengevakuasi jenasah korban dari atas Kapal. Sekitar pukul 14.00 WIT, evakuasi jenazah telah dilakukan dengan menggunakan perahu ke Pelabuhan Merauke, selanjutnya dibawa ke Kamar Mayat RSUD Merauke dengan menggunakan mobil jenasah untuk diautopsy. (ulo)
28 Juli 2008 05:16:19
Dilaporkan, Sebelumnya Korban Mengkonsumsi MirasMERAUKE – Kasus tewasnya warga negara asing (WNA) , terutama nelayan asing yang mencari ikan di sekitar perairan Arafura, kembali terjadi di Merauke. Seorang warga negara asal Thailand ditemukan tewas bernama Yanakom (27) yang sehari-harinya bekerja sebagai ABK kapal diatas kapal Mega Jaya 02 itu ditemukan tewas diatas kapal tersebut, Minggu (27/7) sekitar pukul 09.30 WIT. Belum diketahui penyebab kematian korban. Namun data yang berhasil dihimpun koran ini Minggu kemarin sesaat setelah kejadian tersebut menyebutkan, pada malam harinya korban telah minum-minuman keras jenis Sopi. Kapolres Merauke AKBp Drs I Made Djuliadi, SH, didampingi Kapolsek KP3 Laut Pelabuhan Merauke AKP Marthin Koagouw, membenarkan ketika dikonfirmasi Minggu (27/7). Menurut Kapolres, dari laporan awal yang diterima pihaknya, pada malam harinya sebelum kejadian itu, korban telah minum minuman keras. Dan setelah minum itu korban dilaporkan muntah-muntah. Sekitar pukul 09.30 WIT korban tiba-tiba terbangun dan merasakan sesak napas. ‘’Dari laporannya awal bahwa korban pada malamnya minum-minuman keras jenis sopi, kemudian muntah-muntah dan sesak napas kemudian meninggal. Tapi, kita tidak bisa berpegang pada laporan awal itu,’’ kata Kapolres. Karena itu, untuk kepentingan penyelidikan, tetap dilakukan untuk mengungkap kematian korban tersebut. Selain autopsi jenasah, juga saksi-saksi akan dimintai keterangan. ‘’Apalagi ini warga Negara asing,’’ terang Kapolres. Kendati korban diperkirakan meninggal sekitar pukul 09.30 WIT, namun pihak Polsek KP3 Laut Pelabuhan Merauke baru mendapatkan laporan dari pihak pengelola kapal PT Marind Mina Lestari sekitar pukul 13.00 WIT, kemarin. Mendapat laporan, pihak KP3 Laut memerintahkan untuk segera mengevakuasi jenasah korban dari atas Kapal. Sekitar pukul 14.00 WIT, evakuasi jenazah telah dilakukan dengan menggunakan perahu ke Pelabuhan Merauke, selanjutnya dibawa ke Kamar Mayat RSUD Merauke dengan menggunakan mobil jenasah untuk diautopsy. (ulo)
12 ABK Thailand Tewas di Merauke
CEPOS 29 Juli 2008 04:44:27
Diduga Over Dosis Miras MERAUKE-Jumlah ABK asal Thailand yang tewas di Merauke terus bertambah. Jika sehari sebelumnya, Minggu (27/7), 1 warga Thailand yang sehari-harinya bekerja sebagai ABK pada kapal Mega Jaya 02 dilaporkan tewas, maka Senin (28/7) kemarin korban tewas bertambah 11 orang, sehingga totalnya 12 orang.Tiga diantaranya meninggal di atas kapal penangkap ikan KM Mega Jaya 02 masing-masing Khanet diperkirakan meninggal sekitar pukul 01.00 WIT, Boorma diperkirakan meninggal sekitar pukul 01.30 WIT dan Nobphorot diperkirakan meninggal sekitar pukul 02.00 WIT. Kemudian dua lainnya meninggal di atas kapal KM Cisadane 08, masing-masing Bunma diperkirakan meninggal sekitar pukul 02.30 dan Can meninggal sekitar pukul 05.00 WIT. Dan 6 lainnya meninggal di RSUD Merauke sekitar pukul 14.00 WIT dan 17.00 WIT dan tadi malam. Namun hingga berita ini diturunkan nama keenam korban yang meninggal di RSUD Merauke itu masih dicari-cari petugas. ''Kita masih lakukan pencarian nama, dan sampai saat ini kedua nama itu belum kita peroleh, '' kata petugas RSUD Merauke. Jumlah yang meninggal ini kemungkinan masih akan bertambah. Pasalnya, masih terdapat 13 ABK asal Thailand dari kedua kapal Mega Jaya 02 dan Cisadane 08 itu menjalani perawatan di RSUD Merauke dengan keluhan yang sama, yakni didahului akit perut kemudian muntah-muntah. Meski hasil otopsi dari pihak RSUD Merauke belum keluar terhadap 11 ABK yang tewas itu, namun kuat dugaan para korban tersebut meninggal akibat minuman keras berdosis tinggi yakni Sopi yang dicampur minuman lainnya. Sebab, dari keterangan yang diperoleh Koran ini di lapangan menyebutkan jika sebelumnya para korban yang meninggal maupun yang masuk rumah sakit itu sebelumnya minum minuman keras jenis Sopi yang kemungkinan dicampur dengan minuman lain. Selain itu, dari TKP kedua kapal itu, Polisi berhasil menyita barang bukti Sopi, infuse D5S, minyak Babi dan Air kemasan asal Thailand. ''Kemungkinan itu dicampur,'' kata salah satu saksi. Masihketerangan lapangan, para korban yang meninggal itu sebelumnya mengalami sakit perut kemudian muntah-muntah dan meninggal. Wakapolres Merauke Kompol Sondang RD Siagian, SIK, ketika dikonfirmasi membenarkan bertambahnya ABK asal Thailand yang tewas itu. Menurut Wakapolres, pihaknya menerima laporan atas tewasnya 5 ABK diatas kedua kapal Mega Jaya 02 dan Cisadane 08 sekitar pukul 04.00 WIT. ''Sebenarnya yang kita terima 3 orang dari Kapal Mega Jaya 02, namun setelah Mega Jaya tiba di Pelabuhan Merauke beberapa saat kemudian Kapal Cisadane muincul dan membawa 2 ABK lagi yang meninggal,'' kata Wakapolres. Menerima laporan, petugas dari KP3 Laut yang dipimpin langsung Kapolsek KP3 Laut AKP Marthin Koagouw dan Unit Identifikasi Reskrim langsung turun ke TKP dan melakukan evakuasi kelima jenasah itu ke pihak rumah sakit untuk diotopsi. Setelah dibuatkan laporan awalnya, kemudian langsung diserahkan ke Reskrim untuk penyilidikan lebih lanjut. Diakui Wakapolres, hampir semua ABK Thailand yang meninggal baik karena tenggelam selama ini terlebih dahulu dipengaruhiminuman keras. Sebelumnya pada Jumat (25/7) malam sekitar pukul 10.00 WIT, lanjut Wakapolres, pihaknya telah mengamankan sekitar 30 ABK tersebut dari Lokalisasi Yobar. ''Dari pihak KP3 Laut yang langsung mengamankan saat mereka masuk ke lokalisasi Yobar karena mereka ke darat tanpa dengan izin,'' jelasnya. Kemungkinan pada saat ke darat itu para korban itu minum minuman keras jenis Sopi dan sebagian lainnya di bawa ke kapal. ''Mungkin pada saat ke darat itu mereka membeli minuman entah dimana. Dan sebagian diantaranya dibawa ke kapal dan minum di sana,'' terangnya. Para ABK dari kedua kapal tersebut diperkirakan baru tiba sekitar 2 minggu lalu.''Jadi ada sekitar 15 kapal. Tibanya sekitar 2 minggu lalu dan saat ini dari informasi bahwa sedang dalam pengurus perizinan untuk beroperasi,'' jelas Wakapolres. Sebelumnya, kapal dan para ABK tersebut berasal dari Tual. (ulo)
Diduga Over Dosis Miras MERAUKE-Jumlah ABK asal Thailand yang tewas di Merauke terus bertambah. Jika sehari sebelumnya, Minggu (27/7), 1 warga Thailand yang sehari-harinya bekerja sebagai ABK pada kapal Mega Jaya 02 dilaporkan tewas, maka Senin (28/7) kemarin korban tewas bertambah 11 orang, sehingga totalnya 12 orang.Tiga diantaranya meninggal di atas kapal penangkap ikan KM Mega Jaya 02 masing-masing Khanet diperkirakan meninggal sekitar pukul 01.00 WIT, Boorma diperkirakan meninggal sekitar pukul 01.30 WIT dan Nobphorot diperkirakan meninggal sekitar pukul 02.00 WIT. Kemudian dua lainnya meninggal di atas kapal KM Cisadane 08, masing-masing Bunma diperkirakan meninggal sekitar pukul 02.30 dan Can meninggal sekitar pukul 05.00 WIT. Dan 6 lainnya meninggal di RSUD Merauke sekitar pukul 14.00 WIT dan 17.00 WIT dan tadi malam. Namun hingga berita ini diturunkan nama keenam korban yang meninggal di RSUD Merauke itu masih dicari-cari petugas. ''Kita masih lakukan pencarian nama, dan sampai saat ini kedua nama itu belum kita peroleh, '' kata petugas RSUD Merauke. Jumlah yang meninggal ini kemungkinan masih akan bertambah. Pasalnya, masih terdapat 13 ABK asal Thailand dari kedua kapal Mega Jaya 02 dan Cisadane 08 itu menjalani perawatan di RSUD Merauke dengan keluhan yang sama, yakni didahului akit perut kemudian muntah-muntah. Meski hasil otopsi dari pihak RSUD Merauke belum keluar terhadap 11 ABK yang tewas itu, namun kuat dugaan para korban tersebut meninggal akibat minuman keras berdosis tinggi yakni Sopi yang dicampur minuman lainnya. Sebab, dari keterangan yang diperoleh Koran ini di lapangan menyebutkan jika sebelumnya para korban yang meninggal maupun yang masuk rumah sakit itu sebelumnya minum minuman keras jenis Sopi yang kemungkinan dicampur dengan minuman lain. Selain itu, dari TKP kedua kapal itu, Polisi berhasil menyita barang bukti Sopi, infuse D5S, minyak Babi dan Air kemasan asal Thailand. ''Kemungkinan itu dicampur,'' kata salah satu saksi. Masihketerangan lapangan, para korban yang meninggal itu sebelumnya mengalami sakit perut kemudian muntah-muntah dan meninggal. Wakapolres Merauke Kompol Sondang RD Siagian, SIK, ketika dikonfirmasi membenarkan bertambahnya ABK asal Thailand yang tewas itu. Menurut Wakapolres, pihaknya menerima laporan atas tewasnya 5 ABK diatas kedua kapal Mega Jaya 02 dan Cisadane 08 sekitar pukul 04.00 WIT. ''Sebenarnya yang kita terima 3 orang dari Kapal Mega Jaya 02, namun setelah Mega Jaya tiba di Pelabuhan Merauke beberapa saat kemudian Kapal Cisadane muincul dan membawa 2 ABK lagi yang meninggal,'' kata Wakapolres. Menerima laporan, petugas dari KP3 Laut yang dipimpin langsung Kapolsek KP3 Laut AKP Marthin Koagouw dan Unit Identifikasi Reskrim langsung turun ke TKP dan melakukan evakuasi kelima jenasah itu ke pihak rumah sakit untuk diotopsi. Setelah dibuatkan laporan awalnya, kemudian langsung diserahkan ke Reskrim untuk penyilidikan lebih lanjut. Diakui Wakapolres, hampir semua ABK Thailand yang meninggal baik karena tenggelam selama ini terlebih dahulu dipengaruhiminuman keras. Sebelumnya pada Jumat (25/7) malam sekitar pukul 10.00 WIT, lanjut Wakapolres, pihaknya telah mengamankan sekitar 30 ABK tersebut dari Lokalisasi Yobar. ''Dari pihak KP3 Laut yang langsung mengamankan saat mereka masuk ke lokalisasi Yobar karena mereka ke darat tanpa dengan izin,'' jelasnya. Kemungkinan pada saat ke darat itu para korban itu minum minuman keras jenis Sopi dan sebagian lainnya di bawa ke kapal. ''Mungkin pada saat ke darat itu mereka membeli minuman entah dimana. Dan sebagian diantaranya dibawa ke kapal dan minum di sana,'' terangnya. Para ABK dari kedua kapal tersebut diperkirakan baru tiba sekitar 2 minggu lalu.''Jadi ada sekitar 15 kapal. Tibanya sekitar 2 minggu lalu dan saat ini dari informasi bahwa sedang dalam pengurus perizinan untuk beroperasi,'' jelas Wakapolres. Sebelumnya, kapal dan para ABK tersebut berasal dari Tual. (ulo)
Demo KMMPTP, Dibubarkan
CEPOS
29 Juli 2008 04:13:49
JAYAPURA-Tidak memenuhi prosedur seperti yang diamanatkan Undang-Undang No 9 Tahun 1998 tentang tata cara penyampaian pendapat di muka umum, sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat dan Mahasiswa Peduli Tanah Papua (KMMPTP) yang hendak melakukan aksi demo damai ke MRP langsung dibubarkan oleh anggota Polsekta Abepura dipimpin langsung Kapolsekta Abepura AKP Dominggus Rumaropen S.Sos, Senin (28/7).Kapolsekta mengatakan, sesuai peraturan yang berlaku, sebelum melakukan suatu orasi ataupun menyampaikan pendapat di muka umum haruslah melayangkan surat pemberitahuan kepada pihak kepolisian."Setelah kami melakukan negosiasi dengan pihak pendemo akhirnya mereka langsung membubarkan diri karena surat yang disampaikan belum sesuai prosedur di mana surat pemberitahuan harus 3x24 jam sebelum kegiatan tersebut dilakukan sudah diterima pihak kepolisian terdekat,"kata Rumaropen.Koordinator demo, Buktar Tabuni kepada wartawan mengatakan, setelah surat pemberitahuan dibenahi maka demo akan kembali dilakukan yang bertujuan untuk meminta agar diadakan dialog publik terkait Otsus selama 7 tahun ini yang terkesan gagal termasuk mempertanyakan terjadinya pelanggarakan Hak Asasi Manusia (HAM) selama 7 tahun Otsus berjalan. "Kami hanya meminta dilakukan dialog dengan pemerintah pusat melalui MRP dengan melibatkan seluruh komponen masyakat Papua terkait Otsus selama 7 tahun ini tidak mengalami kemajuan dan jika tidak maka kami akan memboikot Pemilu 2009," katanya.(lie)
<<::Kembali
29 Juli 2008 04:13:49
JAYAPURA-Tidak memenuhi prosedur seperti yang diamanatkan Undang-Undang No 9 Tahun 1998 tentang tata cara penyampaian pendapat di muka umum, sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat dan Mahasiswa Peduli Tanah Papua (KMMPTP) yang hendak melakukan aksi demo damai ke MRP langsung dibubarkan oleh anggota Polsekta Abepura dipimpin langsung Kapolsekta Abepura AKP Dominggus Rumaropen S.Sos, Senin (28/7).Kapolsekta mengatakan, sesuai peraturan yang berlaku, sebelum melakukan suatu orasi ataupun menyampaikan pendapat di muka umum haruslah melayangkan surat pemberitahuan kepada pihak kepolisian."Setelah kami melakukan negosiasi dengan pihak pendemo akhirnya mereka langsung membubarkan diri karena surat yang disampaikan belum sesuai prosedur di mana surat pemberitahuan harus 3x24 jam sebelum kegiatan tersebut dilakukan sudah diterima pihak kepolisian terdekat,"kata Rumaropen.Koordinator demo, Buktar Tabuni kepada wartawan mengatakan, setelah surat pemberitahuan dibenahi maka demo akan kembali dilakukan yang bertujuan untuk meminta agar diadakan dialog publik terkait Otsus selama 7 tahun ini yang terkesan gagal termasuk mempertanyakan terjadinya pelanggarakan Hak Asasi Manusia (HAM) selama 7 tahun Otsus berjalan. "Kami hanya meminta dilakukan dialog dengan pemerintah pusat melalui MRP dengan melibatkan seluruh komponen masyakat Papua terkait Otsus selama 7 tahun ini tidak mengalami kemajuan dan jika tidak maka kami akan memboikot Pemilu 2009," katanya.(lie)
<<::Kembali
172 Warga Dogiay Dilaporkan Tewas
CEPOS
29 Juli 2008 04:43:13
Terserang Muntaber dan Kolera, Pihak Gereja PrihatinJAYAPURA-Dunia kesehatan di Papua, kini menjadi sorotan. Ini menyusul adanya sebuah laporan mengejutkan yang datang dari Kabupaten Dogiay, yakni meninggalnya 172 warga akibat terserang muntaber dan kolera. Tewasnya 172 warga Dogiay dalam kejadian luar biasa (KLB) ini sebagaimana data yang dilaporkan Biro Keadilan Perdamaian Keutuhan Ciptaan (KPKC) Sidone KINGMI Papua. Data itu menyebutkan, hingga 21 Juli 2008, jumlah warga tepatnya di wilayah Lembah Kamuu, Kabupaten Dogiay (kabupaten baru yang dimekarkan dari Kabupaten Nabire), Papua yang meninggal akibat wabah kolera dan muntaber mencapai 172 orang. Korban tersebut terdiri dari anak-anak, remaja, pemuda hingga orang dewasa.Hal ini dikatakan Pdt. Benny Giay dari KPKC Sinode Kingmi Papua yang didampingi Br. J. Budi Hernawan,OFM dari Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Jayapura, Fr. Saul Wanimbo,Pr dari SKP Keuskupan Timika dan DR. Neles Tebay dari Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Fajar Timur saat menggelar konferensi pers di Kantor Keuskupan Jayapura, Senin (28/7).Menurut Benny, wabah kolera dan muntaber tersebut telah melanda wilayah Lembah Kamuu, Paniai sejak 6 April 2008 lalu dan masih berlangsung hingga saat ini. "Wabah telah menyebar di 17 kampung dari 2 distrik di Lembah Kamuu dan 2 kampung dari 1 distrik di Paniai. Wilayah sebaran tidak lagi terbatas di Kamuu, melainkan mencapai Paniai. Bila tidak diantisipasi, dapat menyebar ke daerah-daerah lain," katanya.Pihak gereja sangat menyayangkan, sebab meskipun wabah itu sudah menyerang masyarakat selama empat bulan berturut-turut, bahkan sudah tergolong Kejadian Luar Biasa (KLB), namun sampai saat ini tidak ada tindakan nyata dari Pemda Nabire maupun Pemda Provinsi Papua untuk menyelamatkan nyawa warga di sana. "Sungguh ironi mengingat Pemda justru sibuk meresmikan wilayah pemekaran dan melantik penjabat bupati yang baru. Tiadanya upaya penanganan yang bersifat segera, menyeluruh dan berkelanjutan dari pemerintah telah menimbulkan frustrasi dan kecurigaan mendalam di masyarakat bahwa wabah tersebut sengaja disebarkan," paparnya. Karena kelambanan pemerintah dalam menyikapi wabah itu, masyarakat juga menilai ada semacam pembiaran dari pemerintah atas wabah yang menyerang masyarakat itu. "Suasana demikian telah menimbulkan ketegangan antar warga setempat dan mendorong masyarakat melakukan pengrusakan terhadap rumah milik sejumlah warga pendatang yang dicurigai berhubungan dengan menyebarnya wabah tersebut," tandasnya. Dijelaskan, menyikapi wabah itu, gereja-geraja telah melakukan penanganan medis. Misalnya Keuskupan Timika menerjunkan Tim Medis Yayasan Caritas Timika. "Akan tetapi, karena keterbatasan kemampuan personel dan biaya, maka layanan ini tentu tidak mampu menjawab kebutuhan di lapangan," jelas Benny Giay.Berdasarkan fakta-fakta ini, maka pihak gereja yang terdiri dari Biro KPKC Sinode Kingmi Papua, SKP Keuskupan Jayapura, SKP Keuskupan Timika, Biro KPKC Sinode GKI di Tanah Papua menyatakan keprihatinannya dan mendesak Gubernur Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPRP agar segera mengambil langkah dengan mengirimkan tim medis ke lapangan untuk melakukan pengobatan bagi masyarakat yang menderita wabah itu.Pihak gereja juga meminta agar pemerintah segera melakukan pencegahan secepat mungkin agar wabah tidak menyebar ke wilayah lain. "Selanjutnya pemerintah harus menyelidiki secara mendalam tentang penyebab sesungguhnya dari wabah kolera dan muntaber ini dan hasilnya harus diumumkan kepada masyarakat luas agar dapat menghentikan segala praduga dan kecemasan yang sedang berkembang," tegasnya.Selain itu, pemerintah juga harus segera melakukan tindakan pemulihan atas segala dampak buruk baik fisik, mental, dan sosial yang ditimbulkan oleh wabah tersebut. "Pemerintah tidak boleh menyibukkan diri dengan pemekaran dan jabatan politik semata, melainkan harus memberikan pelayanan kesehatan bermutu seperti diperintahkan pasal 59 UU No.21 Tahun 2001 tentang Otsus dan sistem kesehatan pangan yang mendukung terjaminnya gizi yang baik," tandasnya.Kemudian kepada masyarakat di Lembah Kamuu yang sedang menderita dan seluruh masyarakat di Paniai, pihak gereja menyerukan agar melakukan upaya-upaya pencegahan secara mandiri, dengan merebus air sebelum diminum dan menjaga sanitasi lingkungan. Selain itu, masyarakat diminta tidak terpancing dengan informasi atau isue yang tidak benar yang berkembang di masyarakat, dan jangan sampai melakukan tindakan anarkhis. 'Jika ada informasi yang tidak jelas dan berkembang di masyarakat, segera laporkan kepada pemimpin agama setempat, dan aparat pemerintah serta polisi," himbaunya.Br J Budi Hernawan, OFM menyatakan, atas adanya wabah yang mematikan ratusan nyawa ini, pihak Persekutuan Gereja-Gereja di Papua (PGGP) telah menyurat ke Gubernur Papua untuk membahas masalah itu, tetapi gubernur masih sibuk dengan kegiatan Turkam (Turun Kampung) sehingga belum bisa dilayani.DR Neles Tebay menambahkan, pemerintah jangan menyederhanakan masalah yang terjadi di Dogiay itu, pasalnya orang mati secara terus menerus. "Ini harus segera disikapi dan pemerintah harus bisa membuktikan secara ilmiah apa yang terjadi di sana dan melakukan langkah antisipasi, sehingga masyarakat tidak berpraduga bahwa wabah ini disebarkan oleh oknum tertentu yang kemudian membuat masyarakat marah dan menyerang atau melakukan pengrusakan terhadap oknum tertentu yang dinilai oleh masyarakat telah menyebarkan wabah itu. Ini yang harus segera dilakukan pemerintah," tegasnya.Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua, Dr. Bagus Sukaswara saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos mengatakan, bahwa pihaknya enggan jika dikatakan lamban dalam menangani kasus itu, sebab Dinas Kesehatan sudah menangani kasus yang menimpa warga Dogiay itu sejak awal Mei 2008 lalu. "Kita sudah menangani kasus itu sejak awal Mei lalu, namun kemudian kasusnya muncul lagi dan itupun kita tangani lagi," katanya.Mengenai jumlah korban yang begitu banyak, pihaknya merasa kurang yakin dengan angka-angka itu, sebab data yang masuk ke dinas kesehatan tidak demikian. Meski begitu, pihaknya belum bisa menjelaskan lebih lanjut, karena sedang mengikuti kegiatan Turkam Gubernur Papua di Bovendigoel.(fud)Pemerintah dan Mitra Kesehatan Terus Bekerja SEMENTARA ITU, pemerintah Provinsi Papua dalam pernyataan persnya melalui Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua dr Bagus Sukaswara mengatakan, sehubungan dengan pemberitaan di media massa terkait KLB Diare yang disebabkan Kuman Vibrio-Kolera, yang berdasarkan catatan pemerintah telah mengakibatkan meninggalnya 81 (delapan puluh satu) orang warga masyarakat di kampung-kampung di Distrik Kamu dan Ikrar, perlu disampaikan kepada masyarakat luas langkah-langkah yang telah diambil pemerintah dan mitra kesehatannya untuk diketahui.Dikatakan, sesudah menerima laporan dari masyarakat dan petugas lapangan, pada tanggal 4 Mei Tim Kesehatan dari Kabupaten Nabire telah turun ke lapangan dan melakukan tindakan-tindakan pengobatan. Kasus kemudian menurun drastis. Pada saat itu diperkirakan bahwa penularan ini terjadi melalui air yang tercemar.Ternyata kasus ini kemudian meningkat kembali pada awal bulan Juni. Sesudah diselidiki, penyebab peningkatan kasus ini adalah akibat penularan dari orang ke orang. Rata-rata yang sakit dan meninggal adalah mereka yang sebelumnya mengunjungi penderita yang sakit atau yang telah meninggal dunia akibat penyakit ini.Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Papua, Pemerintah Kabupaten Nabire, Medecins Sans Frontieres (MSF) International, Oxfarm, Gereja, LSM, dan mitra kesehatan lainnya telah melakukan penanganan sesuai prosedur tetap (protap) penanganan diare-kolera. Yang dilakukan itu di antaranya adalah mencari penderita dan memberikan pengobatan massal, melakukan investigasi kematian, dan memberikan pengobatan langsung pada orang-orang di sekitar mereka yang meninggal akibat penyakit ini. Di Puskesmas Moanemani telah didirikan Cholera Treatment Center untuk mengisolasi mereka yang terkena penyakit ini sehingga tidak menulari orang-orang lain.Selain itu telah pula dilakukan pengobatan anti-biotik ke semua penduduk di kampung-kampung Dumtek, Ekimani, Ekimanida dan Idakotu untuk memutuskan mata rantai penyebaran penyakit. Pemantauan ketat tetap dilakukan selama dua minggu sesudah penurunan kasus. Pos oralit juga dididirikan di masing-masing kampung, khususnya yang memiliki kematian tinggi.Sekarang ini ada 3 (tiga) orang dokter pemerintah yang ditempatkan di Moanemani. Sebelumnya ada 2 orang dokter MSF dan Oxfarm, 8 orang perawat pemerintah dan MSF, 4 orang ahli kesehatan dari Oxfarm dan sejumlah sarjana kesehatan masyarakat. Mereka terus bekerja bersama-sama dengan para tokoh gereja dan masyarakat untuk menangani penyakit ini.Pemerintah Provinsi Papua benar-benar prihatin dengan Kejadian Luar Biasa ini. Upaya-upaya akan terus ditingkatkan untuk memastikan bahwa penyakit diare-kolera ini bisa ditanggulangi dan tidak menyebar ke daerah-daerah yang lain. Keberhasilannya sangat ditentukan oleh banyak faktor - termasuk diantaranya adalah perilaku hidup sehat pada masyarakat setempat. Untuk itu, selain menyelenggarakan pengobatan, pemerintah memberikan fokus pada penyuluhan hygiene perorangan dan mendekatkan air bersih ke masyarakat.Khusus bagi masyarakat setempat apabila mengalami diare untuk segera mencari pelayanan kesehatan di Puskesmas atau di Pos-pos Oralit yang telah dibentuk di kampung-kampung. Selain itu, perlu membiasakan untuk mencuci tangan dengan sabun, dan minum air yang telah dimasak.Pemerintah Provinsi Papua mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan terlibat secara aktif untuk memberikan penyadaran publik tentang penyakit ini.(fud)
29 Juli 2008 04:43:13
Terserang Muntaber dan Kolera, Pihak Gereja PrihatinJAYAPURA-Dunia kesehatan di Papua, kini menjadi sorotan. Ini menyusul adanya sebuah laporan mengejutkan yang datang dari Kabupaten Dogiay, yakni meninggalnya 172 warga akibat terserang muntaber dan kolera. Tewasnya 172 warga Dogiay dalam kejadian luar biasa (KLB) ini sebagaimana data yang dilaporkan Biro Keadilan Perdamaian Keutuhan Ciptaan (KPKC) Sidone KINGMI Papua. Data itu menyebutkan, hingga 21 Juli 2008, jumlah warga tepatnya di wilayah Lembah Kamuu, Kabupaten Dogiay (kabupaten baru yang dimekarkan dari Kabupaten Nabire), Papua yang meninggal akibat wabah kolera dan muntaber mencapai 172 orang. Korban tersebut terdiri dari anak-anak, remaja, pemuda hingga orang dewasa.Hal ini dikatakan Pdt. Benny Giay dari KPKC Sinode Kingmi Papua yang didampingi Br. J. Budi Hernawan,OFM dari Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Jayapura, Fr. Saul Wanimbo,Pr dari SKP Keuskupan Timika dan DR. Neles Tebay dari Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Fajar Timur saat menggelar konferensi pers di Kantor Keuskupan Jayapura, Senin (28/7).Menurut Benny, wabah kolera dan muntaber tersebut telah melanda wilayah Lembah Kamuu, Paniai sejak 6 April 2008 lalu dan masih berlangsung hingga saat ini. "Wabah telah menyebar di 17 kampung dari 2 distrik di Lembah Kamuu dan 2 kampung dari 1 distrik di Paniai. Wilayah sebaran tidak lagi terbatas di Kamuu, melainkan mencapai Paniai. Bila tidak diantisipasi, dapat menyebar ke daerah-daerah lain," katanya.Pihak gereja sangat menyayangkan, sebab meskipun wabah itu sudah menyerang masyarakat selama empat bulan berturut-turut, bahkan sudah tergolong Kejadian Luar Biasa (KLB), namun sampai saat ini tidak ada tindakan nyata dari Pemda Nabire maupun Pemda Provinsi Papua untuk menyelamatkan nyawa warga di sana. "Sungguh ironi mengingat Pemda justru sibuk meresmikan wilayah pemekaran dan melantik penjabat bupati yang baru. Tiadanya upaya penanganan yang bersifat segera, menyeluruh dan berkelanjutan dari pemerintah telah menimbulkan frustrasi dan kecurigaan mendalam di masyarakat bahwa wabah tersebut sengaja disebarkan," paparnya. Karena kelambanan pemerintah dalam menyikapi wabah itu, masyarakat juga menilai ada semacam pembiaran dari pemerintah atas wabah yang menyerang masyarakat itu. "Suasana demikian telah menimbulkan ketegangan antar warga setempat dan mendorong masyarakat melakukan pengrusakan terhadap rumah milik sejumlah warga pendatang yang dicurigai berhubungan dengan menyebarnya wabah tersebut," tandasnya. Dijelaskan, menyikapi wabah itu, gereja-geraja telah melakukan penanganan medis. Misalnya Keuskupan Timika menerjunkan Tim Medis Yayasan Caritas Timika. "Akan tetapi, karena keterbatasan kemampuan personel dan biaya, maka layanan ini tentu tidak mampu menjawab kebutuhan di lapangan," jelas Benny Giay.Berdasarkan fakta-fakta ini, maka pihak gereja yang terdiri dari Biro KPKC Sinode Kingmi Papua, SKP Keuskupan Jayapura, SKP Keuskupan Timika, Biro KPKC Sinode GKI di Tanah Papua menyatakan keprihatinannya dan mendesak Gubernur Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPRP agar segera mengambil langkah dengan mengirimkan tim medis ke lapangan untuk melakukan pengobatan bagi masyarakat yang menderita wabah itu.Pihak gereja juga meminta agar pemerintah segera melakukan pencegahan secepat mungkin agar wabah tidak menyebar ke wilayah lain. "Selanjutnya pemerintah harus menyelidiki secara mendalam tentang penyebab sesungguhnya dari wabah kolera dan muntaber ini dan hasilnya harus diumumkan kepada masyarakat luas agar dapat menghentikan segala praduga dan kecemasan yang sedang berkembang," tegasnya.Selain itu, pemerintah juga harus segera melakukan tindakan pemulihan atas segala dampak buruk baik fisik, mental, dan sosial yang ditimbulkan oleh wabah tersebut. "Pemerintah tidak boleh menyibukkan diri dengan pemekaran dan jabatan politik semata, melainkan harus memberikan pelayanan kesehatan bermutu seperti diperintahkan pasal 59 UU No.21 Tahun 2001 tentang Otsus dan sistem kesehatan pangan yang mendukung terjaminnya gizi yang baik," tandasnya.Kemudian kepada masyarakat di Lembah Kamuu yang sedang menderita dan seluruh masyarakat di Paniai, pihak gereja menyerukan agar melakukan upaya-upaya pencegahan secara mandiri, dengan merebus air sebelum diminum dan menjaga sanitasi lingkungan. Selain itu, masyarakat diminta tidak terpancing dengan informasi atau isue yang tidak benar yang berkembang di masyarakat, dan jangan sampai melakukan tindakan anarkhis. 'Jika ada informasi yang tidak jelas dan berkembang di masyarakat, segera laporkan kepada pemimpin agama setempat, dan aparat pemerintah serta polisi," himbaunya.Br J Budi Hernawan, OFM menyatakan, atas adanya wabah yang mematikan ratusan nyawa ini, pihak Persekutuan Gereja-Gereja di Papua (PGGP) telah menyurat ke Gubernur Papua untuk membahas masalah itu, tetapi gubernur masih sibuk dengan kegiatan Turkam (Turun Kampung) sehingga belum bisa dilayani.DR Neles Tebay menambahkan, pemerintah jangan menyederhanakan masalah yang terjadi di Dogiay itu, pasalnya orang mati secara terus menerus. "Ini harus segera disikapi dan pemerintah harus bisa membuktikan secara ilmiah apa yang terjadi di sana dan melakukan langkah antisipasi, sehingga masyarakat tidak berpraduga bahwa wabah ini disebarkan oleh oknum tertentu yang kemudian membuat masyarakat marah dan menyerang atau melakukan pengrusakan terhadap oknum tertentu yang dinilai oleh masyarakat telah menyebarkan wabah itu. Ini yang harus segera dilakukan pemerintah," tegasnya.Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua, Dr. Bagus Sukaswara saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos mengatakan, bahwa pihaknya enggan jika dikatakan lamban dalam menangani kasus itu, sebab Dinas Kesehatan sudah menangani kasus yang menimpa warga Dogiay itu sejak awal Mei 2008 lalu. "Kita sudah menangani kasus itu sejak awal Mei lalu, namun kemudian kasusnya muncul lagi dan itupun kita tangani lagi," katanya.Mengenai jumlah korban yang begitu banyak, pihaknya merasa kurang yakin dengan angka-angka itu, sebab data yang masuk ke dinas kesehatan tidak demikian. Meski begitu, pihaknya belum bisa menjelaskan lebih lanjut, karena sedang mengikuti kegiatan Turkam Gubernur Papua di Bovendigoel.(fud)Pemerintah dan Mitra Kesehatan Terus Bekerja SEMENTARA ITU, pemerintah Provinsi Papua dalam pernyataan persnya melalui Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua dr Bagus Sukaswara mengatakan, sehubungan dengan pemberitaan di media massa terkait KLB Diare yang disebabkan Kuman Vibrio-Kolera, yang berdasarkan catatan pemerintah telah mengakibatkan meninggalnya 81 (delapan puluh satu) orang warga masyarakat di kampung-kampung di Distrik Kamu dan Ikrar, perlu disampaikan kepada masyarakat luas langkah-langkah yang telah diambil pemerintah dan mitra kesehatannya untuk diketahui.Dikatakan, sesudah menerima laporan dari masyarakat dan petugas lapangan, pada tanggal 4 Mei Tim Kesehatan dari Kabupaten Nabire telah turun ke lapangan dan melakukan tindakan-tindakan pengobatan. Kasus kemudian menurun drastis. Pada saat itu diperkirakan bahwa penularan ini terjadi melalui air yang tercemar.Ternyata kasus ini kemudian meningkat kembali pada awal bulan Juni. Sesudah diselidiki, penyebab peningkatan kasus ini adalah akibat penularan dari orang ke orang. Rata-rata yang sakit dan meninggal adalah mereka yang sebelumnya mengunjungi penderita yang sakit atau yang telah meninggal dunia akibat penyakit ini.Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Papua, Pemerintah Kabupaten Nabire, Medecins Sans Frontieres (MSF) International, Oxfarm, Gereja, LSM, dan mitra kesehatan lainnya telah melakukan penanganan sesuai prosedur tetap (protap) penanganan diare-kolera. Yang dilakukan itu di antaranya adalah mencari penderita dan memberikan pengobatan massal, melakukan investigasi kematian, dan memberikan pengobatan langsung pada orang-orang di sekitar mereka yang meninggal akibat penyakit ini. Di Puskesmas Moanemani telah didirikan Cholera Treatment Center untuk mengisolasi mereka yang terkena penyakit ini sehingga tidak menulari orang-orang lain.Selain itu telah pula dilakukan pengobatan anti-biotik ke semua penduduk di kampung-kampung Dumtek, Ekimani, Ekimanida dan Idakotu untuk memutuskan mata rantai penyebaran penyakit. Pemantauan ketat tetap dilakukan selama dua minggu sesudah penurunan kasus. Pos oralit juga dididirikan di masing-masing kampung, khususnya yang memiliki kematian tinggi.Sekarang ini ada 3 (tiga) orang dokter pemerintah yang ditempatkan di Moanemani. Sebelumnya ada 2 orang dokter MSF dan Oxfarm, 8 orang perawat pemerintah dan MSF, 4 orang ahli kesehatan dari Oxfarm dan sejumlah sarjana kesehatan masyarakat. Mereka terus bekerja bersama-sama dengan para tokoh gereja dan masyarakat untuk menangani penyakit ini.Pemerintah Provinsi Papua benar-benar prihatin dengan Kejadian Luar Biasa ini. Upaya-upaya akan terus ditingkatkan untuk memastikan bahwa penyakit diare-kolera ini bisa ditanggulangi dan tidak menyebar ke daerah-daerah yang lain. Keberhasilannya sangat ditentukan oleh banyak faktor - termasuk diantaranya adalah perilaku hidup sehat pada masyarakat setempat. Untuk itu, selain menyelenggarakan pengobatan, pemerintah memberikan fokus pada penyuluhan hygiene perorangan dan mendekatkan air bersih ke masyarakat.Khusus bagi masyarakat setempat apabila mengalami diare untuk segera mencari pelayanan kesehatan di Puskesmas atau di Pos-pos Oralit yang telah dibentuk di kampung-kampung. Selain itu, perlu membiasakan untuk mencuci tangan dengan sabun, dan minum air yang telah dimasak.Pemerintah Provinsi Papua mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan terlibat secara aktif untuk memberikan penyadaran publik tentang penyakit ini.(fud)
Forkorus: DAP Tak Bisa Dibatasi Berpolitik
29 Juli 2008 04:41:53
(Politik itu Hak Sejak Dilahirkan)JAYAPURA-Peringatan Pangdam XVII/Cenderawasih Mayjen TNI Haryadi Soetanto kepada lembaga-lembaga adat di Papua, agar tidak memanfaatkan eksistensi kelembagaannya untuk kepentingan politis, mendapat tanggapan serius dari Ketua Umum Dewan Adat Papua (DAP) Forkorus Yaboi Sembut SPd.Pria yang sebelumnya menjabat sebagai ketua Dewan Adat Mamta ini menyampaikan bahwa apa yang disampaikan Pangdam salah besar dan ia menyayangkan komentar tersebut."Dari dahulu adat di Papua sudah berpolitik, baik untuk melindungi rakyat jadi saya pikir komentar Pangdam tidak sepenuhnya bisa dibenarkan,"tutur Forkorus kepada Cenderawasih Pos semalam.Ia menggambarkan seorang pemimpin (ondoafi) memiliki tanggung jawab besar bagi rakyatnya, baik mempertahankan tanah, alam dan semua yang berada di wilayah keondoafiannya dan sedikit banyak tetap berhubungan dengan cara berpolitik begitu juga dengan dewan adat.Pihak adat menurutnya memiliki banyak fungsi dan peran dalam memperjuangkan hak rakyat baik dari sisi ekonomi, kesehatan, pendidikan maupun politik itu sendiri.Dan DAP bergerak di semua bidang demi kepentingan masyarakat baik termasuk politik, pendidikan, ekonomi, pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup maupun otoritas lainnya. "Saya pikir tidak ada yang bisa batasi kami," tegas Forkorus yang meminta adat Papua jangan disamakan dengan adat ditempat lain, karena memiliki perbedaan mendasar.Dari definisi politik menurutnya hanya ada dua pengertian yaitu kepentingan dan kebijakan. Jika ada pihak yang melarang DAP untuk mengambil kebijakan, maka sama artinya memasung hak rakyat dalam berpolitik, termasuk meperjuangkan hak dasarnya.Forkorus juga berdalih bahwa jika DAP tidak membicarakan mengenai politik, maka hak masyarakat adat akan terancam. "Jika kami dilarang berpolitik maka kami tidak bisa memperjuangkan kepentingan rakyat Papua dan itu salah," lanjut Forkorus yang mengaku pernah belajar berbagai macam ilmu politik.Dari komentar yang sama, mantan guru SD ini melihat hal tersebut sebagai kekeliruan yang dilakukan pejabat di Papua kepada DAP dan itu dikatakan bukan eranya lagi untuk melakukan intimidasi ataupun pembodohan."DAP tidak bisa membatasi diri dalam hal-hal diatas. Jika kepentingan rakyat terancam, maka pihaknya akan berbicara mengambil kebijakan untuk jalan keluar," tambah Forkorus menegaskan bahwa DAP tidak menjadikan adat sebagai tameng dalam berpolitik.Forkorus yang kini berkerja sebagai pengawas sekolah juga menambahkan bahwa dari semua yang dilakukan DAP, sama sekali tidak bertujuan maupun memiliki kepentingan untuk merongrong kehidupan negara manapun, melainkan hanya memperjuangkan hak dasar masyarakat adat Papua, termasuk hak berpoilitik.Ia juga menyinggung jika ingin berbicara politik harus paham dulu mengenai apa itu politik juga adat Papua. Jika ini sudah dipahami, maka dengan sendirinya akan diketahui bahwa tidak ada batasan bagi DAP untuk berpolitik.(ade)
(Politik itu Hak Sejak Dilahirkan)JAYAPURA-Peringatan Pangdam XVII/Cenderawasih Mayjen TNI Haryadi Soetanto kepada lembaga-lembaga adat di Papua, agar tidak memanfaatkan eksistensi kelembagaannya untuk kepentingan politis, mendapat tanggapan serius dari Ketua Umum Dewan Adat Papua (DAP) Forkorus Yaboi Sembut SPd.Pria yang sebelumnya menjabat sebagai ketua Dewan Adat Mamta ini menyampaikan bahwa apa yang disampaikan Pangdam salah besar dan ia menyayangkan komentar tersebut."Dari dahulu adat di Papua sudah berpolitik, baik untuk melindungi rakyat jadi saya pikir komentar Pangdam tidak sepenuhnya bisa dibenarkan,"tutur Forkorus kepada Cenderawasih Pos semalam.Ia menggambarkan seorang pemimpin (ondoafi) memiliki tanggung jawab besar bagi rakyatnya, baik mempertahankan tanah, alam dan semua yang berada di wilayah keondoafiannya dan sedikit banyak tetap berhubungan dengan cara berpolitik begitu juga dengan dewan adat.Pihak adat menurutnya memiliki banyak fungsi dan peran dalam memperjuangkan hak rakyat baik dari sisi ekonomi, kesehatan, pendidikan maupun politik itu sendiri.Dan DAP bergerak di semua bidang demi kepentingan masyarakat baik termasuk politik, pendidikan, ekonomi, pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup maupun otoritas lainnya. "Saya pikir tidak ada yang bisa batasi kami," tegas Forkorus yang meminta adat Papua jangan disamakan dengan adat ditempat lain, karena memiliki perbedaan mendasar.Dari definisi politik menurutnya hanya ada dua pengertian yaitu kepentingan dan kebijakan. Jika ada pihak yang melarang DAP untuk mengambil kebijakan, maka sama artinya memasung hak rakyat dalam berpolitik, termasuk meperjuangkan hak dasarnya.Forkorus juga berdalih bahwa jika DAP tidak membicarakan mengenai politik, maka hak masyarakat adat akan terancam. "Jika kami dilarang berpolitik maka kami tidak bisa memperjuangkan kepentingan rakyat Papua dan itu salah," lanjut Forkorus yang mengaku pernah belajar berbagai macam ilmu politik.Dari komentar yang sama, mantan guru SD ini melihat hal tersebut sebagai kekeliruan yang dilakukan pejabat di Papua kepada DAP dan itu dikatakan bukan eranya lagi untuk melakukan intimidasi ataupun pembodohan."DAP tidak bisa membatasi diri dalam hal-hal diatas. Jika kepentingan rakyat terancam, maka pihaknya akan berbicara mengambil kebijakan untuk jalan keluar," tambah Forkorus menegaskan bahwa DAP tidak menjadikan adat sebagai tameng dalam berpolitik.Forkorus yang kini berkerja sebagai pengawas sekolah juga menambahkan bahwa dari semua yang dilakukan DAP, sama sekali tidak bertujuan maupun memiliki kepentingan untuk merongrong kehidupan negara manapun, melainkan hanya memperjuangkan hak dasar masyarakat adat Papua, termasuk hak berpoilitik.Ia juga menyinggung jika ingin berbicara politik harus paham dulu mengenai apa itu politik juga adat Papua. Jika ini sudah dipahami, maka dengan sendirinya akan diketahui bahwa tidak ada batasan bagi DAP untuk berpolitik.(ade)
Tuesday, 15 July 2008
Parlemen Belanda Tidak Dukung Papua Merdeka
Ditulis Oleh: Ant/Papua Pos
Selasa, 15 Juli 2008
Jakarta - Anggota Parlemen Belanda Hans Van Baalen tidak mendukung, tindakan dan juga gerakan serta perjungan Papua Merdeka yang memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidankan ini menurutnya hanya akan berakibat buruk bagi masa depan.
"Kita harus melihat ke depan," kata Baalen pada acara Dialog Pemuda Indonesia dengan Hans Van Baalen, Senin (14/7) kemarin di Jakarta.Baalen dikenal sebagai anggota parlemen Belanda yang menolak adanya gerakan separatis di Indonesia.
Baalen mengatakan, ia sering menerima masyarakat Papua dan juga Maluku. Ia selalu menyarankan kepada mereka agar tidak memisahkan diri dari Indonesia karena justru akan memperburuk kondisi.
Ia memberi contoh Aceh yang saat ini sudah tidak bergejolak dan penuh kedamaian setelah terjadi tsunami 26 Desember 2004, Timtim sampai sekarang tidak menemukan kedamaian setelah merdeka dan lepasa dari Indonesia.
Baalen mengatakan, tidak bijak jika meminta para pemuda melakukan upaya untuk memisahkan diri dari Indonesia. Ia mengharapkan para pemuda melihat masa depan yang lebih cerah dibanding melihat masa lalu atau ribut-ribut untuk memisahkan diri.
Pada kesempatan itu, ia juga setuju dengan usul salah seorang peserta dialog yakni agar dilakukan pertukaran pemuda antara Indonesia dan Belanda untuk membangun saling pengertian antara pemdua kedua negara.
"Pesan ini akan saya bawa ke Belanda," katanya.
Baalen mengatakan, ia akan kembali lagi ke Indonesia pada bulan Oktober 2008 saat kunjungan Parlemen Belanda ke Indonesia.
Sementara itu, Menpora Adhyaksa Dault saat membuka acara tersebut mengatakan, Baalen selalu membuat pernyataan yang keras terhadap pihak yang ingin melakukan separatis.
Adhyaksa mengatakan, Indonesia tidak boleh terpecah belah.
"Ke depan Indonesia tida boleh pecah," katanya.
Oleh sebab itu, katanya, kehadiran Baalen yang merupakan warga negara asing dan acara dialog tersebut sangat penting. Saat ini, kata Adhyaksa, perlu dibangkitkan semangat nasionalisme termsuk terhadap para pemuda.**
Selasa, 15 Juli 2008
Jakarta - Anggota Parlemen Belanda Hans Van Baalen tidak mendukung, tindakan dan juga gerakan serta perjungan Papua Merdeka yang memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidankan ini menurutnya hanya akan berakibat buruk bagi masa depan.
"Kita harus melihat ke depan," kata Baalen pada acara Dialog Pemuda Indonesia dengan Hans Van Baalen, Senin (14/7) kemarin di Jakarta.Baalen dikenal sebagai anggota parlemen Belanda yang menolak adanya gerakan separatis di Indonesia.
Baalen mengatakan, ia sering menerima masyarakat Papua dan juga Maluku. Ia selalu menyarankan kepada mereka agar tidak memisahkan diri dari Indonesia karena justru akan memperburuk kondisi.
Ia memberi contoh Aceh yang saat ini sudah tidak bergejolak dan penuh kedamaian setelah terjadi tsunami 26 Desember 2004, Timtim sampai sekarang tidak menemukan kedamaian setelah merdeka dan lepasa dari Indonesia.
Baalen mengatakan, tidak bijak jika meminta para pemuda melakukan upaya untuk memisahkan diri dari Indonesia. Ia mengharapkan para pemuda melihat masa depan yang lebih cerah dibanding melihat masa lalu atau ribut-ribut untuk memisahkan diri.
Pada kesempatan itu, ia juga setuju dengan usul salah seorang peserta dialog yakni agar dilakukan pertukaran pemuda antara Indonesia dan Belanda untuk membangun saling pengertian antara pemdua kedua negara.
"Pesan ini akan saya bawa ke Belanda," katanya.
Baalen mengatakan, ia akan kembali lagi ke Indonesia pada bulan Oktober 2008 saat kunjungan Parlemen Belanda ke Indonesia.
Sementara itu, Menpora Adhyaksa Dault saat membuka acara tersebut mengatakan, Baalen selalu membuat pernyataan yang keras terhadap pihak yang ingin melakukan separatis.
Adhyaksa mengatakan, Indonesia tidak boleh terpecah belah.
"Ke depan Indonesia tida boleh pecah," katanya.
Oleh sebab itu, katanya, kehadiran Baalen yang merupakan warga negara asing dan acara dialog tersebut sangat penting. Saat ini, kata Adhyaksa, perlu dibangkitkan semangat nasionalisme termsuk terhadap para pemuda.**
Thursday, 10 July 2008
Pemekaran demi Keutuhan NKRI? (Bagian 1) Oleh: Muridan Widjojo*
* Peneliti di P2P dan LIPI, Jakarta--------------Sumber : http://muridan-papua.blogspot.com/
Dipublikasi pada Saturday, 09 February 2008 oleh amanai
Pemekaran provinsi di tanah Papua, pertama, jelas-jelas melanggar Pasal 76 UU 21/2001 tentang Otsus dan menunjukkan bahwa banyak pembesar Republik ini tidak tertib hukum. Kedua, dari pelaku, proses, dan argumentasinya, juga jelas menunjukkan dominasi pembenaran politik ‘oportunis kanan’ yang memanipulasi jargon keutuhan NKRI.
Artikel ini hendak menunjukkan bahwa strategi pemekaran sekarang ini adalah politik defisit, yang tidak hanya merusak agenda Otsus yang menjanjikan perbaikan mendasar dalam paradigma pembangunan di tanah Papua, tetapi juga memperburuk pola hubungan politik Jakarta-Papua serta merusak reputasi Indonesia di mata komunitas internasional. Pemekaran provinsi dan kabupaten di tanah Papua menjadi agenda politik yang signifikan sejak diundangkannya UU 45/1999. Meskipun resistensi begitu kuat dari Papua, Inpres 1/2003 memaksakan pemekaran Irian Jaya Barat (Irjabar, atau sekarang Papua Barat). Keputusan Mahkamah Konstitusi, meskipun membatalkan UU 45/1999, tetap mengakui keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat. Di sini terlihat, dengan dukungan mantan Presiden RI yang juga Ketua Umum PDIP Megawati, koalisi Jakarta – Papua berhasil. Pihak Jakarta dimotori oleh pejabat-pejabat Depdagri dan pimpinan Badan Intelijen Negara Hendropriyono. Elit Papua dimotori oleh perwira tinggi TNI Abraham O. Ataruri dan aktivis PDIP Jimmy Idjie.Keberhasilan pemekaran Irjabar membuat kalangan ‘Oportunis Kanan’ Jakarta dan Papua semakin bersemangat. RUU insiatif Komisi II DPR RI tentang pemekaran pada awal 2008, termasuk Provinsi Papua Tengah, Papua Barat Daya dan Papua Selatan menunjukkan kuatnya koalisi pemekaran ini. Meskipun Presiden RI SBY ‘tidak setuju’, RUU itu secara implisit sejalan dengan strategi pejabat-pejabat Desk Papua Polkam dan utamanya Depdagri dan BIN. Argumentasi NasionalistisKaum ‘Oportunis Kanan’ di Jakarta percaya bahwa keberhasilan pemekaran Irjabar melumpuhkan secara signifikan kalangan separatis Papua Merdeka yang bergerak di perkotaan, terutama pimpinan politik di Jayapura dan jaringannya di antero tanah Papua. Oleh karena itu, RUU inisiatif Komisi II DPR RI yang dipimpin mantan Pangdam Trikora E.E. Mangindaan dapat dipahami sebagai kelanjutan cerita sukses strategi pemekaran tersebut.Kecurigaan utama Jakarta tetap tertuju pada pemimpin Papua yang ada di Provinsi Papua. Mantan Gubernur Jaap Solossa sendiri pernah dituduh oleh pembesar PDIP sebagai separatis terselubung. Gubernur Barnabas Suebu yang menjabat sekarang pun diam-diam juga tidak dipercaya kadar murni ke-NKRI-annya, apalagi Ketua MRP Agus Alua yang juga pimpinan penting di dalam Presidium Dewan Papua (PDP) yang agenda politiknya jelas-jelas kemerdekaan. Reaksi Jakarta terhadap pertemuan dua gubernur di Mansinam yang menghasilkan ide ‘Dua Tapi Satu dan Satu Tapi Dua’ serta isu Gubernur Jendral Papua jelas menunjukkan kecurigaan itu.UU Otsus memang selalu dicurigai sebagai ‘jembatan emas’ menuju kemerdekaan Papua. Oleh karena itu sebisa mungkin pelaksanaan Otsus dihambat atau dimandulkan dengan cara membuat UU baru atau PP baru yang mereduksi UU Otsus. PP No 54/2005 tentang MRP, PP No 77/2007 tentang lambang daerah, dan lain-lain, adalah contoh-contoh konkritnya. UU Otsus hanya disebut dalam pidato-pidato politik pejabat, tetapi hampir tidak pernah diacu dalam pembuatan kebijakan. Strategi politik anggaran juga dibuat untuk melumpuhkan gerakan politik masyarakat sipil di Papua yang sebagian besar sudah diberi stigma separatis. Misalnya, Dewan Adat Papua (DAP) yang sudah dilabel separatis mengalami kelumpuhan kegiatan karena sulitnya bantuan dana kegiatan dari Pemprov maupun Pemkab atau Pemkot. Organisasi-organisasi lain yang kritis terhadap pemerintah juga mengalami hal ini. Keketatan ini berbanding terbalik dengan toleransi yang tinggi terhadap korupsi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat Pemprov dan Pemkab.Politik DefisitMungkin benar bahwa dengan pemekaran, kekuatan separatis di Papua lumpuh. Setidaknya dengan pemekaran Irjabar, kekuatan politik di tanah Papua terpecah. Energi pemimpin Papua di wilayah Irjabar menjadi terpecah dan teralihkan pada pertarungan dan perebutan sumber daya politik di provinsi baru ini. Belum lagi pilkada gubernur, bupati, maupun walikota di wilayah ini.Mungkin benar juga bahwa banyak aktivis Papua pro-kemerdekaan beralih kesibukannya ke dalam dinamika pemekaran provinsi dan kabupaten baru. Dengan demikian, agenda-agenda politik yang dianggap berbau separatis seperti rekonsiliasi, dialog, dan lain-lain tidak lagi menarik karena tidak ada kekuasaan dan uang di sana. Apalagi dengan politik anggaran terselubung yang sudah dirasakan ‘manfaat’nya dalam melemahkan gerakan-gerakan kemasyarakatan tersebut.Tetapi apa manfaatnya strategi pemekaran tersebut bagi penguatan bangunan politik RI dalam hubungannya dengan konflik Papua? Pemekaran tidak hanya melumpuhkan gerakan separatis di Papua, tetapi juga pemerintahan sipil resmi di Papua dan sekaligus melumpuhkan kekuatan masyarakat sipil di Papua.Para elit Jakarta sudah mengorbankan terlalu banyak hal demi pemekaran. Hasilnya, pertama, uang negara dan rakyat akan dihabiskan untuk belanja infrastruktur provinsi dan kabupaten baru. Kedua, medan korupsi pasti akan meluas. Ketiga, kualitas pelayanan publik akan semakin buruk karena pemekaran selalu diidentikkan dengan penguasaan semua jabatan oleh orang asli Papua yang sumber dayanya amat terbatas. Keempat, di luar sektor pemerintahan, terutama ekonomi, dominasi pendatang akan semakin kuat dan meluas, semakin membenamkan orang asli Papua yang memang sudah lama tersingkir. Kelima, korban paling menderita adalah mayoritas rakyat asli Papua yang tidak memiliki akses apa pun pada penjarahan uang Otsus mereka.UU Otsus akan benar-benar kehilangan arti. Sia-sia sudah perjuangan banyak pemimpin politik dan intelektual Papua untuk menghasilkan jalan tengah yang bermartabat bagi Papua dan Indonesia. Janji-janji untuk membangun Papua Baru yang mencakup paradigma baru pembangunan Papua, papuanisasi, rekonsiliasi, dan dialog seperti yang tertera dalam UU Otsus hanya akan menjadi wacana pinggiran yang segera terlupakan.Jaminan politik Papua sebagai bagian dari NKRI sebenarnya terletak pada UU 21/2001 tentang Otsus. Berkali-kali negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Australia, dan negara-negara Uni Eropa mendukung klaim Indonesia atas Papua dengan dasar adanya UU Otsus tersebut. Dengan pelaksanaan pemekaran dan pengabaian UU ini dalam kebijakan pemerintah pusat akan mengakibatkan runtuhnya dasar pengakuan kalangan internasional terhadap status politik Papua
Pada artikel bagian 1 sebelumnya, saya membahas pemekaran dari aspek pelaku, argumentasi dan orientasi politik elit-elit di Jakarta. Pada bagian 2 ini, saya memahami pemekaran dari sudut pandang pelaku, argumentasi lokal dan lingkungan sosial politik tanah Papua.
Menurut Francis Kati yang menulis di website Uncen (6/12/2007) pemekaran kabupaten-kabupaten baru di Tanah Papua adalah merupakan impian para koruptor dan calon koruptor. Menurut saya, kesimpulan ini tidak hanya berlaku bagi pemekaran kabupaten tetapi juga pemekaran provinsi. Perlu ditambahkan pula bahwa para pelopor pemekaran ini adalah elit-elit lokal yang menggunakan koneksinya dengan elit-elit di Jakarta dan memanipulasi massa rakyat setempat untuk memperoleh atau mempertahankan kekuasaannya.Coba simak siapa para pelopor pemekaran-pemekaran ini. Pada kasus Irian Jaya Barat, elit lokal itu adalah Bram Ataruri dan Jimmy Idjie yang memiliki hubungan dekat dengan elit PDIP dan Kepala BIN waktu itu yaitu Hendropriyono. Calon provinsi Papua Tengah dimotori oleh beberapa pejabat pemkab dan Bupati Nabire sendiri Drs. Anselmus Petrus Youw yang masa jabatannya akan berakhir (Cepos, 17/1/2007). Papua Barat Daya dimotori oleh mantan Sekda Papua yang pernah gagal menjadi gubernur pemekaran Irian Jaya Tengah Dortheus Asmuruf, mantan aktivis Presidium Dewan Papua (PDP) Don Flassy, dan David Obaidiri (Cepos, 15/1/2007). Papua Selatan dimotori oleh Bupati Merauke dua periode John G. Gebze yang masa jabatannya juga akan berakhir. Dalam upaya memperoleh dukungan publik, alasan utama para pelopor pemekaran adalah memperpendek rentang kendali pemerintahan dan meningkatkan pelayanan publik. Pada kenyataannya tujuan pelayanan publik itu tidak pernah diperhatikan. Yang terjadi persis seperti kata Francis Kati yakni memperpendek rentang kendali korupsi, atau dengan kata lain meluaskan medan dan mempermudah korupsi. Dengan membuat provinsi dan kabupaten baru, peluang baru jabatan gubernur bagi bupati-bupati yang sudah habis masa jabatannya terbuka. Dengan kabupaten-kabupaten baru para elit lokal Papua memiliki kesempatan untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar. Peluang untuk menjadi anggota DPR provinsi dan kabupaten serta peluang menduduki jabatan-jabatan birokrasi seperti kepala dinas, kepala biro dan kepala bagian juga terbuka. Bagi para pengangguran, pemekaran membuka peluang untuk menjadi pegawai negeri sipil. Bagi aparat keamanan, ada peluang untuk membuat struktur teritorial semacam Kodim baru, Polda baru, atau Polres baru. Pemekaran tentunya menciptakan proyek-proyek infrastruktur: gedung-gedung kantor dan fasilitas pemerintah lainnya. Semua ini adalah proyek yang dinantikan karena peluang untuk korupsinya terbuka lebar. Akibat logisnya, sebagian besar anggaran negara yang seharusnya digunakan untuk pelayanan masyarakat malah untuk pembangunan fasilitas provinsi dan kabupaten yang baru. Dalam jangka pendek, anggaran pelayanan publik pasti akan terserap ke sana.Produk dari pemekaran adalah tumbuhnya rumah-rumah mewah yang tersebar di kota-kota di tanah Papua dan bahkan di luar Papua yang merupakan milik para pejabat Papua dari provinsi dan kabupaten lama maupun yang baru hasil pemekaran. Mobil-mobil mewah edisi terbaru yang memenuhi jalan-jalan di Jayapura adalah juga milik para pejabat-pejabat baru itu. Korupsi di Papua dilakukan dengan sangat kasar dan terlalu mudah untuk membongkarnya bagi KPK. Hanya saja belum ada langkah signifikan ke arah sana.Pemekaran hasilnya sangat merugikan masyarakat. Tetapi para pejabat Papua sangat pandai dalam membagi sebagian hasil korupsinya terutama kepada konstituennya yang biasanya berasal dari suku atau klennya. Orang-orang yang mendapatkan bagian korupsi inilah yang siap untuk berdemo ke Jakarta atau ke Jayapura mengatasnamakan masyarakatnya. Dalam menjalankan kekuasaannya, sebagian besar pejabat di Papua lebih bertindak sebagai big man atau bobot atau kepala suku dalam pengertian tradisional daripada berperilaku sebagai pejabat moderen. Uang negara disalahgunakan untuk memperkaya diri sendiri dan menjaga loyalitas konstituennya (McGibbon, 2004). Pemekaran juga mempertajam segregasi etnis di kalangan orang asli Papua. Banyak proposal kabupaten baru dibuat oleh individu-individu dari kelompok suku atau etnis yang kalah bersaing di provinsi atau kabupaten yang lama. Dengan pemekaran persaingan ketat tidak diperlukan lagi karena biasanya kabupaten baru diisi oleh elit-elit lokalnya sendiri dan tertutup bagi kelompok etnis Papua lainnya. Bahkan di tingkat distrik pun permusuhan tradisional antarklen juga mendorong pemekaran distrik baru. Jika diberi peluang terus, fragmentasi di kalangan orang asli Papua akan semakin menguat seiring dengan berkembangbiaknya pemekaran. Sementara elit Papua disibukkan oleh jabatan baru dan uang korupsi, pelayanan publik terabaikan. Yang tidak banyak disadari adalah bahwa peluang dominasi pendatang juga semakin besar. Sektor produksi, perdagangan dan jasa di daerah pemekaran pasti hanya dapat diisi oleh para pendatang yang lebih siap. Pos-pos pekerjaan yang membutuhkan ketrampilan dan keahlian segera dikuasai oleh pendatang. Banyak orang asli Papua, baik para elitnya maupun masyarakatnya, kecuali menjarah uang negara, pasti tidak akan diuntungkan dalam situasi seperti ini.Di dalam pemekaran tidak ada obsesi pembangunan dalam arti sebenarnya. Para pejabat Papua beranggapan bahwa uang negara yang dijarahnya tidak akan pernah habis, seperti halnya persediaan sagu di hutan atau ikan di laut. Di dalam pemekaran ini tidak ada obsesi perlindungan dan pemberdayaan orang asli Papua. Jika anda membiarkan pemekaran terus berlangsung, lupakan cita-cita untuk menyejahterakan orang asli Papua. Yang terjadi hanyalah elit Papua memanipulasi sesama orang asli Papua. Sementara itu peluang untuk maju dan berkuasa dalam jangka menengah dan panjang tetap di tangan pendatang.
Dipublikasi pada Saturday, 09 February 2008 oleh amanai
Pemekaran provinsi di tanah Papua, pertama, jelas-jelas melanggar Pasal 76 UU 21/2001 tentang Otsus dan menunjukkan bahwa banyak pembesar Republik ini tidak tertib hukum. Kedua, dari pelaku, proses, dan argumentasinya, juga jelas menunjukkan dominasi pembenaran politik ‘oportunis kanan’ yang memanipulasi jargon keutuhan NKRI.
Artikel ini hendak menunjukkan bahwa strategi pemekaran sekarang ini adalah politik defisit, yang tidak hanya merusak agenda Otsus yang menjanjikan perbaikan mendasar dalam paradigma pembangunan di tanah Papua, tetapi juga memperburuk pola hubungan politik Jakarta-Papua serta merusak reputasi Indonesia di mata komunitas internasional. Pemekaran provinsi dan kabupaten di tanah Papua menjadi agenda politik yang signifikan sejak diundangkannya UU 45/1999. Meskipun resistensi begitu kuat dari Papua, Inpres 1/2003 memaksakan pemekaran Irian Jaya Barat (Irjabar, atau sekarang Papua Barat). Keputusan Mahkamah Konstitusi, meskipun membatalkan UU 45/1999, tetap mengakui keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat. Di sini terlihat, dengan dukungan mantan Presiden RI yang juga Ketua Umum PDIP Megawati, koalisi Jakarta – Papua berhasil. Pihak Jakarta dimotori oleh pejabat-pejabat Depdagri dan pimpinan Badan Intelijen Negara Hendropriyono. Elit Papua dimotori oleh perwira tinggi TNI Abraham O. Ataruri dan aktivis PDIP Jimmy Idjie.Keberhasilan pemekaran Irjabar membuat kalangan ‘Oportunis Kanan’ Jakarta dan Papua semakin bersemangat. RUU insiatif Komisi II DPR RI tentang pemekaran pada awal 2008, termasuk Provinsi Papua Tengah, Papua Barat Daya dan Papua Selatan menunjukkan kuatnya koalisi pemekaran ini. Meskipun Presiden RI SBY ‘tidak setuju’, RUU itu secara implisit sejalan dengan strategi pejabat-pejabat Desk Papua Polkam dan utamanya Depdagri dan BIN. Argumentasi NasionalistisKaum ‘Oportunis Kanan’ di Jakarta percaya bahwa keberhasilan pemekaran Irjabar melumpuhkan secara signifikan kalangan separatis Papua Merdeka yang bergerak di perkotaan, terutama pimpinan politik di Jayapura dan jaringannya di antero tanah Papua. Oleh karena itu, RUU inisiatif Komisi II DPR RI yang dipimpin mantan Pangdam Trikora E.E. Mangindaan dapat dipahami sebagai kelanjutan cerita sukses strategi pemekaran tersebut.Kecurigaan utama Jakarta tetap tertuju pada pemimpin Papua yang ada di Provinsi Papua. Mantan Gubernur Jaap Solossa sendiri pernah dituduh oleh pembesar PDIP sebagai separatis terselubung. Gubernur Barnabas Suebu yang menjabat sekarang pun diam-diam juga tidak dipercaya kadar murni ke-NKRI-annya, apalagi Ketua MRP Agus Alua yang juga pimpinan penting di dalam Presidium Dewan Papua (PDP) yang agenda politiknya jelas-jelas kemerdekaan. Reaksi Jakarta terhadap pertemuan dua gubernur di Mansinam yang menghasilkan ide ‘Dua Tapi Satu dan Satu Tapi Dua’ serta isu Gubernur Jendral Papua jelas menunjukkan kecurigaan itu.UU Otsus memang selalu dicurigai sebagai ‘jembatan emas’ menuju kemerdekaan Papua. Oleh karena itu sebisa mungkin pelaksanaan Otsus dihambat atau dimandulkan dengan cara membuat UU baru atau PP baru yang mereduksi UU Otsus. PP No 54/2005 tentang MRP, PP No 77/2007 tentang lambang daerah, dan lain-lain, adalah contoh-contoh konkritnya. UU Otsus hanya disebut dalam pidato-pidato politik pejabat, tetapi hampir tidak pernah diacu dalam pembuatan kebijakan. Strategi politik anggaran juga dibuat untuk melumpuhkan gerakan politik masyarakat sipil di Papua yang sebagian besar sudah diberi stigma separatis. Misalnya, Dewan Adat Papua (DAP) yang sudah dilabel separatis mengalami kelumpuhan kegiatan karena sulitnya bantuan dana kegiatan dari Pemprov maupun Pemkab atau Pemkot. Organisasi-organisasi lain yang kritis terhadap pemerintah juga mengalami hal ini. Keketatan ini berbanding terbalik dengan toleransi yang tinggi terhadap korupsi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat Pemprov dan Pemkab.Politik DefisitMungkin benar bahwa dengan pemekaran, kekuatan separatis di Papua lumpuh. Setidaknya dengan pemekaran Irjabar, kekuatan politik di tanah Papua terpecah. Energi pemimpin Papua di wilayah Irjabar menjadi terpecah dan teralihkan pada pertarungan dan perebutan sumber daya politik di provinsi baru ini. Belum lagi pilkada gubernur, bupati, maupun walikota di wilayah ini.Mungkin benar juga bahwa banyak aktivis Papua pro-kemerdekaan beralih kesibukannya ke dalam dinamika pemekaran provinsi dan kabupaten baru. Dengan demikian, agenda-agenda politik yang dianggap berbau separatis seperti rekonsiliasi, dialog, dan lain-lain tidak lagi menarik karena tidak ada kekuasaan dan uang di sana. Apalagi dengan politik anggaran terselubung yang sudah dirasakan ‘manfaat’nya dalam melemahkan gerakan-gerakan kemasyarakatan tersebut.Tetapi apa manfaatnya strategi pemekaran tersebut bagi penguatan bangunan politik RI dalam hubungannya dengan konflik Papua? Pemekaran tidak hanya melumpuhkan gerakan separatis di Papua, tetapi juga pemerintahan sipil resmi di Papua dan sekaligus melumpuhkan kekuatan masyarakat sipil di Papua.Para elit Jakarta sudah mengorbankan terlalu banyak hal demi pemekaran. Hasilnya, pertama, uang negara dan rakyat akan dihabiskan untuk belanja infrastruktur provinsi dan kabupaten baru. Kedua, medan korupsi pasti akan meluas. Ketiga, kualitas pelayanan publik akan semakin buruk karena pemekaran selalu diidentikkan dengan penguasaan semua jabatan oleh orang asli Papua yang sumber dayanya amat terbatas. Keempat, di luar sektor pemerintahan, terutama ekonomi, dominasi pendatang akan semakin kuat dan meluas, semakin membenamkan orang asli Papua yang memang sudah lama tersingkir. Kelima, korban paling menderita adalah mayoritas rakyat asli Papua yang tidak memiliki akses apa pun pada penjarahan uang Otsus mereka.UU Otsus akan benar-benar kehilangan arti. Sia-sia sudah perjuangan banyak pemimpin politik dan intelektual Papua untuk menghasilkan jalan tengah yang bermartabat bagi Papua dan Indonesia. Janji-janji untuk membangun Papua Baru yang mencakup paradigma baru pembangunan Papua, papuanisasi, rekonsiliasi, dan dialog seperti yang tertera dalam UU Otsus hanya akan menjadi wacana pinggiran yang segera terlupakan.Jaminan politik Papua sebagai bagian dari NKRI sebenarnya terletak pada UU 21/2001 tentang Otsus. Berkali-kali negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Australia, dan negara-negara Uni Eropa mendukung klaim Indonesia atas Papua dengan dasar adanya UU Otsus tersebut. Dengan pelaksanaan pemekaran dan pengabaian UU ini dalam kebijakan pemerintah pusat akan mengakibatkan runtuhnya dasar pengakuan kalangan internasional terhadap status politik Papua
Pada artikel bagian 1 sebelumnya, saya membahas pemekaran dari aspek pelaku, argumentasi dan orientasi politik elit-elit di Jakarta. Pada bagian 2 ini, saya memahami pemekaran dari sudut pandang pelaku, argumentasi lokal dan lingkungan sosial politik tanah Papua.
Menurut Francis Kati yang menulis di website Uncen (6/12/2007) pemekaran kabupaten-kabupaten baru di Tanah Papua adalah merupakan impian para koruptor dan calon koruptor. Menurut saya, kesimpulan ini tidak hanya berlaku bagi pemekaran kabupaten tetapi juga pemekaran provinsi. Perlu ditambahkan pula bahwa para pelopor pemekaran ini adalah elit-elit lokal yang menggunakan koneksinya dengan elit-elit di Jakarta dan memanipulasi massa rakyat setempat untuk memperoleh atau mempertahankan kekuasaannya.Coba simak siapa para pelopor pemekaran-pemekaran ini. Pada kasus Irian Jaya Barat, elit lokal itu adalah Bram Ataruri dan Jimmy Idjie yang memiliki hubungan dekat dengan elit PDIP dan Kepala BIN waktu itu yaitu Hendropriyono. Calon provinsi Papua Tengah dimotori oleh beberapa pejabat pemkab dan Bupati Nabire sendiri Drs. Anselmus Petrus Youw yang masa jabatannya akan berakhir (Cepos, 17/1/2007). Papua Barat Daya dimotori oleh mantan Sekda Papua yang pernah gagal menjadi gubernur pemekaran Irian Jaya Tengah Dortheus Asmuruf, mantan aktivis Presidium Dewan Papua (PDP) Don Flassy, dan David Obaidiri (Cepos, 15/1/2007). Papua Selatan dimotori oleh Bupati Merauke dua periode John G. Gebze yang masa jabatannya juga akan berakhir. Dalam upaya memperoleh dukungan publik, alasan utama para pelopor pemekaran adalah memperpendek rentang kendali pemerintahan dan meningkatkan pelayanan publik. Pada kenyataannya tujuan pelayanan publik itu tidak pernah diperhatikan. Yang terjadi persis seperti kata Francis Kati yakni memperpendek rentang kendali korupsi, atau dengan kata lain meluaskan medan dan mempermudah korupsi. Dengan membuat provinsi dan kabupaten baru, peluang baru jabatan gubernur bagi bupati-bupati yang sudah habis masa jabatannya terbuka. Dengan kabupaten-kabupaten baru para elit lokal Papua memiliki kesempatan untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar. Peluang untuk menjadi anggota DPR provinsi dan kabupaten serta peluang menduduki jabatan-jabatan birokrasi seperti kepala dinas, kepala biro dan kepala bagian juga terbuka. Bagi para pengangguran, pemekaran membuka peluang untuk menjadi pegawai negeri sipil. Bagi aparat keamanan, ada peluang untuk membuat struktur teritorial semacam Kodim baru, Polda baru, atau Polres baru. Pemekaran tentunya menciptakan proyek-proyek infrastruktur: gedung-gedung kantor dan fasilitas pemerintah lainnya. Semua ini adalah proyek yang dinantikan karena peluang untuk korupsinya terbuka lebar. Akibat logisnya, sebagian besar anggaran negara yang seharusnya digunakan untuk pelayanan masyarakat malah untuk pembangunan fasilitas provinsi dan kabupaten yang baru. Dalam jangka pendek, anggaran pelayanan publik pasti akan terserap ke sana.Produk dari pemekaran adalah tumbuhnya rumah-rumah mewah yang tersebar di kota-kota di tanah Papua dan bahkan di luar Papua yang merupakan milik para pejabat Papua dari provinsi dan kabupaten lama maupun yang baru hasil pemekaran. Mobil-mobil mewah edisi terbaru yang memenuhi jalan-jalan di Jayapura adalah juga milik para pejabat-pejabat baru itu. Korupsi di Papua dilakukan dengan sangat kasar dan terlalu mudah untuk membongkarnya bagi KPK. Hanya saja belum ada langkah signifikan ke arah sana.Pemekaran hasilnya sangat merugikan masyarakat. Tetapi para pejabat Papua sangat pandai dalam membagi sebagian hasil korupsinya terutama kepada konstituennya yang biasanya berasal dari suku atau klennya. Orang-orang yang mendapatkan bagian korupsi inilah yang siap untuk berdemo ke Jakarta atau ke Jayapura mengatasnamakan masyarakatnya. Dalam menjalankan kekuasaannya, sebagian besar pejabat di Papua lebih bertindak sebagai big man atau bobot atau kepala suku dalam pengertian tradisional daripada berperilaku sebagai pejabat moderen. Uang negara disalahgunakan untuk memperkaya diri sendiri dan menjaga loyalitas konstituennya (McGibbon, 2004). Pemekaran juga mempertajam segregasi etnis di kalangan orang asli Papua. Banyak proposal kabupaten baru dibuat oleh individu-individu dari kelompok suku atau etnis yang kalah bersaing di provinsi atau kabupaten yang lama. Dengan pemekaran persaingan ketat tidak diperlukan lagi karena biasanya kabupaten baru diisi oleh elit-elit lokalnya sendiri dan tertutup bagi kelompok etnis Papua lainnya. Bahkan di tingkat distrik pun permusuhan tradisional antarklen juga mendorong pemekaran distrik baru. Jika diberi peluang terus, fragmentasi di kalangan orang asli Papua akan semakin menguat seiring dengan berkembangbiaknya pemekaran. Sementara elit Papua disibukkan oleh jabatan baru dan uang korupsi, pelayanan publik terabaikan. Yang tidak banyak disadari adalah bahwa peluang dominasi pendatang juga semakin besar. Sektor produksi, perdagangan dan jasa di daerah pemekaran pasti hanya dapat diisi oleh para pendatang yang lebih siap. Pos-pos pekerjaan yang membutuhkan ketrampilan dan keahlian segera dikuasai oleh pendatang. Banyak orang asli Papua, baik para elitnya maupun masyarakatnya, kecuali menjarah uang negara, pasti tidak akan diuntungkan dalam situasi seperti ini.Di dalam pemekaran tidak ada obsesi pembangunan dalam arti sebenarnya. Para pejabat Papua beranggapan bahwa uang negara yang dijarahnya tidak akan pernah habis, seperti halnya persediaan sagu di hutan atau ikan di laut. Di dalam pemekaran ini tidak ada obsesi perlindungan dan pemberdayaan orang asli Papua. Jika anda membiarkan pemekaran terus berlangsung, lupakan cita-cita untuk menyejahterakan orang asli Papua. Yang terjadi hanyalah elit Papua memanipulasi sesama orang asli Papua. Sementara itu peluang untuk maju dan berkuasa dalam jangka menengah dan panjang tetap di tangan pendatang.
Batik Semakin Dilirik Instansi Pemerintah
Ditulis Oleh: Dhany/Papua Pos
Kamis, 10 Juli 2008
Jayapura – Upaya mengikuti anjuran Pemerintah Provinsi Papua yang mewajibkan setiap hari Jumat pegawai mengenakan Batik Papua sebagai seragam Nasional Papua, membuat toko batik yang ada di Jayapura hingga Kabupaten Jayapura semakin dilirik kalangan instansi pemerintah. Manager Toko Smile Papua, Arzat menjelaskan, tokonya yang sudah memiliki cabang di Sentani dan Jayapura saat mengalami peningkatan pembeli dimana setiap harinya bisa mencapai kurang lebih 30 potong baju. Sesuai dengan pesanan dan juga motif yang di inginkan oleh pihak konsumen, pesanan mendominasi pada blus serta kemeja.
“Untuk saat ini cukup banyak pihak PNS mulai memesan dan ukuran baju yang pihak kami sediakan dengan model dan motif menarik,”jelasnya kepada Papua Pos, Rabu (9/7) kemarin. Begitu juga di toko Aneka Batik, yag ditemui Papua Pos, Rani salah satu karyawan menjelaskan, saat ini pihaknya juga sudah mulai dapat pesanan berkisar 50 potong jenis blus serta kemeja.
Anjuran pemerintah menurutnya ada bagusnya agar semua masyarakat yang ada di Papua bisa mencintai budaya Papua, bukan saja orang asli Papua tapi semua masyarakat yang ada di Papua ini. “Agar kelihatan persatuan dan kesatuan di Papua bisa terjalin,” katanya. Saat ini harga batik katanya masih stabil, dimana sesuai pesanan untuk blus berkisar Rp.55.000 hingga Rp.85.000, kemeja berkisar Rp.90.000 hingga Rp.150.000.
Lanjutnya, kebaya Papua dengan bergaya modern juga mengalami peningkatan penjualan serta peminat busana batik Papua bergaya busana blus khusus anak muda yang sudah dimodifikasi modern. “Bukan saja busana tapi juga sudah sandal, tas dan juga perhisan serta pernak-pernik lainya sudah mulai diminati konsumen,” tandas Rani. **
Kamis, 10 Juli 2008
Jayapura – Upaya mengikuti anjuran Pemerintah Provinsi Papua yang mewajibkan setiap hari Jumat pegawai mengenakan Batik Papua sebagai seragam Nasional Papua, membuat toko batik yang ada di Jayapura hingga Kabupaten Jayapura semakin dilirik kalangan instansi pemerintah. Manager Toko Smile Papua, Arzat menjelaskan, tokonya yang sudah memiliki cabang di Sentani dan Jayapura saat mengalami peningkatan pembeli dimana setiap harinya bisa mencapai kurang lebih 30 potong baju. Sesuai dengan pesanan dan juga motif yang di inginkan oleh pihak konsumen, pesanan mendominasi pada blus serta kemeja.
“Untuk saat ini cukup banyak pihak PNS mulai memesan dan ukuran baju yang pihak kami sediakan dengan model dan motif menarik,”jelasnya kepada Papua Pos, Rabu (9/7) kemarin. Begitu juga di toko Aneka Batik, yag ditemui Papua Pos, Rani salah satu karyawan menjelaskan, saat ini pihaknya juga sudah mulai dapat pesanan berkisar 50 potong jenis blus serta kemeja.
Anjuran pemerintah menurutnya ada bagusnya agar semua masyarakat yang ada di Papua bisa mencintai budaya Papua, bukan saja orang asli Papua tapi semua masyarakat yang ada di Papua ini. “Agar kelihatan persatuan dan kesatuan di Papua bisa terjalin,” katanya. Saat ini harga batik katanya masih stabil, dimana sesuai pesanan untuk blus berkisar Rp.55.000 hingga Rp.85.000, kemeja berkisar Rp.90.000 hingga Rp.150.000.
Lanjutnya, kebaya Papua dengan bergaya modern juga mengalami peningkatan penjualan serta peminat busana batik Papua bergaya busana blus khusus anak muda yang sudah dimodifikasi modern. “Bukan saja busana tapi juga sudah sandal, tas dan juga perhisan serta pernak-pernik lainya sudah mulai diminati konsumen,” tandas Rani. **
Penjualan Batik Papua Meningkat
Ditulis Oleh: Lina/Papua Pos
Kamis, 10 Juli 2008
Jayapura – Penjualan batik khas Papua mengalami peningkatan sebesar 30 persen pada awal bulan Juli ini. Peningkatan minat pembeli ini disebabkan hargag yang belum berubah dan ditambah tawaran diskon yang menarik. Peningkatan penjualan ini terjadi pada toko batik Ilham yang ada di jalan Argapura-Hamadi, yang naik 30 persen dari biasanya. “Peningkatan untuk saat ini naik 30 persen, karena sekarang musim liburan sekolah jadi permintaan meningkat,” kata Nasrun Ilham Choliq, Desainer sekaligus pemilik toko batik Ilham kepada Papua Pos, Rabu (9/7) kemarin.Dikatakan, batik khas Papua yang dirancang langsung olehnya ini, selalu mendapat pesanan secara partai dari pihak sekolah dan juga beberapa instasi yang ada di Papua khususnya Jayapura. Mengenai kenaikan harga terkait kenaikkan harga BBM beberapa bulan yang lalu, Ilham mengatakan bahwa tidak ada kenaikan harga atas batik-batik khas Papua yang dijualnya.“Tidak ada kenaikkan harga meski harga BBM tengah naik, saya malah memberikan diskon untuk setiap pembelian batik 100 sampai 200 meter,” tambah dia. Saat ini batik yang dijualnya terdiri dari beberapa jenis batik yaitu batik berkolin, premisina, berkoprada, premisprada, dolbi dsn juga sutra dimana harga-harga dari batik-batik ini bervariasi mulai dari Rp.20 ribu sampai Rp.600 tibu per meternya.Ia menambahkan, pihaknya selalu mengutamakan harga yang termurah tapi kualitas terbaik. Meski harga murah ia mengaku tidak takut karena kualitas bahan di tokonya tetap yang terbaik.**
Kamis, 10 Juli 2008
Jayapura – Penjualan batik khas Papua mengalami peningkatan sebesar 30 persen pada awal bulan Juli ini. Peningkatan minat pembeli ini disebabkan hargag yang belum berubah dan ditambah tawaran diskon yang menarik. Peningkatan penjualan ini terjadi pada toko batik Ilham yang ada di jalan Argapura-Hamadi, yang naik 30 persen dari biasanya. “Peningkatan untuk saat ini naik 30 persen, karena sekarang musim liburan sekolah jadi permintaan meningkat,” kata Nasrun Ilham Choliq, Desainer sekaligus pemilik toko batik Ilham kepada Papua Pos, Rabu (9/7) kemarin.Dikatakan, batik khas Papua yang dirancang langsung olehnya ini, selalu mendapat pesanan secara partai dari pihak sekolah dan juga beberapa instasi yang ada di Papua khususnya Jayapura. Mengenai kenaikan harga terkait kenaikkan harga BBM beberapa bulan yang lalu, Ilham mengatakan bahwa tidak ada kenaikan harga atas batik-batik khas Papua yang dijualnya.“Tidak ada kenaikkan harga meski harga BBM tengah naik, saya malah memberikan diskon untuk setiap pembelian batik 100 sampai 200 meter,” tambah dia. Saat ini batik yang dijualnya terdiri dari beberapa jenis batik yaitu batik berkolin, premisina, berkoprada, premisprada, dolbi dsn juga sutra dimana harga-harga dari batik-batik ini bervariasi mulai dari Rp.20 ribu sampai Rp.600 tibu per meternya.Ia menambahkan, pihaknya selalu mengutamakan harga yang termurah tapi kualitas terbaik. Meski harga murah ia mengaku tidak takut karena kualitas bahan di tokonya tetap yang terbaik.**
Di Mamberamo Raya, 12 Suku Terasing Masih Mengembara
Ditulis Oleh: Papua Pos/Ant
Kamis, 10 Juli 2008
Jayapura- Sebanyak 12 suku terasing orang asli Papua masih mengembara di kawasan Mamberamo, Kabupaten Mamberamo Raya hingga kawasan Waropen, Kabupaten Waropen dengan kondisi kehidupan yang memprihatinkan. Pegawai Kantor Pos Jayapura, Mikael Boneftar dalam keterangannya kepada wartawan di Jayapura, Rabu menuturkan, ke-12 suku terasing itu terdiri dari delapan suku di kawasan Mamberamo dan empat suku di kawasan Waropen.
Mikael bertemu dengan suku-suku terasing itu ketika dirinya mengantarkan surat-surat menggunakan perahu tradisional menelusuri sungai Mamberamo ke pos-pos pemerintahan maupun pos misionaris karena daerah itu hanya dapat dijangkau dengan perahu tradisional.
Jumlah suku terasing cukup banyak, namun pemerintah belum melakukan identifikasi jumlah dan berbagai latar kehidupan lainnya. Para suku terasing itu hidup secara nomaden dari satu lokasi ke lokasi lain dalam hutan belantera Papua.
Mereka mendirikan pondok-pondok sembari menebang sagu. Setelah menokok habis sagu untuk dimakan, mereka juga membawa sagu itu sebagai bekal dalam perjalanan untuk mencari pohon sagu yang lain serta berburu bintang hutan seperti kasuari, babi, kuskus pohon dan berbagai jenis reptilia.
Seluruh warga terasing itu tinggal di pohon-pohon dan dusun sagu yang tidak bisa dijangkau orang luar seperti misionaris, para peneliti maupun aparat pemerintah. Mereka dililit buta huruf, baik , menulis, membaca maupun berhitung) dan mereka hanya berbicara dalam bahasa ibunya.
Oleh karena itu, Boneftar berharap dengan dimekarkannya Kabupaten Mamberamo Raya dari Kabupaten Sarmi dan Kabupaten Waropen dari Kabupaten Yapen Waropen, aparat pemerintah harus lebih serius menangani warga masyarakat yang hidup terisolasi di kawasan Mamberamo hingga kawasan Waropen itu.
Sementara itu data pada Kantor Badan Pemberdayaan Masyarakat Kampung (BPMK) Provinsi Papua menyebutkan masih terdapat 14 titik di Provinsi Papua dan Papua Barat yang dihuni warga suku terasing, namun jumlah sukunya pun belum dipastikan, sebab pada umumnya mereka tinggal di daerah pegunungan, lembah dan rawa-rawa, sehingga sulit untuk diidentifikasi penanganannya.**
Kamis, 10 Juli 2008
Jayapura- Sebanyak 12 suku terasing orang asli Papua masih mengembara di kawasan Mamberamo, Kabupaten Mamberamo Raya hingga kawasan Waropen, Kabupaten Waropen dengan kondisi kehidupan yang memprihatinkan. Pegawai Kantor Pos Jayapura, Mikael Boneftar dalam keterangannya kepada wartawan di Jayapura, Rabu menuturkan, ke-12 suku terasing itu terdiri dari delapan suku di kawasan Mamberamo dan empat suku di kawasan Waropen.
Mikael bertemu dengan suku-suku terasing itu ketika dirinya mengantarkan surat-surat menggunakan perahu tradisional menelusuri sungai Mamberamo ke pos-pos pemerintahan maupun pos misionaris karena daerah itu hanya dapat dijangkau dengan perahu tradisional.
Jumlah suku terasing cukup banyak, namun pemerintah belum melakukan identifikasi jumlah dan berbagai latar kehidupan lainnya. Para suku terasing itu hidup secara nomaden dari satu lokasi ke lokasi lain dalam hutan belantera Papua.
Mereka mendirikan pondok-pondok sembari menebang sagu. Setelah menokok habis sagu untuk dimakan, mereka juga membawa sagu itu sebagai bekal dalam perjalanan untuk mencari pohon sagu yang lain serta berburu bintang hutan seperti kasuari, babi, kuskus pohon dan berbagai jenis reptilia.
Seluruh warga terasing itu tinggal di pohon-pohon dan dusun sagu yang tidak bisa dijangkau orang luar seperti misionaris, para peneliti maupun aparat pemerintah. Mereka dililit buta huruf, baik , menulis, membaca maupun berhitung) dan mereka hanya berbicara dalam bahasa ibunya.
Oleh karena itu, Boneftar berharap dengan dimekarkannya Kabupaten Mamberamo Raya dari Kabupaten Sarmi dan Kabupaten Waropen dari Kabupaten Yapen Waropen, aparat pemerintah harus lebih serius menangani warga masyarakat yang hidup terisolasi di kawasan Mamberamo hingga kawasan Waropen itu.
Sementara itu data pada Kantor Badan Pemberdayaan Masyarakat Kampung (BPMK) Provinsi Papua menyebutkan masih terdapat 14 titik di Provinsi Papua dan Papua Barat yang dihuni warga suku terasing, namun jumlah sukunya pun belum dipastikan, sebab pada umumnya mereka tinggal di daerah pegunungan, lembah dan rawa-rawa, sehingga sulit untuk diidentifikasi penanganannya.**
Pemerintah Dituntut Serius Berantas KKN di Papua
Ditulis Oleh: Papua Pos/Ant
Kamis, 10 Juli 2008
Jakarta- Tokoh pemuda dan Dewan Adat Papua menggugat komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk segera menuntaskan dugaan sejumlah kasus korupsi di Papua yang diperkirakan merugikan negara sedikitnya Rp 33 miliar.
Tokoh pemuda Papua yang kini menjabat sebagai Sekretaris DPD KNPI, Martinus Werimon, dalam siaran persnya di Jakarta, Rabu, mengungkapkan proses penyidikan sejumlah kasus dugaan korupsi yang terjadi sejak 1999-2004 di Papua saat ini terhenti. Terhentinya kasus korupsi yang melibatkan beberapa pejabat pemerintah setempat itu, ujarnya, disebabkan tidak adanya keseriusan pemerintah pusat.Menurut dia, kasus-kasus korupsi itu sudah masuk ke proses penyidikan pihak Kepolisian Daerah Papua. "Tetapi itu tidak dapat ditindaklanjuti sampai sekarang karena izin dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak segera turun sehingga proses penyidikannya tidak dapat dilanjutkan," katanya.
Martinus mencontohkan kasus dugaan korupsi yang dilakukan Bupati Tolikara Papua, John Tabo, yang diduga pernah melakukan korupsi anggaran pemerintah lebih dari Rp 5 miliar ketika menjabat sebagai Ketua DPRD Wamena periode 1999-2004 dari Partai Golkar.
Pemeriksaan kasus John Tabo saat itu telah dilakukan oleh pihak Polda Papua dan akan ditindaklanjuti dengan izin Presiden. Sayangnya, hingga saat ini permohonan izin melakukan tindakan kepada John Tabo yang diajukan Kapolda Papua saat itu, Irjenpol Tommy Jacobus, tidak mendapat balasan dari pemerintah pusat. "Karena tidak ada balasan itu, sampai sekarang tidak ada tindakan lanjutan sehingga John Tabo masih bisa menjabat sebagai Bupati Tolikara. Tidak ada tindak lanjut itu juga menyebabkan dia bisa melakukan korupsi lebih besar lagi," katanya.
Martinus juga menambahkan bahwa John Tabo kini telah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga melakukan tindak pelanggaran terkait sehingga merugikan negara hingga Rp28 miliar.
Namun, dia mengaku tidak mengetahui lebih lanjut perkembangan penyidikan kasus itu yang dilakukan oleh pihak KPK. "Korupsinya pada saat dia menjadi anggota DPRD yang tidak segera diselesaikan itu yang membuat dia bisa merugikan negara lebih besar," katanya.
Selain John Tabo, Martinus menegaskan, sejumlah pejabat pemerintah daerah setempat juga diduga melakukan tindakan serupa dan berbagai kasus dugaan korupsi itu," menguap "begitu saja karena tidak ada tindakan tegas dari pihak berwajib. "Kami meminta keseriusan pemerintah pusat untuk menangani kasus korupsi di Papua karena dengan adanya penegakan hukum, khususnya penyelesaian korupsi itu, dana-dana bisa digunakan untuk membangun Papua," katanya.
Selama ini, kata dia, rakyat Papua menyangsikan perhatian pemerintah pusat terhadap pembangunan kawasan tertimur Indonesia itu. Pemerintah pusat dinilai tidak memberikan perhatian yang cukup untuk kesejahteraan rakyat Papua. "Rakyat Papua tidak bisa menikmati pembangunan tetapi justru anggaran yang disediakan dikorupsi. Pilihan rakyat Papua sudah jelas. Penegakan hukum yang tegas atau memerdekakan diri karena tidak ada perhatian dari pemerintah pusat" katanya.**
Kamis, 10 Juli 2008
Jakarta- Tokoh pemuda dan Dewan Adat Papua menggugat komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk segera menuntaskan dugaan sejumlah kasus korupsi di Papua yang diperkirakan merugikan negara sedikitnya Rp 33 miliar.
Tokoh pemuda Papua yang kini menjabat sebagai Sekretaris DPD KNPI, Martinus Werimon, dalam siaran persnya di Jakarta, Rabu, mengungkapkan proses penyidikan sejumlah kasus dugaan korupsi yang terjadi sejak 1999-2004 di Papua saat ini terhenti. Terhentinya kasus korupsi yang melibatkan beberapa pejabat pemerintah setempat itu, ujarnya, disebabkan tidak adanya keseriusan pemerintah pusat.Menurut dia, kasus-kasus korupsi itu sudah masuk ke proses penyidikan pihak Kepolisian Daerah Papua. "Tetapi itu tidak dapat ditindaklanjuti sampai sekarang karena izin dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak segera turun sehingga proses penyidikannya tidak dapat dilanjutkan," katanya.
Martinus mencontohkan kasus dugaan korupsi yang dilakukan Bupati Tolikara Papua, John Tabo, yang diduga pernah melakukan korupsi anggaran pemerintah lebih dari Rp 5 miliar ketika menjabat sebagai Ketua DPRD Wamena periode 1999-2004 dari Partai Golkar.
Pemeriksaan kasus John Tabo saat itu telah dilakukan oleh pihak Polda Papua dan akan ditindaklanjuti dengan izin Presiden. Sayangnya, hingga saat ini permohonan izin melakukan tindakan kepada John Tabo yang diajukan Kapolda Papua saat itu, Irjenpol Tommy Jacobus, tidak mendapat balasan dari pemerintah pusat. "Karena tidak ada balasan itu, sampai sekarang tidak ada tindakan lanjutan sehingga John Tabo masih bisa menjabat sebagai Bupati Tolikara. Tidak ada tindak lanjut itu juga menyebabkan dia bisa melakukan korupsi lebih besar lagi," katanya.
Martinus juga menambahkan bahwa John Tabo kini telah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga melakukan tindak pelanggaran terkait sehingga merugikan negara hingga Rp28 miliar.
Namun, dia mengaku tidak mengetahui lebih lanjut perkembangan penyidikan kasus itu yang dilakukan oleh pihak KPK. "Korupsinya pada saat dia menjadi anggota DPRD yang tidak segera diselesaikan itu yang membuat dia bisa merugikan negara lebih besar," katanya.
Selain John Tabo, Martinus menegaskan, sejumlah pejabat pemerintah daerah setempat juga diduga melakukan tindakan serupa dan berbagai kasus dugaan korupsi itu," menguap "begitu saja karena tidak ada tindakan tegas dari pihak berwajib. "Kami meminta keseriusan pemerintah pusat untuk menangani kasus korupsi di Papua karena dengan adanya penegakan hukum, khususnya penyelesaian korupsi itu, dana-dana bisa digunakan untuk membangun Papua," katanya.
Selama ini, kata dia, rakyat Papua menyangsikan perhatian pemerintah pusat terhadap pembangunan kawasan tertimur Indonesia itu. Pemerintah pusat dinilai tidak memberikan perhatian yang cukup untuk kesejahteraan rakyat Papua. "Rakyat Papua tidak bisa menikmati pembangunan tetapi justru anggaran yang disediakan dikorupsi. Pilihan rakyat Papua sudah jelas. Penegakan hukum yang tegas atau memerdekakan diri karena tidak ada perhatian dari pemerintah pusat" katanya.**
Bupati Yapen Waropen Dicekal Ke LN
Ditulis Oleh: Papua Pos/Ant
Kamis, 10 Juli 2008
Jakarta- Bupati Yapen Waropen, Papua, Daut Solleman Betawi, dicegah bepergian ke luar negeri oleh Direktorat Jenderal Imigrasi, Departemen Hukum dan Ham (Depkumham). Direktur Penyidikan dan Penindakan Keimigrasian, Direktorat Jenderal Imigrasi, Syaiful Rachman di Jakarta, Rabu (9/7) menyatakan, Daut dicegah atas permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Daut diduga menyalahgunakan wewenang dalam bentuk tindak pidana korupsi sejak 2005 sampai 2006.
Syaiful mengatakan, pencegahan terhadap Daut terhitung sejak 7 Juli 2008 sampai 7 Juli 2009."Namanya sudah 'diblack list' di lima bandara," katanya seraya menambahkan Daut dicegah bersamaan dengan dikeluarkannya surat pencegahan nomor IMI.5.GR.02.06-03.20330.**
Kamis, 10 Juli 2008
Jakarta- Bupati Yapen Waropen, Papua, Daut Solleman Betawi, dicegah bepergian ke luar negeri oleh Direktorat Jenderal Imigrasi, Departemen Hukum dan Ham (Depkumham). Direktur Penyidikan dan Penindakan Keimigrasian, Direktorat Jenderal Imigrasi, Syaiful Rachman di Jakarta, Rabu (9/7) menyatakan, Daut dicegah atas permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Daut diduga menyalahgunakan wewenang dalam bentuk tindak pidana korupsi sejak 2005 sampai 2006.
Syaiful mengatakan, pencegahan terhadap Daut terhitung sejak 7 Juli 2008 sampai 7 Juli 2009."Namanya sudah 'diblack list' di lima bandara," katanya seraya menambahkan Daut dicegah bersamaan dengan dikeluarkannya surat pencegahan nomor IMI.5.GR.02.06-03.20330.**
Wednesday, 9 July 2008
PNS Sarmi Dikeroyok Oknum TNI AD
Kemarin Jalani Operasi di RSUD Dok IIJAYAPURA [Cepos] - Christian Aipassa (39) Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pemkab Sarmi yang bertugas di Bagian Pemerintahan dikeroyok beberapa oknum anggota TNI Angkatan Darat (AD) di Kompleks Pasar Lama Sarmi, Minggu (29/6). Akibat pengeroyokan yang terjadi sekitar pukul 20.30 WIT, korban yang tinggal di Jalan Diponegoro Kelurahan Sarmi Kota, Kabupaten Sarmi ini, mengalami sakit di kepala, telinga dan hidung.
Disamping itu, bagian hidung korban juga mengeluarkan darah. Karena luka yang dialami cukup seriusi, korban yang sempat dirawat di Puskesmas Sarmi, Senin (7/7) dievakuasi ke RSUD Dok II Jayapura dan menjalani operasi di bagian hidung selama 1,5 jam.Kepala Ruang Bedah Pria RSUD Dok II Jayapura, Susilo,S.Kep,Ners saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos mengatakan, korban harus dioperasi karena mengalami patah tulang hidung. Sementara itu, istri korban Ningsih (37) saat ditanya awal mula pengeroyokan yang menimpa suaminya menjelaskan, pada malam itu, suaminya berada di salah satu kios di Kompleks Pasar Lama, Sarmi untuk membeli rokok.Saat berada di kios korban mendengar bunyi tembakan, sehingga ia keluar dari kios dan melihat ke arah munculnya bunyi tembakan. Korban kemudian melihat ada oknum TNI berinisial RL yang sedang memukul mertuanya (mama mantu).Melihat kejadian itu, korban berusaha mencegah agar mama mantunya itu tidak dipukul. Namun RL bersama teman-temannya justru mengeroyok korban, bahkan muka dihantam dengan popor senjatan.”Setelah kejadian itu, dia (korban) masih bisa naik ojek dan kemudian melapor ke pihak kepolisian di Sarmi dan selanjutnya oleh polisi dilarikan ke Puskesmas Sarmi untuk mendapatkan parawatan,”ungkapnya.Keluarga korban lainnya menambahkan bahwa awal mula kasus ini terjadi saat Bendahara Sekwan DPRD Sarmi, Hengki T sedang membeli pinang bersama istrinya di kompleks pasar lama Sarmi. Setelah itu, Hengki menawari pinang ke oknum anggota TNI dari Kostrad 413 yang lewat di tempat itu. Entah karena faktor apa, oknum TNI itu kemudian memukul Hengki. Hengki mencoba membalas dan karena masyarakat juga banyak, sehingga oknum TNI itu lari ke posnya yang jaraknya sekitar 3 km dari tempat kejadian.Tidak lama kemudian oknum TNI tersebut memanggil teman-temannya dan bersama teman-temannya itu, oknum TNI itu mencari Hengki. Karena Hengki sudah pergi, para oknum tentara itu berusaha mencari hingga mengejar mama mantu korban. Saat itulah, korban yang berada di kios kemudian mencoba melerai agar mama mantunya tidak dipukul. Namun justru kemudian dihajar beberapa oknum TNI yang membawa senjata lengkap itu.Atas kejadian ini, pihak keluarga korban meminta agar para pelakunya diproses setegas-tegasnya, karena telah berbuat kekerasan terhadap masyarakat.Sementara itu, Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih, Letkol Inf. Imam Santoso saat dikonfirmasi membenarkan adanya kejadian tersebut dan atas kasus ini, enam orang sudah ditahan dan diperiksa untuk diproses sesuai aturan yang ada. (fud)_______________________________________Sumber: SKH Cenderawasih PosEdisi: 08 Juli 2008 05:21:25
TNI-Sipil Kembali Bentrok di Papua
KOMPAS
JAYAPURA [kompas.com] – Dalam sepekan ini terjadi tiga kali perkelahian antara oknum TNI dengan warga sipil Jayapura dan sekitarnya di Papua. Akibat kejadian empat anggota TNI dan seorang warga menderita luka parah dan harus dirawat di rumah sakit. Peristiwa tersebut terjadi di Kota Jayapura dan dua kabupaten pemekaran Jayapura, Sarmi dan Keerom.
Terakhir, Sabtu (5/7) malam, terjadi pengeroyokan terhadap dua anggota marinir Eri Enggar dan Abdul Kholik dengan beberapa warga di Kelurahan Hamadi Kota Jayapura. Pengeroyokan disebabkan salah paham antara kedua anggota Lantamal TNI AL dengan pelaku utama berinisial MY yang kini telah mendekam di sel Polresta Jayapura.
Pengeroyokan sebelumnya terjadi di Sarmi, Kabupaten Sarmi Papua pada 29 Juni 2008. Saat itu, pengeroyokan dilakukan 5 oknum TNI anggota Satgas TNI asal Sragen Jawa Tengah yang diperbantukan di Sarmi. Oknum pelaku itu masing-masing Kopral Bahri, Kopral Rico Laupesy, Prajurit Dua Mustaqim, Prajurit Satu Supriyono, dan Prajurit Dua Sugeng.Kasus pengeroyokan oleh oknum TNI ini baru terekspos ke media dan publik, Senin (7/7) kemarin, setelah korban Christian Aipasa yang semula dirawat di Puskesmas Sarmi dilarikan ke RSUD Jayapura. Ayah dua anak itu menjalani operasi tulang hidung yang remuk akibat hantaman popor laras panjang. Di bagian muka, kepala, dan leher terlihat luka memar dan bengkak-bengkak.Peristiwa bermula saat Christian hendak membebaskan tantenya Rita Nubiaf Imbiri yang dipukuli tanpa alasan oleh 5 oknum TNI itu. Tapi Christian malah menjadi sasaran pengeroyokan berikutnya. ”Mereka (oknum) tiba-tiba mencari orang Biak. Setelah melihat saya, mereka mengejar saya dan memukuli,” ujar Rita.Ihwal keterlambatan membawa korban ke RSUD Jayapura, menurut istri korban Ningsih, semula keluarga menunggu Kodim Sarmi yang berjanji akan mengantar korban ke Jayapura untuk mendapatkan perawatan lebih baik. Tapi sampai lima hari ditunggu, tak kunjung ada kejelasan dari pihak Kodim.Oleh karena itu, kakak korban David Werinussa yang juga anggota provos Polres Jayapura langsung membawa Christian Aipasa ke RSUD Jayapura. ”Christian harus segera dibawa ke Jayapura agar luka-lukanya tidak semakin parah. Apalagi ternyata harus menjalani operasi di tulang hidungnya yang remuk karena popor senapan,” tutur David.”Tidak ada larangan untuk menyelamatkan (evakuasi) korban. Yang saya tegaskan, tindakan mereka (oknum TNI) termasuk pidana, harus diusut tuntas, dan diberi sanksi tegas,” ujar Kepala Penerangan Kodam Cenderawasih Papua, Letnan Kolonel (Inf) Imam Santosa. Kapendam mengatakan, Satgas seharusnya bertanggungjawab dalam perawatan korban. Tapi menurut penuturan isteri korban, hingga kemarin sore, belum ada seorang pejabat atau utusan Satgas, Kodim, Korem, maupun Kodam yang menjenguk korban.Peristiwa ketiga berlangsung juga terjadi tanggal 29 Juni pagi di Kampung Skamto Keerom. Dua anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Achmad Sofyanto dan Hendro menjadi korban penganiayaan oleh tiga warga setempat: John Isomo, Yakob Numbun, dan Hilarius Nofok. Kedua anggota Kopassus menderita luka-luka di sekujur tubuhnya dan dirawat di Puskesmas Arso, ibukota Keerom. (ich)
JAYAPURA [kompas.com] – Dalam sepekan ini terjadi tiga kali perkelahian antara oknum TNI dengan warga sipil Jayapura dan sekitarnya di Papua. Akibat kejadian empat anggota TNI dan seorang warga menderita luka parah dan harus dirawat di rumah sakit. Peristiwa tersebut terjadi di Kota Jayapura dan dua kabupaten pemekaran Jayapura, Sarmi dan Keerom.
Terakhir, Sabtu (5/7) malam, terjadi pengeroyokan terhadap dua anggota marinir Eri Enggar dan Abdul Kholik dengan beberapa warga di Kelurahan Hamadi Kota Jayapura. Pengeroyokan disebabkan salah paham antara kedua anggota Lantamal TNI AL dengan pelaku utama berinisial MY yang kini telah mendekam di sel Polresta Jayapura.
Pengeroyokan sebelumnya terjadi di Sarmi, Kabupaten Sarmi Papua pada 29 Juni 2008. Saat itu, pengeroyokan dilakukan 5 oknum TNI anggota Satgas TNI asal Sragen Jawa Tengah yang diperbantukan di Sarmi. Oknum pelaku itu masing-masing Kopral Bahri, Kopral Rico Laupesy, Prajurit Dua Mustaqim, Prajurit Satu Supriyono, dan Prajurit Dua Sugeng.Kasus pengeroyokan oleh oknum TNI ini baru terekspos ke media dan publik, Senin (7/7) kemarin, setelah korban Christian Aipasa yang semula dirawat di Puskesmas Sarmi dilarikan ke RSUD Jayapura. Ayah dua anak itu menjalani operasi tulang hidung yang remuk akibat hantaman popor laras panjang. Di bagian muka, kepala, dan leher terlihat luka memar dan bengkak-bengkak.Peristiwa bermula saat Christian hendak membebaskan tantenya Rita Nubiaf Imbiri yang dipukuli tanpa alasan oleh 5 oknum TNI itu. Tapi Christian malah menjadi sasaran pengeroyokan berikutnya. ”Mereka (oknum) tiba-tiba mencari orang Biak. Setelah melihat saya, mereka mengejar saya dan memukuli,” ujar Rita.Ihwal keterlambatan membawa korban ke RSUD Jayapura, menurut istri korban Ningsih, semula keluarga menunggu Kodim Sarmi yang berjanji akan mengantar korban ke Jayapura untuk mendapatkan perawatan lebih baik. Tapi sampai lima hari ditunggu, tak kunjung ada kejelasan dari pihak Kodim.Oleh karena itu, kakak korban David Werinussa yang juga anggota provos Polres Jayapura langsung membawa Christian Aipasa ke RSUD Jayapura. ”Christian harus segera dibawa ke Jayapura agar luka-lukanya tidak semakin parah. Apalagi ternyata harus menjalani operasi di tulang hidungnya yang remuk karena popor senapan,” tutur David.”Tidak ada larangan untuk menyelamatkan (evakuasi) korban. Yang saya tegaskan, tindakan mereka (oknum TNI) termasuk pidana, harus diusut tuntas, dan diberi sanksi tegas,” ujar Kepala Penerangan Kodam Cenderawasih Papua, Letnan Kolonel (Inf) Imam Santosa. Kapendam mengatakan, Satgas seharusnya bertanggungjawab dalam perawatan korban. Tapi menurut penuturan isteri korban, hingga kemarin sore, belum ada seorang pejabat atau utusan Satgas, Kodim, Korem, maupun Kodam yang menjenguk korban.Peristiwa ketiga berlangsung juga terjadi tanggal 29 Juni pagi di Kampung Skamto Keerom. Dua anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Achmad Sofyanto dan Hendro menjadi korban penganiayaan oleh tiga warga setempat: John Isomo, Yakob Numbun, dan Hilarius Nofok. Kedua anggota Kopassus menderita luka-luka di sekujur tubuhnya dan dirawat di Puskesmas Arso, ibukota Keerom. (ich)
Inflasi Moralisme dan Rasionalitas Kekuasaan
Thomas Koten
anggung-panggung elite negeri mutakhir tidak henti-hentinya mempertontonkan paradigma kekuasaan yang tidak pernah bebas dari kritik masyarakat yang penuh sinisme. Masalahnya, kekuasaan yang semestinya menjadi "panggung" untuk mengelola negara semakin dijadikan sebagai ajang untuk menguras harta.
Gelagat suap dan korupsi di Mahkamah Agung, DPR, politik uang, dan berbagai kebobrokan di tingkat elite, memperlihatkan betapa kaum elite atau penguasa negeri ini selalu melakukan berbagai akrobat yang tidak terpuji tanpa malu-malu. Yang menarik, pada saat yang bersamaan diskursus mengenai moralitas pun begitu menyengat, memenuhi akustik ruang publik.
Seruan mengenai pentingnya nilai-nilai moral dan etika tidak henti-hentinya digelontorkan untuk diperbincangkan dengan harapan ia menjadi bahasa profetik yang dapat mencerahkan kehidupan keberbangsaan. Dengan pengandaian bahwa moralitas dan nilai-nilai etik yang disuarakan dapat menjadi obor penerang bagi penyelesaian berbagai persoalan bangsa, karena ia dapat mendorong perbaikan perilaku elite negara.
Ironisnya, kata-kata agung yang disuarakan itu tetap menjadi bahasa sunyi yang hilang ditiup angin. Keadaan ini tidak ubahnya di era Soeharto, di mana Orde Baru sendiri merupakan wujud nyata dari sebuah tatanan politik yang mencoba menempatkan moralitas dan nilai-nilai etik lainnya dalam persoalan-persoalan publik. Setiap penyelewengan di birokrasi tidak diakui sebagai sebuah pelanggaran hukum, tetapi hanya dikatakan sebagai kesalahan prosedur. Maka, birokrasi pun selamat dari "cacat moral" dan karenanya tidak harus bertanggung jawab secara hukum.
Tetapi, lebih ironis lagi paradigma moralitas yang benar-benar gagal dalam eksperimentasi Orde Baru itu terus direproduksi melalui cara-cara yang hampir sama. Berbagai "cacat moral" yang menyergap dalam diri kaum elite, misalnya, bukan saja dilindungi oleh institusinya, justru institusi dikonsolidasi untuk melindungi "cacat moral" yang menyergap oknum.
Inflasi Moralisme
Kekuasaan sesungguhnya adalah "panggung" dalam mengelola negara. Tetapi, tatkala kekuasaan diartikan sebagai dunia perebutan takhta dan harta negara maka yang terjadi di arena kekuasaan adalah aksi korupsi, "saling memeras", dan setiap lawan politik yang dianggap mengancam dibabat sampai habis. Demi memuluskan jalan menuju kekuasaan atau demi mempertahankan kekuasaan, teman yang baik pun boleh dikhianati. Karena dalam arena kekuasaan dan politik khususnya selalu berlaku adagium, "tidak ada teman abadi, yang ada adalah kepentingan". Atau dalam politik, kepentingan adalah panglima.
Demokrasi yang semestinya menjadi ruang agung bagi terciptanya kemaslahatan bersama pun dapat berubah menjadi ruang pertikaian yang tanpa ujung. Ruang demokrasi yang lazim dijalankan dengan mekanisme suara terbanyak dapat berubah menjadi ruang rembuk untuk menghasilkan permufakatan jahat. Demokrasi yang mewajibkan praktik deliberasi, yaitu keterlibatan aktif rakyat dalam mengawasi dan mengontrol roda penyelenggaraan negara, dapat dibelokkan untuk mendukung kepentingan politik pihak yang kuat atau yang berkuasa. Suara rakyat dieksploitasi demi memenangkan kepentingan politik kekuasaan.
Maka bermuaralah kita pada persoalan moralitas. Moralitas hakikat dasarnya menawarkan suatu sistem prinsip-prinsip dan nilai-nilai agung yang terkait dengan perilaku manusia, yang umumnya diterima oleh suatu masyarakat tertentu. Bagi Immanuel Kant, hukum moral merupakan suatu kewajiban dan hukum batas moral. Duty and obligation are the only names 'for' our relation to the moral law.
Tetapi, apakah nilai-nilai moral yang digemakan dan menjadi tema sentral dalam diskursus publik dapat memperbaiki karakter para penguasa? Pertanyaan ini menjadi penting tatkala kekuasaan itu senantiasa digunakan sebagai kesempatan dan areal untuk menguras uang negara, sehingga kekuasaan cenderung merusak moralitas dan mencederai karakter para pemilik kekuasaan. Segala "cacat moral" atau "penyelewengan moral" di antara para penguasa malah ditutup-tutupi oleh rekan-rekannya. Pembohongan masyarakat umum dianggap prestasi.
Dalam dunia politik, misalnya, masyarakat bahkan sering menyebut politisi yang licik mengatasi segala permainan kotor di dalam arena politik dianggap sebagai politisi tulen. Maka dalam hal ini, terhadap para penguasa yang doyan menyelewengkan moral, seruan, dan imbauan moral ibarat menepuk air di dulang, tidak ada manfaatnya. Atau, mengharapkan perbaikan karakter para penguasa hanya dengan imbauan moral, ibarat membuang kapas di hulu sungai atau sama artinya menggarami lautan. Sehingga, tidak heran pula jika tema moralitas kerap ditertawakan para ahli dan dikorupsikan oleh penguasa dan politisi sendiri. Moral yang merupakan pusat orientasi sikap dan perilaku elite menjadi sia-sia.
Ditandingi
Sejak Karl Marx menempatkan moralitas manusia ke dalam bangunan atas ideologis yang hanya berfungsi melegitimasikan struktur-struktur kekuasaan yang mapan, harapan bahwa perbaikan moralitas para penguasa akan menunjang perbaikan dalam kehidupan masyarakat, dianggap naif, kolot, tidak realistis, bahkan dicurigai sebagai ideologis sendiri. Sejak itu pula segala inflasi moralisme dari atas ditandingi dari arah yang sama oleh inflasi penyelewengan, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh para penguasa dan pengabaian terhadap nasib rakyat yang kurang beruntung.
Oleh karena itu, benar kata Perdana Menteri Inggris William Gladstone, sejarah pemerintahan merupakan salah satu wajah paling bejat dari umat manusia. Sebagaimana juga kata Herbert Hooner, presiden ke-31 AS, yang dikutip oleh harian The New York Times edisi 9 Agustus 1961, When there is a lack of honor in government, the morals of the whole people are piosened (moralitas seluruh bangsa akan teracuni jika tidak ada martabat dalam pemerintahan.
Bagaimanapun, moralitas tetap menjadi sosok yang abstrak, entah betapapun kerasnya ia disuarakan dan sangat gencar dalam wacana dan diskursus publik. Sebab, moralitas dalam konteks apa pun, terutama dalam konteks kekuasaan, bukan menyentuh unsur privat, melainkan justru bersentuhan dengan moralitas publik, seperti kejujuran, keterbukaan, keadilan, kesejahteraan dan kebaikan. Moralitas itu menjadi bermanfaat sejauh diakomodasikan dalam bentuk kontrol dan kritik publik dengan aturan main lain yang sifatnya "mengikat" diikuti segala sanksi hukumnya.
Maka dalam mengkritisi penguasa dengan segala sepak terjangnya bukan hanya sesuatu yang bersentuhan dengan moralitas, tetapi hendaknya pula ditekankan pada rasionalitas, yaitu rasionalitas kekuasaan. Proses-proses kekuasaan hendaknya diarahkan bukan hanya pada paradigma moralitas, tetapi juga pada paradigma rasionalitas sebagai penjelasan. Karena dunia kekuasaan dan politik adalah dunia yang begitu riil, rasional, dan obyektif. Juga karena jika peralihan dari paradigma moralitas ke paradigma rasionalitas saja pun tidak akan langsung memperbaiki keadaan, terutama di tengah realitas masyarakat kita yang oleh Alasdair MacIntyre dalam Whose Justice? Which Rationality (1988), dikatakan, kurang memiliki rational consensus terhadap rentetan masalah moral yang sedang terjadi.
Padahal, sama sekali tidak dapat dimungkiri bahwa peran rasionalitas sangat menentukan apa yang akan dilakukan oleh masyarakat atau seseorang, dan bagaimanakah seharusnya bertindak. Karena memang kasus-kasus sosial, politik-kekuasaan dan ekonomi dalam negara bermula dari perilaku penguasa-elite negara dan warga negara yang melupakan pentingnya rasionalitas dan nilai-nilai moral dasar dalam hidup, seperti keadilan, kejujuran, dan kebenaran.
Penulis adalah Direktur Social Development Center
Last modified: 8/7/08
anggung-panggung elite negeri mutakhir tidak henti-hentinya mempertontonkan paradigma kekuasaan yang tidak pernah bebas dari kritik masyarakat yang penuh sinisme. Masalahnya, kekuasaan yang semestinya menjadi "panggung" untuk mengelola negara semakin dijadikan sebagai ajang untuk menguras harta.
Gelagat suap dan korupsi di Mahkamah Agung, DPR, politik uang, dan berbagai kebobrokan di tingkat elite, memperlihatkan betapa kaum elite atau penguasa negeri ini selalu melakukan berbagai akrobat yang tidak terpuji tanpa malu-malu. Yang menarik, pada saat yang bersamaan diskursus mengenai moralitas pun begitu menyengat, memenuhi akustik ruang publik.
Seruan mengenai pentingnya nilai-nilai moral dan etika tidak henti-hentinya digelontorkan untuk diperbincangkan dengan harapan ia menjadi bahasa profetik yang dapat mencerahkan kehidupan keberbangsaan. Dengan pengandaian bahwa moralitas dan nilai-nilai etik yang disuarakan dapat menjadi obor penerang bagi penyelesaian berbagai persoalan bangsa, karena ia dapat mendorong perbaikan perilaku elite negara.
Ironisnya, kata-kata agung yang disuarakan itu tetap menjadi bahasa sunyi yang hilang ditiup angin. Keadaan ini tidak ubahnya di era Soeharto, di mana Orde Baru sendiri merupakan wujud nyata dari sebuah tatanan politik yang mencoba menempatkan moralitas dan nilai-nilai etik lainnya dalam persoalan-persoalan publik. Setiap penyelewengan di birokrasi tidak diakui sebagai sebuah pelanggaran hukum, tetapi hanya dikatakan sebagai kesalahan prosedur. Maka, birokrasi pun selamat dari "cacat moral" dan karenanya tidak harus bertanggung jawab secara hukum.
Tetapi, lebih ironis lagi paradigma moralitas yang benar-benar gagal dalam eksperimentasi Orde Baru itu terus direproduksi melalui cara-cara yang hampir sama. Berbagai "cacat moral" yang menyergap dalam diri kaum elite, misalnya, bukan saja dilindungi oleh institusinya, justru institusi dikonsolidasi untuk melindungi "cacat moral" yang menyergap oknum.
Inflasi Moralisme
Kekuasaan sesungguhnya adalah "panggung" dalam mengelola negara. Tetapi, tatkala kekuasaan diartikan sebagai dunia perebutan takhta dan harta negara maka yang terjadi di arena kekuasaan adalah aksi korupsi, "saling memeras", dan setiap lawan politik yang dianggap mengancam dibabat sampai habis. Demi memuluskan jalan menuju kekuasaan atau demi mempertahankan kekuasaan, teman yang baik pun boleh dikhianati. Karena dalam arena kekuasaan dan politik khususnya selalu berlaku adagium, "tidak ada teman abadi, yang ada adalah kepentingan". Atau dalam politik, kepentingan adalah panglima.
Demokrasi yang semestinya menjadi ruang agung bagi terciptanya kemaslahatan bersama pun dapat berubah menjadi ruang pertikaian yang tanpa ujung. Ruang demokrasi yang lazim dijalankan dengan mekanisme suara terbanyak dapat berubah menjadi ruang rembuk untuk menghasilkan permufakatan jahat. Demokrasi yang mewajibkan praktik deliberasi, yaitu keterlibatan aktif rakyat dalam mengawasi dan mengontrol roda penyelenggaraan negara, dapat dibelokkan untuk mendukung kepentingan politik pihak yang kuat atau yang berkuasa. Suara rakyat dieksploitasi demi memenangkan kepentingan politik kekuasaan.
Maka bermuaralah kita pada persoalan moralitas. Moralitas hakikat dasarnya menawarkan suatu sistem prinsip-prinsip dan nilai-nilai agung yang terkait dengan perilaku manusia, yang umumnya diterima oleh suatu masyarakat tertentu. Bagi Immanuel Kant, hukum moral merupakan suatu kewajiban dan hukum batas moral. Duty and obligation are the only names 'for' our relation to the moral law.
Tetapi, apakah nilai-nilai moral yang digemakan dan menjadi tema sentral dalam diskursus publik dapat memperbaiki karakter para penguasa? Pertanyaan ini menjadi penting tatkala kekuasaan itu senantiasa digunakan sebagai kesempatan dan areal untuk menguras uang negara, sehingga kekuasaan cenderung merusak moralitas dan mencederai karakter para pemilik kekuasaan. Segala "cacat moral" atau "penyelewengan moral" di antara para penguasa malah ditutup-tutupi oleh rekan-rekannya. Pembohongan masyarakat umum dianggap prestasi.
Dalam dunia politik, misalnya, masyarakat bahkan sering menyebut politisi yang licik mengatasi segala permainan kotor di dalam arena politik dianggap sebagai politisi tulen. Maka dalam hal ini, terhadap para penguasa yang doyan menyelewengkan moral, seruan, dan imbauan moral ibarat menepuk air di dulang, tidak ada manfaatnya. Atau, mengharapkan perbaikan karakter para penguasa hanya dengan imbauan moral, ibarat membuang kapas di hulu sungai atau sama artinya menggarami lautan. Sehingga, tidak heran pula jika tema moralitas kerap ditertawakan para ahli dan dikorupsikan oleh penguasa dan politisi sendiri. Moral yang merupakan pusat orientasi sikap dan perilaku elite menjadi sia-sia.
Ditandingi
Sejak Karl Marx menempatkan moralitas manusia ke dalam bangunan atas ideologis yang hanya berfungsi melegitimasikan struktur-struktur kekuasaan yang mapan, harapan bahwa perbaikan moralitas para penguasa akan menunjang perbaikan dalam kehidupan masyarakat, dianggap naif, kolot, tidak realistis, bahkan dicurigai sebagai ideologis sendiri. Sejak itu pula segala inflasi moralisme dari atas ditandingi dari arah yang sama oleh inflasi penyelewengan, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh para penguasa dan pengabaian terhadap nasib rakyat yang kurang beruntung.
Oleh karena itu, benar kata Perdana Menteri Inggris William Gladstone, sejarah pemerintahan merupakan salah satu wajah paling bejat dari umat manusia. Sebagaimana juga kata Herbert Hooner, presiden ke-31 AS, yang dikutip oleh harian The New York Times edisi 9 Agustus 1961, When there is a lack of honor in government, the morals of the whole people are piosened (moralitas seluruh bangsa akan teracuni jika tidak ada martabat dalam pemerintahan.
Bagaimanapun, moralitas tetap menjadi sosok yang abstrak, entah betapapun kerasnya ia disuarakan dan sangat gencar dalam wacana dan diskursus publik. Sebab, moralitas dalam konteks apa pun, terutama dalam konteks kekuasaan, bukan menyentuh unsur privat, melainkan justru bersentuhan dengan moralitas publik, seperti kejujuran, keterbukaan, keadilan, kesejahteraan dan kebaikan. Moralitas itu menjadi bermanfaat sejauh diakomodasikan dalam bentuk kontrol dan kritik publik dengan aturan main lain yang sifatnya "mengikat" diikuti segala sanksi hukumnya.
Maka dalam mengkritisi penguasa dengan segala sepak terjangnya bukan hanya sesuatu yang bersentuhan dengan moralitas, tetapi hendaknya pula ditekankan pada rasionalitas, yaitu rasionalitas kekuasaan. Proses-proses kekuasaan hendaknya diarahkan bukan hanya pada paradigma moralitas, tetapi juga pada paradigma rasionalitas sebagai penjelasan. Karena dunia kekuasaan dan politik adalah dunia yang begitu riil, rasional, dan obyektif. Juga karena jika peralihan dari paradigma moralitas ke paradigma rasionalitas saja pun tidak akan langsung memperbaiki keadaan, terutama di tengah realitas masyarakat kita yang oleh Alasdair MacIntyre dalam Whose Justice? Which Rationality (1988), dikatakan, kurang memiliki rational consensus terhadap rentetan masalah moral yang sedang terjadi.
Padahal, sama sekali tidak dapat dimungkiri bahwa peran rasionalitas sangat menentukan apa yang akan dilakukan oleh masyarakat atau seseorang, dan bagaimanakah seharusnya bertindak. Karena memang kasus-kasus sosial, politik-kekuasaan dan ekonomi dalam negara bermula dari perilaku penguasa-elite negara dan warga negara yang melupakan pentingnya rasionalitas dan nilai-nilai moral dasar dalam hidup, seperti keadilan, kejujuran, dan kebenaran.
Penulis adalah Direktur Social Development Center
Last modified: 8/7/08
Demokrasi Khas Indonesia?
Jeffrie Geovanie
engapa kita harus berlindung dibalik adagium yang segalanya khas Indonesia, sampai dalam berdemokrasi pun, kita lebih suka atas nama khas Indonesia?
Saya kira, sumbernya berakar dari kerapuhan karakter, mentalitas inferior, yang kemudian menemukan justifikasi dalam pemaknaan nasionalisme yang sempit. Dengan begitu, reformasi boleh saja digagas dan digerakkan, demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) boleh saja digagas dan ditegakkan, tapi jangan coba-coba dilepaskan dari apa yang disebut dengan kearifan lokal. Maka tak perlu heran, atas nama kearifan lokal, demokrasi dan HAM terdistorsi sehingga kehilangan substansi.
Contoh kecil, secara kelembagaan, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) enggan kita sebut senator karena dianggap khas Barat. Sistem dua kamar dalam lembaga legislatif, kita merasa lebih nyaman menyebutnya sebagai bikameral ala Indonesia. Akibatnya, secara kelembagaan DPD tidak berkutik di hadapan DPR. DPD tidak bisa berperan maksimal karena posisinya sangat lemah. Ibaratnya, keberadaan DPD hanya menjadi bunga-bunga demokrasi yang dibutuhkan, tapi bukan untuk peran-peran yang signifikan.
Umumnya, kita malu atau tabu meniru sesuatu yang datang dari Barat meskipun jauh lebih baik, lebih efisien. Hanya karena -lagi-lagi- dianggap tidak khas Indonesia, kita lebih suka meniru budaya Barat secara parsial, sepotong-sepotong, yang sesuai selera diambil, yang tidak sesuai selera dicampakkan. Akibatnya lihatlah, negeri kita serba tanggung, demokrasi yang diadopsi setengah-setengah membuat kita gamang baik secara politik maupun ekonomi. Sistem yang tanggung nyatanya tidak membuat kita maju, malah semakin terpuruk.
Kekolotan dan kepongahan, inilah kombinasi sikap yang membuat kita sulit membangun soliditas, susah saling percaya. Lihat misalnya, kalau ada orang atau kelompok yang mengkritisi dengan mengajukan gagasan mengapa kita tidak mengadopsi saja, segala aturan main dan undang-undang dalam berdemokrasi seperti milik Amerika Serikat misalnya maka baik yang berusia lanjut maupun yang masih muda, dengan sigap dan garang menolak mentah-mentah gagasan ini. Yang tua menganggap Amerika merusak, Barat membuat kita sengsara. Mereka tetap mengagumi dan berusaha menerapkan jargon Bung Karno jaman kolonial, "Inggris kita linggis, Amerika kita setrika".
Sementara dari kalangan pemudanya, tidak sedikit yang menelan jargon itu bulat-bulat, mengucapkannya dengan semangat patriotisme jaman perang di era sekarang. Menerapkannya dengan dalih untuk mewarisi semangat juang para founding fathers, sebuah kepicikan yang dibanggakan. Dari kalangan mereka, ada yang dengan pongahnya mengatakan bahwa Amerika bukanlah contoh yang baik, Inggris bukan contoh yang patut ditiru. Demokrasi kita sangat khas dan jauh lebih sempurna.
Sebagai komponen anak muda, saya agak malu juga melihat kenyataan ini. Di satu sisi ada kekolotan, di pihak lain ada kepongahan. Klop. Tampaknya keterpurukan negeri ini disebabkan karena cara berpikir dan sikap kita sendiri yang memang cenderung menolak kemajuan, enggan melakukan pembaruan. Apa boleh buat, begitulah yang biasanya terjadi di negeri ini. Jargon Keindonesiaan dijadikan alat yang paling efektif untuk menolak gagasan-gagasan baru, terutama yang dianggap berbau asing, kebarat-baratan.
Saatnya Membuka Diri
Meskipun sudah 10 tahun kita menjalani hidup dibawah payung orde reformasi, namun kita masih disibukkan oleh perdebatan-perdebatan ketatanegaraan, rancangan undang-undang berbagai hal, yang tidak kunjung selesai. Haruskah kita mengulangi pengalaman panjang seperti Amerika Serikat dalam berdemokrasi yang meretas jalan ratusan tahun lamanya untuk sampai seperti sekarang?
Sudah saatnya kita membuka diri pada kemungkinan masuknya gagasan, panetrasi budaya yang mampu mengikis kekolotan, menumbangkan kepongahan. Kedua sikap antikemajuan itu biarlah menjadi masa lalu, menjadi salah satu warisan budaya yang unik.
Diperlukan kerendahan hati, kekuatan keyakinan, dan kelembutan sikap, untuk mengakui bahwa kita memang masih perlu belajar, menerima dan menyontoh sesuatu yang lebih baik dan lebih efektif untuk perbaikan sistem sosial dan ketatanegaraan. Keterbukaan pikiran dan sikap sangatlah penting, di samping keharusan bekerja keras. Semua itu kita lakukan untuk semaksimal mungkin memberikan kesejahteraan bagi masyarakat negeri ini.
Penulis adalah Wakil Direktur Eksekutif Lembaga Pemenangan Pemilu DPP Partai Golkar
Last modified: 8/7/08
engapa kita harus berlindung dibalik adagium yang segalanya khas Indonesia, sampai dalam berdemokrasi pun, kita lebih suka atas nama khas Indonesia?
Saya kira, sumbernya berakar dari kerapuhan karakter, mentalitas inferior, yang kemudian menemukan justifikasi dalam pemaknaan nasionalisme yang sempit. Dengan begitu, reformasi boleh saja digagas dan digerakkan, demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) boleh saja digagas dan ditegakkan, tapi jangan coba-coba dilepaskan dari apa yang disebut dengan kearifan lokal. Maka tak perlu heran, atas nama kearifan lokal, demokrasi dan HAM terdistorsi sehingga kehilangan substansi.
Contoh kecil, secara kelembagaan, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) enggan kita sebut senator karena dianggap khas Barat. Sistem dua kamar dalam lembaga legislatif, kita merasa lebih nyaman menyebutnya sebagai bikameral ala Indonesia. Akibatnya, secara kelembagaan DPD tidak berkutik di hadapan DPR. DPD tidak bisa berperan maksimal karena posisinya sangat lemah. Ibaratnya, keberadaan DPD hanya menjadi bunga-bunga demokrasi yang dibutuhkan, tapi bukan untuk peran-peran yang signifikan.
Umumnya, kita malu atau tabu meniru sesuatu yang datang dari Barat meskipun jauh lebih baik, lebih efisien. Hanya karena -lagi-lagi- dianggap tidak khas Indonesia, kita lebih suka meniru budaya Barat secara parsial, sepotong-sepotong, yang sesuai selera diambil, yang tidak sesuai selera dicampakkan. Akibatnya lihatlah, negeri kita serba tanggung, demokrasi yang diadopsi setengah-setengah membuat kita gamang baik secara politik maupun ekonomi. Sistem yang tanggung nyatanya tidak membuat kita maju, malah semakin terpuruk.
Kekolotan dan kepongahan, inilah kombinasi sikap yang membuat kita sulit membangun soliditas, susah saling percaya. Lihat misalnya, kalau ada orang atau kelompok yang mengkritisi dengan mengajukan gagasan mengapa kita tidak mengadopsi saja, segala aturan main dan undang-undang dalam berdemokrasi seperti milik Amerika Serikat misalnya maka baik yang berusia lanjut maupun yang masih muda, dengan sigap dan garang menolak mentah-mentah gagasan ini. Yang tua menganggap Amerika merusak, Barat membuat kita sengsara. Mereka tetap mengagumi dan berusaha menerapkan jargon Bung Karno jaman kolonial, "Inggris kita linggis, Amerika kita setrika".
Sementara dari kalangan pemudanya, tidak sedikit yang menelan jargon itu bulat-bulat, mengucapkannya dengan semangat patriotisme jaman perang di era sekarang. Menerapkannya dengan dalih untuk mewarisi semangat juang para founding fathers, sebuah kepicikan yang dibanggakan. Dari kalangan mereka, ada yang dengan pongahnya mengatakan bahwa Amerika bukanlah contoh yang baik, Inggris bukan contoh yang patut ditiru. Demokrasi kita sangat khas dan jauh lebih sempurna.
Sebagai komponen anak muda, saya agak malu juga melihat kenyataan ini. Di satu sisi ada kekolotan, di pihak lain ada kepongahan. Klop. Tampaknya keterpurukan negeri ini disebabkan karena cara berpikir dan sikap kita sendiri yang memang cenderung menolak kemajuan, enggan melakukan pembaruan. Apa boleh buat, begitulah yang biasanya terjadi di negeri ini. Jargon Keindonesiaan dijadikan alat yang paling efektif untuk menolak gagasan-gagasan baru, terutama yang dianggap berbau asing, kebarat-baratan.
Saatnya Membuka Diri
Meskipun sudah 10 tahun kita menjalani hidup dibawah payung orde reformasi, namun kita masih disibukkan oleh perdebatan-perdebatan ketatanegaraan, rancangan undang-undang berbagai hal, yang tidak kunjung selesai. Haruskah kita mengulangi pengalaman panjang seperti Amerika Serikat dalam berdemokrasi yang meretas jalan ratusan tahun lamanya untuk sampai seperti sekarang?
Sudah saatnya kita membuka diri pada kemungkinan masuknya gagasan, panetrasi budaya yang mampu mengikis kekolotan, menumbangkan kepongahan. Kedua sikap antikemajuan itu biarlah menjadi masa lalu, menjadi salah satu warisan budaya yang unik.
Diperlukan kerendahan hati, kekuatan keyakinan, dan kelembutan sikap, untuk mengakui bahwa kita memang masih perlu belajar, menerima dan menyontoh sesuatu yang lebih baik dan lebih efektif untuk perbaikan sistem sosial dan ketatanegaraan. Keterbukaan pikiran dan sikap sangatlah penting, di samping keharusan bekerja keras. Semua itu kita lakukan untuk semaksimal mungkin memberikan kesejahteraan bagi masyarakat negeri ini.
Penulis adalah Wakil Direktur Eksekutif Lembaga Pemenangan Pemilu DPP Partai Golkar
Last modified: 8/7/08
Enam Oknum Satgas 413 Aniaya Warga Sipil di Papua
SP/Robert Isidorus
Nyonya Christian Aipassa sedang menunggui suaminya di Rumah Sakit Umum Daerah Dok II, Jayapura, Papua sehabis dioperasi, Senin (7/7) siang.
[JAYAPURA] Polisi Militer Kodam (Pomdam) XVII/Cenderawasih masih menahan enam anggota Satgas 413/ Kostrad, Sragen, dan statusnya telah ditetapkan sebagai tersangka penganiayaan terhadap Christian Aipassa (38), pegawai negeri sipil (PNS) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sarmi, Papua, di Pasar Lama depan Toko Karimun, Sarmi.
Akibat penganiayaan tersebut, korban mengalami luka serius. Pendarahan di kepala, tulang tangan kanan patah, hidung retak, dan luka pada leher sebelah kanan akibat terkena popor senjata. Pada Senin (7/7) sekitar pukul 12.00 WIT, Christian menjalani operasi selama satu jam oleh tim dokter ahli tulang Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dok II Jayapura.
Sementara itu, keluarga Christian, yaitu David Warinussi yang ditemui wartawan di Ruang Bedah Pria RSUD Dok II Jayapura, Senin (7/7), menyayangkan sikap aparat di mana ada upaya dari pihak TNI, dalam hal ini Dandim Sarmi yang sepertinya ingin menutupi kejadian.
"Kami dari keluarga ingin korban segera dievakuasi ke Jayapura untuk perawatan medis yang lebih intensif. Tetapi, RSU Sarmi dijaga ketat oleh Satgas 413 sehingga kami susah membawa dia (korban) untuk dievakuasi," katanya.
Segala upaya dilakukan keluarga, bahkan hendak mencarter pesawat, tetapi lagi-lagi pesawat malah dibatalkan tanpa alasan yang jelas. Dokter RSU Sarmi menurut versi keluarga juga terkesan takut mengambil tindakan kepada korban.
Setelah David yang kebetulan anggota Provost Polres Jayapura berpangkat Ipda ini datang bersama saudaranya ke Sarmi lewat jalur darat untuk menjemput korban, korban berhasil dievakuasi ke Jayapura. "Kejadian hari Minggu lalu, tetapi saya baru berhasil membawa adik saya hari Kamis (3/7) dan dioperasi hari ini," ujarnya.
Sementara itu, istri korban, Ny Christian Aipassa sendiri mengaku sampai saat ini belum ada pihak Satgas 413 yang datang kepada keluarga untuk meminta maaf dan membiayai rumah sakit.
Kapendam XVII/Cenderawasih Letkol Inf Imam Santoso membantah apabila dikatakan kasus ini terkesan ditutup-tutupi.
Dikatakan, kasus ini akan diusut tuntas. Keenam oknum prajurit ini jelas-jelas melakukan tindak pidana murni. Mereka, yakni Kopral Bakri, Kopral Rico Laupassy, Prada Mustaqim, Prada Sutiono, Pratu Sugeng, dan Kopral Lifteu.
Kejadian ini sebenarnya terjadi hari Minggu (29/6) di Sarmi, namun baru diketahui media massa, Senin (7/7) siang, saat korban menjalani operasi.
Kronologi
Kejadian yang ini bermula saat Bendahara Sekwan DPRD Sarmi, Hengky Tonjau bersama Kadistrik Tor Atas Robert Wayasu hendak membeli pinang di Pasar Lama. Saat itu Hengky melihat anggota Satgas yang sudah dikenalnya, lalu dengan ramah Hengky mengajak anggota satgas ini untuk makan pinang sama-sama. "Eh ade mari sama-sama makan pinang," ajaknya
Merasa tersinggung dengan ucapan Hengky, pelaku langsung menyela. "Ko (Kamu) panggil sa (saya) ade memangnya ko (kamu) kenal saya di mana kha," kata oknum satgas ini. Anggota satgas ini kemudian hendak memukul Hengky. Pukulan oknum Satgas ini berhasil mengenai Hengky.
Melihat temannya dipukul, Robert kemudian datang untuk melerai. Dan Hengky pun sempat memukul anggota Satgas ini. Merasa terdesak kedua oknum Satgas ini segera berlari menuju Pos Satgas di Mararena, sedangkan Hengky dan Robert bergegas melaporkan kejadian di Polsek Sarmi.
Para oknum satgas ini kembali lagi ke lokasi kejadian dengan membawa keempat temannya. Dengan berpakaian preman dan membawa senjata. "Mereka mengamuk di pasar dan mengobrak-abrik tempat jual pinang," kata Rita N Imbiri, ibu mantu korban.
Saat itu kebetulan Rita hendak ke rental yang letaknya tidak terlalu jauh dari pasar. Singkatnya Rita yang tak tahu-menahu kejadian dicegat oleh lima orang anggota Satgas yang bertanya kepadanya, "Mana orang Biak," hardik mereka.
"Padahal, saya sudah bilang, kalau saya bukan orang Biak, tetapi mereka langsung seret saya ke dalam," ujarnya.
Saat itulah korban yang hendak membeli rokok datang ke lokasi kejadian dan melihat ibu mantunya diseret. Korban mengatakan kepada salah satu anggota satgas yang kebetulan dikenalnya, yakni Prada Rico Laupassy. Bahwa yang diseret itu adalah ibu menantunya.
"Menantu saya bilang dia perempuan, jangan dibuat kayak begitu. Tetapi pelaku malah cekik leher saya punya anak mantu dan saya langsung lari ketakutan sambil teriak menangis," tuturnya. Di situlah mereka menghajarnya. [154]
Last modified: 8/7/08
Nyonya Christian Aipassa sedang menunggui suaminya di Rumah Sakit Umum Daerah Dok II, Jayapura, Papua sehabis dioperasi, Senin (7/7) siang.
[JAYAPURA] Polisi Militer Kodam (Pomdam) XVII/Cenderawasih masih menahan enam anggota Satgas 413/ Kostrad, Sragen, dan statusnya telah ditetapkan sebagai tersangka penganiayaan terhadap Christian Aipassa (38), pegawai negeri sipil (PNS) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sarmi, Papua, di Pasar Lama depan Toko Karimun, Sarmi.
Akibat penganiayaan tersebut, korban mengalami luka serius. Pendarahan di kepala, tulang tangan kanan patah, hidung retak, dan luka pada leher sebelah kanan akibat terkena popor senjata. Pada Senin (7/7) sekitar pukul 12.00 WIT, Christian menjalani operasi selama satu jam oleh tim dokter ahli tulang Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dok II Jayapura.
Sementara itu, keluarga Christian, yaitu David Warinussi yang ditemui wartawan di Ruang Bedah Pria RSUD Dok II Jayapura, Senin (7/7), menyayangkan sikap aparat di mana ada upaya dari pihak TNI, dalam hal ini Dandim Sarmi yang sepertinya ingin menutupi kejadian.
"Kami dari keluarga ingin korban segera dievakuasi ke Jayapura untuk perawatan medis yang lebih intensif. Tetapi, RSU Sarmi dijaga ketat oleh Satgas 413 sehingga kami susah membawa dia (korban) untuk dievakuasi," katanya.
Segala upaya dilakukan keluarga, bahkan hendak mencarter pesawat, tetapi lagi-lagi pesawat malah dibatalkan tanpa alasan yang jelas. Dokter RSU Sarmi menurut versi keluarga juga terkesan takut mengambil tindakan kepada korban.
Setelah David yang kebetulan anggota Provost Polres Jayapura berpangkat Ipda ini datang bersama saudaranya ke Sarmi lewat jalur darat untuk menjemput korban, korban berhasil dievakuasi ke Jayapura. "Kejadian hari Minggu lalu, tetapi saya baru berhasil membawa adik saya hari Kamis (3/7) dan dioperasi hari ini," ujarnya.
Sementara itu, istri korban, Ny Christian Aipassa sendiri mengaku sampai saat ini belum ada pihak Satgas 413 yang datang kepada keluarga untuk meminta maaf dan membiayai rumah sakit.
Kapendam XVII/Cenderawasih Letkol Inf Imam Santoso membantah apabila dikatakan kasus ini terkesan ditutup-tutupi.
Dikatakan, kasus ini akan diusut tuntas. Keenam oknum prajurit ini jelas-jelas melakukan tindak pidana murni. Mereka, yakni Kopral Bakri, Kopral Rico Laupassy, Prada Mustaqim, Prada Sutiono, Pratu Sugeng, dan Kopral Lifteu.
Kejadian ini sebenarnya terjadi hari Minggu (29/6) di Sarmi, namun baru diketahui media massa, Senin (7/7) siang, saat korban menjalani operasi.
Kronologi
Kejadian yang ini bermula saat Bendahara Sekwan DPRD Sarmi, Hengky Tonjau bersama Kadistrik Tor Atas Robert Wayasu hendak membeli pinang di Pasar Lama. Saat itu Hengky melihat anggota Satgas yang sudah dikenalnya, lalu dengan ramah Hengky mengajak anggota satgas ini untuk makan pinang sama-sama. "Eh ade mari sama-sama makan pinang," ajaknya
Merasa tersinggung dengan ucapan Hengky, pelaku langsung menyela. "Ko (Kamu) panggil sa (saya) ade memangnya ko (kamu) kenal saya di mana kha," kata oknum satgas ini. Anggota satgas ini kemudian hendak memukul Hengky. Pukulan oknum Satgas ini berhasil mengenai Hengky.
Melihat temannya dipukul, Robert kemudian datang untuk melerai. Dan Hengky pun sempat memukul anggota Satgas ini. Merasa terdesak kedua oknum Satgas ini segera berlari menuju Pos Satgas di Mararena, sedangkan Hengky dan Robert bergegas melaporkan kejadian di Polsek Sarmi.
Para oknum satgas ini kembali lagi ke lokasi kejadian dengan membawa keempat temannya. Dengan berpakaian preman dan membawa senjata. "Mereka mengamuk di pasar dan mengobrak-abrik tempat jual pinang," kata Rita N Imbiri, ibu mantu korban.
Saat itu kebetulan Rita hendak ke rental yang letaknya tidak terlalu jauh dari pasar. Singkatnya Rita yang tak tahu-menahu kejadian dicegat oleh lima orang anggota Satgas yang bertanya kepadanya, "Mana orang Biak," hardik mereka.
"Padahal, saya sudah bilang, kalau saya bukan orang Biak, tetapi mereka langsung seret saya ke dalam," ujarnya.
Saat itulah korban yang hendak membeli rokok datang ke lokasi kejadian dan melihat ibu mantunya diseret. Korban mengatakan kepada salah satu anggota satgas yang kebetulan dikenalnya, yakni Prada Rico Laupassy. Bahwa yang diseret itu adalah ibu menantunya.
"Menantu saya bilang dia perempuan, jangan dibuat kayak begitu. Tetapi pelaku malah cekik leher saya punya anak mantu dan saya langsung lari ketakutan sambil teriak menangis," tuturnya. Di situlah mereka menghajarnya. [154]
Last modified: 8/7/08
Dakwaan JPU Dinilai Kabur dan Tidak Lengkap
10 Juli 2008 05:53:54
CEPOS
Dari Sidang Kasus Pembentangan Bendera Bintang Kejora di Manokwari MANOKWARI-Kasus pembentangan bendera Bintang Kejora awal danpertengahan Maret lalu kembali dilanjutkan persidangannya diPengadilan Negeri Manokwari dengan agenda pembacaan eksepsi olehmasing-masing terdakwa yang didampingi tim kuasa hukumnya YanChristian Warinussy, SH dkk. Sidang kedua ini menyidangkan enamterdakwa yang dibagi dalam dua berkas.Terdakwa kasus makar yang disidang, Rabu (9/7) DanielSakwatorey, Ariel Werimon, Edy Ayorbaba, George Risyard Ayorbaba,Martinus Luther Koromath dan Noak AP. Sedangkan terdakwa lainnya akandisidangkan hari ini, Kamis (10/7) dengan agenda yang sama. Sebelumsidang dimulai, massa pendukung sempat membentangkan spanduk danpanflet serta menggelar doa bersama di depan ruangan sidang.Tim kuasa hukum George Risyard Ayorbaba dkk dalam eksepsinyamenanggapi surat dakwaan JPU menyoroti dakwaan kesatu primair dansubsidair yang menyatakan perbuatan para terdakwa diatur dan diancamdalam pasal 106 KUHPidana. Dalam surat dakwaan yang disampaikan JPUmenyatakan melanggar dakwaan kesatu primair pasal 106 juncto 55 ayat(1) ke-1 KUHPidana , subsidair pasal 106 juncto 56 ke-1 KUHPidana,kedua pasal 110 ayat (1) juncto 106 KUHPidana.Dalam kesimpulannya tim kuasa hukum menyatakan, pertama surat dakwaanJPU adalah tidak jelas dan tidak lengkap karena tidak memuat secarajelas tindak pidana yang dilakukan oleh para terdakwa dalam perkaraini. Kedua, dalam dakwaan kesatu primair para terdakwa didakwamelanggar pasal 106 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dakwaan kesatusubsidair pasal 106 jo pasal 56 ke-1 KUHP tentang perbuatan makar,namun dalam uraiannya dakwaan kesatu primair dan subsidair, JPUmenguraikan perbuatan para terdakwa sebagai tindak pidana penghasutan.Ketiga, didalam dakwaan kedua primair para terdakwa didakwa melanggarpasal 110 ayat (1) KUHP jo pasal 56 ke-1 KUHP jo pasal 55 ayat (1)ke-1 KUHP tentang pemufakatan jahat dan perbuatan makar serta turutserta melakukan perbuatan makar, akan tetapi JPU menguraikan tindakpidana penghasutan yang dilakukan para terdakwa berupa kegiatan unjukrasa yang dilakukan para terdakwa namun tidak dapat dikatakan sebagaipemufakatan jahat.Terakhir, tim kuasa hukum berkesimpulan surat dakwaan batal demi hukum karena tidak jelas dan tidak lengkap karena tidak memuat tindak pidana yang dilakukan. Sedangkan eksepsi atas nama terdakwa Daniel Sakwatorey dkk, tim kuasa hukum juga menyatakan kesimpulan yang sama bahwa surat dakwaan kabur dan tidak lengkap.Untuk itu, tim kuasa hukum dalam permohonannya menyatakan suratdakwaan JPU tidak jelas dan tidak lengkap oleh karenanya harus bataldemi hukum. Menyatakan perbuatan para terdakwa tidak terbuktimelanggar dakwaan kesatu primair dan subsidair serta dakwaan keduaprimair dan subsidair. Terakhir tim kuasa hukum memohon kepada majelishakim untuk membebaskan para terdakwa.(sr)
CEPOS
Dari Sidang Kasus Pembentangan Bendera Bintang Kejora di Manokwari MANOKWARI-Kasus pembentangan bendera Bintang Kejora awal danpertengahan Maret lalu kembali dilanjutkan persidangannya diPengadilan Negeri Manokwari dengan agenda pembacaan eksepsi olehmasing-masing terdakwa yang didampingi tim kuasa hukumnya YanChristian Warinussy, SH dkk. Sidang kedua ini menyidangkan enamterdakwa yang dibagi dalam dua berkas.Terdakwa kasus makar yang disidang, Rabu (9/7) DanielSakwatorey, Ariel Werimon, Edy Ayorbaba, George Risyard Ayorbaba,Martinus Luther Koromath dan Noak AP. Sedangkan terdakwa lainnya akandisidangkan hari ini, Kamis (10/7) dengan agenda yang sama. Sebelumsidang dimulai, massa pendukung sempat membentangkan spanduk danpanflet serta menggelar doa bersama di depan ruangan sidang.Tim kuasa hukum George Risyard Ayorbaba dkk dalam eksepsinyamenanggapi surat dakwaan JPU menyoroti dakwaan kesatu primair dansubsidair yang menyatakan perbuatan para terdakwa diatur dan diancamdalam pasal 106 KUHPidana. Dalam surat dakwaan yang disampaikan JPUmenyatakan melanggar dakwaan kesatu primair pasal 106 juncto 55 ayat(1) ke-1 KUHPidana , subsidair pasal 106 juncto 56 ke-1 KUHPidana,kedua pasal 110 ayat (1) juncto 106 KUHPidana.Dalam kesimpulannya tim kuasa hukum menyatakan, pertama surat dakwaanJPU adalah tidak jelas dan tidak lengkap karena tidak memuat secarajelas tindak pidana yang dilakukan oleh para terdakwa dalam perkaraini. Kedua, dalam dakwaan kesatu primair para terdakwa didakwamelanggar pasal 106 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dakwaan kesatusubsidair pasal 106 jo pasal 56 ke-1 KUHP tentang perbuatan makar,namun dalam uraiannya dakwaan kesatu primair dan subsidair, JPUmenguraikan perbuatan para terdakwa sebagai tindak pidana penghasutan.Ketiga, didalam dakwaan kedua primair para terdakwa didakwa melanggarpasal 110 ayat (1) KUHP jo pasal 56 ke-1 KUHP jo pasal 55 ayat (1)ke-1 KUHP tentang pemufakatan jahat dan perbuatan makar serta turutserta melakukan perbuatan makar, akan tetapi JPU menguraikan tindakpidana penghasutan yang dilakukan para terdakwa berupa kegiatan unjukrasa yang dilakukan para terdakwa namun tidak dapat dikatakan sebagaipemufakatan jahat.Terakhir, tim kuasa hukum berkesimpulan surat dakwaan batal demi hukum karena tidak jelas dan tidak lengkap karena tidak memuat tindak pidana yang dilakukan. Sedangkan eksepsi atas nama terdakwa Daniel Sakwatorey dkk, tim kuasa hukum juga menyatakan kesimpulan yang sama bahwa surat dakwaan kabur dan tidak lengkap.Untuk itu, tim kuasa hukum dalam permohonannya menyatakan suratdakwaan JPU tidak jelas dan tidak lengkap oleh karenanya harus bataldemi hukum. Menyatakan perbuatan para terdakwa tidak terbuktimelanggar dakwaan kesatu primair dan subsidair serta dakwaan keduaprimair dan subsidair. Terakhir tim kuasa hukum memohon kepada majelishakim untuk membebaskan para terdakwa.(sr)
Di Papua, Ada Juga yang Sempat Protes
10 Juli 2008 06:06:33
JAYAPURA-Banyaknya Partai Politik (Parpol) yang dinyatakan gugur dalam verifikasi faktual oleh KPU Pusat telah berbuntut pada banyaknya aksi protes dari Parpol-Parpol yang dinyatakan tidak lolos, sebagai peserta Pemilu 2009 itu.Seperti halnya di Papua, sempat ada Parpol yang protes dan mempertanyakan mengapa Parpolnya dinyatakan tidak lolos. "Memang sempat ada yang protes dan mempertanyakan mengapa tidak lolos. Tapi kita sudah jelaskan bahwa di tingkat provinsi Papua dari 23 Parpol yang mengikuti verifikasi, semuanya sudah memenuhi syarat dan sudah kita laporkan ke KPU Pusat. Jadi KPU pusat menentukan Parpol mana yang lolos dan itu berdasarkan ketentuan Undang-Undang," terang Ketua KPU Provinsi Papua Benny Sweny SS.Sos nya saat ditanya wartawan di kantornya, Rabu (9/7) kemarin. Dikatakan, sesuai aturan Undang-Undang, Parpol yang bisa menjadi peserta Pemilu 2009 adalah Parpol yang memiliki kepengurusan pada 2/3 provinsi di seluruh Indonesia. "Artinya kalaupun Parpol itu memenuhi syarat di Provinsi Papua, belum tentu lolos di provinsi lain. Ini yang perlu dilihat secara proporsional," tandasnya.Karena masih kurang percaya, Ketua KPU papua itu juga sempat menunjukkan laporan yang sudah dikirim ke KPU Pusat. Dimana, secara faktual, dari 23 Parpol yang diverifikasi di Papua, semuanya memenuhi syarat, karena pengurusnya ada, termasuk kantornya juga ada. Kepada Parpol yang sudah dinyatakan lolos, pihaknya menghimbau supaya mempersiapkan diri, karena pada 12 Juli akan masuk pada tahap kampanye. "Memang rencana awal, jadwal kampanye dimulai 8 Juli, tapi kemudian diundur 4 hari dari jadwal semua, karena Pemilunya juga diundur 4 hari," lanjutnya.Selain itu, Parpol juga diminta untuk mempersiapkan jadwal kampanyenya, baik kampanye tertutup maupun kampanye media, sehingga ini bisa dikonsolidasikan oleh KPU Provinsi Papua, supaya tidak terjadi benturan-benturan di lapangan. "Kita yang akan menetapkan jadwalnya, namun hendaknya jadwal dari masing-masing Parpol itu juga disampaikan ke kita, supaya memudahkan kita dalam menetapkan jadwal itu," tandasnya.Terkait hal ini, pada Jumat besok, KPU Provinsi Papua juga akan melakukan pertemuan dengan para pengurus Parpol di tingkat provinsi ini. "Hari Jumat kita akan bertemu dengan parpol," tutur Benny.Sementara kepada lima Parpol yang belum ada pengurusannya di Papua namun sudah lols sebagai peserta Pemilu, pihaknya menghimbau supaya segera membentuk kepengurusannya supaya bisa mengikuti tahapan Pemilu yang ada. Terkait 11 Jatah Kursi Bagi Orang Asli PapuaSementara itu, terkait jatah 11 kursi di DPRP bagi orang asli Papua, sebagaimana disuarakan keras oleh MRP, Benny menjelaskan, terkait hal ini, pihaknya membawa surat MRP itu ke KPU Pusat."Saya sudah bertemu dengan Saymsul Bahri sebagai Korwil Papua. Kita sudah membahas. Yang pertama saya minta agar jatah 11 kursi itu tidak dimasukkan dalam distribusi Dapil, sehingga 11 kursi ini akan diatur secara tersendiri," ucapnya. Menurutnya, dasar hukum yang paling memungkinkan untuk mengatur hal ini adalah peraturan KPU. "Misalnya siapa yang akan direkrut, kriterianya seperti apa, mekanisme pemilihannya seperti apa, itu yang akan diatur dalam Peraturan KPU Pusat itu. Kita sudah bahas dan mudah-mudahan KPU Pusat bisa menyikapi hal ini dengan melakukan pleno untuk membuat Peraturan KPU tersebut," harapnya.Ditegaskan, dasar hukum untuk jatah 11 kursi itu jika dalam bentuk Perdasi/Perdasus sudah tidak memungkinkan lagi, sebab waktu sudah mepet. "Raperdasi/Raperdasus yang bertahun-tahun dibahas saja sampai hari ini belum jadi," tegasnya.Jadi yang paling memungkinkan adalah peraturan KPU. "Jadi saya telah minta kekhususan dari proses Pemilu di Papua dalam mengakomodir hak-hak orang Papua itu melalui peraturan KPU tersebut. Kita berdoa saja, semoga diakomodir oleh KPU pusat," pungkasnya. (fud)
JAYAPURA-Banyaknya Partai Politik (Parpol) yang dinyatakan gugur dalam verifikasi faktual oleh KPU Pusat telah berbuntut pada banyaknya aksi protes dari Parpol-Parpol yang dinyatakan tidak lolos, sebagai peserta Pemilu 2009 itu.Seperti halnya di Papua, sempat ada Parpol yang protes dan mempertanyakan mengapa Parpolnya dinyatakan tidak lolos. "Memang sempat ada yang protes dan mempertanyakan mengapa tidak lolos. Tapi kita sudah jelaskan bahwa di tingkat provinsi Papua dari 23 Parpol yang mengikuti verifikasi, semuanya sudah memenuhi syarat dan sudah kita laporkan ke KPU Pusat. Jadi KPU pusat menentukan Parpol mana yang lolos dan itu berdasarkan ketentuan Undang-Undang," terang Ketua KPU Provinsi Papua Benny Sweny SS.Sos nya saat ditanya wartawan di kantornya, Rabu (9/7) kemarin. Dikatakan, sesuai aturan Undang-Undang, Parpol yang bisa menjadi peserta Pemilu 2009 adalah Parpol yang memiliki kepengurusan pada 2/3 provinsi di seluruh Indonesia. "Artinya kalaupun Parpol itu memenuhi syarat di Provinsi Papua, belum tentu lolos di provinsi lain. Ini yang perlu dilihat secara proporsional," tandasnya.Karena masih kurang percaya, Ketua KPU papua itu juga sempat menunjukkan laporan yang sudah dikirim ke KPU Pusat. Dimana, secara faktual, dari 23 Parpol yang diverifikasi di Papua, semuanya memenuhi syarat, karena pengurusnya ada, termasuk kantornya juga ada. Kepada Parpol yang sudah dinyatakan lolos, pihaknya menghimbau supaya mempersiapkan diri, karena pada 12 Juli akan masuk pada tahap kampanye. "Memang rencana awal, jadwal kampanye dimulai 8 Juli, tapi kemudian diundur 4 hari dari jadwal semua, karena Pemilunya juga diundur 4 hari," lanjutnya.Selain itu, Parpol juga diminta untuk mempersiapkan jadwal kampanyenya, baik kampanye tertutup maupun kampanye media, sehingga ini bisa dikonsolidasikan oleh KPU Provinsi Papua, supaya tidak terjadi benturan-benturan di lapangan. "Kita yang akan menetapkan jadwalnya, namun hendaknya jadwal dari masing-masing Parpol itu juga disampaikan ke kita, supaya memudahkan kita dalam menetapkan jadwal itu," tandasnya.Terkait hal ini, pada Jumat besok, KPU Provinsi Papua juga akan melakukan pertemuan dengan para pengurus Parpol di tingkat provinsi ini. "Hari Jumat kita akan bertemu dengan parpol," tutur Benny.Sementara kepada lima Parpol yang belum ada pengurusannya di Papua namun sudah lols sebagai peserta Pemilu, pihaknya menghimbau supaya segera membentuk kepengurusannya supaya bisa mengikuti tahapan Pemilu yang ada. Terkait 11 Jatah Kursi Bagi Orang Asli PapuaSementara itu, terkait jatah 11 kursi di DPRP bagi orang asli Papua, sebagaimana disuarakan keras oleh MRP, Benny menjelaskan, terkait hal ini, pihaknya membawa surat MRP itu ke KPU Pusat."Saya sudah bertemu dengan Saymsul Bahri sebagai Korwil Papua. Kita sudah membahas. Yang pertama saya minta agar jatah 11 kursi itu tidak dimasukkan dalam distribusi Dapil, sehingga 11 kursi ini akan diatur secara tersendiri," ucapnya. Menurutnya, dasar hukum yang paling memungkinkan untuk mengatur hal ini adalah peraturan KPU. "Misalnya siapa yang akan direkrut, kriterianya seperti apa, mekanisme pemilihannya seperti apa, itu yang akan diatur dalam Peraturan KPU Pusat itu. Kita sudah bahas dan mudah-mudahan KPU Pusat bisa menyikapi hal ini dengan melakukan pleno untuk membuat Peraturan KPU tersebut," harapnya.Ditegaskan, dasar hukum untuk jatah 11 kursi itu jika dalam bentuk Perdasi/Perdasus sudah tidak memungkinkan lagi, sebab waktu sudah mepet. "Raperdasi/Raperdasus yang bertahun-tahun dibahas saja sampai hari ini belum jadi," tegasnya.Jadi yang paling memungkinkan adalah peraturan KPU. "Jadi saya telah minta kekhususan dari proses Pemilu di Papua dalam mengakomodir hak-hak orang Papua itu melalui peraturan KPU tersebut. Kita berdoa saja, semoga diakomodir oleh KPU pusat," pungkasnya. (fud)
Subscribe to:
Posts (Atom)