Sunday, 17 August 2008

5 Pentolan DAP Gagal Diperiksa

CEPOS, JAYAPURA-14 Agustus 2008 23:40:07
Sesuai rencana, Kamis (14/8) kemarin, lima orang pentolan Dewan Adat Papua (DAP) akan menjalani pemeriksaan sebagai saksi insiden pengibaran bintang kejora, pada acara peringatan hari Pribumi di Wamena, Sabtu lalu.Namun rencana pemeriksaan itu akhirnya gagal, sebab meskipun para pentolan DAP itu sudah datang ke Polda Papua, tetapi mereka menolak untuk dilakukan pemeriksaan.Ketua DAP, Forkurus Yoboisembut saat ditanya wartawan seusai keluar dari ruang Direktorat Reserse dan Kriminal Polda Papua, mengatakan, pihaknya menolak diperiksa karena tidak dilibatkan sebagai saksi dalam kasus penembakan terhadap Otinus Tabuni yang juga terjadi pada momen yang sama. "Kami sepakat menolak pemeriksaan dengan dugaan melakukan pengibaran bintang kejora, sebab kita tidak ikut dijadikan saksi dalam kasus penembakan warga yang ikut dalam peringatan itu," paparnya didampingi Kepala Pemberitaan DAP, Fadel Alhamid, Kepala DAP Wilayah Lembah Baliem, Lemoks Mabel, Ketua dan Sekretaris Panitia Hari Bangsa Pribumi di Wamena, Yulianus Isage dan Dominikus Sorabut. Forkorus menegaskan, dirinya dan rekan lainnya hanya bersedia diperiksa pada kasus pengibaran bintang kejora, jika dalam kasus penembakan dilibatkan sebagai saksi. Itupun dengan beberapa syarat antara lain: polisi harus segera mengungkap pelaku penembakan dan saat diperiksa, DAP minta didampingi oleh utusan dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB)."Kami mau diperiksa jika didampingi pelapor khusus anti kekerasan PBB, Mampret Nowak. Bila tidak, kami menolak untuk diperiksa dalam kasus pengibaran bintang kejora," ucapnya.Pihaknya meminta polisi segera mengusut dan mengungkap secara transparan dan menghukum pelakunya. DAP Dianggap Ingkar Janji /// Sementara itu, Kabidhumas Polda Papua, Kombes Pol. Drs. Agus Rianto saat dikonfirmasi mengatakan, saat di Wamena dan di hadapan Kapolda, para pentolan DAP itu menyanggupi untuk diperiksa Kamis (14/8). "Tetapi kenyataannya, mereka menolak dengan alasan harus didampingi PBB. Dengan penolakan ini, kami menganggap, mereka telah mengingkari janjinya saat di Wamena," tuturnya.Pihaknya menyatakan, siapapun orangnya yang ada di negara ini, mereka harus tunduk pada aturan yang berlaku di negara ini, bukan terpengaruh pada orang luar.Kabidhumas menegaskan bahwa pengibaran bintang kejora itu dilarang, karena itu dianggap sebagai lambang separatis. "Orang yang melanggar ini sudah banyak yang ditahan dan dihukum. Karena itu, masyarakat dihimbau agar tidak lagi terprovokasi untuk mengibarkan bintang kejora.Terkait penolakan pemeriksaan itu, maka pihaknya akan kembali melakukan pemanggilan terhadap para pentolan DAP itu untuk diperiksa terkait kasus pengibaran bintang kejora.Kemudian terkait kasus penembakan yang mengakibatkan satu korban tewas, saat ini penyidik telah memeriksa 33 orang polisi dan 4 orang saksi dari masyarakat. Sedangkan untuk memastikan peluru itu dari siapa, pihaknya masih menunggu hasil uji balistik di Labfor Makassar. Komnasham Anggap Telah Terjadi Pelanggaran Sementara itu, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnasham) Pusat, Ifdhal Kasim menegaskan, kasus penembakan di Wamena itu merupakan pelanggaran terhadap hak hidup orang. "Penembakan pada suatu kerumunan yang sedang melakukan aksi damai seperti memperingati hari pribumi internasional itu, ada aparat yang melakukan penembakan dan mengakibatkan tewasnya orang, dimana aksi itu juga tidak mengancam ketertiban umum, maka itu jelas merupakan pelanggaran, pelanggaran atas hak hidup orang lain," paparnya. Karena ini merupakan pelanggaran terhadap hak hidup, maka kasus ini harus diungkap dan meminta pertanggungjawaban dari orang yang melakukan penembakan itu.Dengan kejadian ini, Komnasham meminta kepada pihak kepolisian untuk menuntaskan dengan jelas, siapa yang melakukan penambakan. "Pengungkapannya harus tuntas," tandasnya.Menurutnya, menghadapi dinamika politik local yang menggunakan bintang kejora, pemerintah tidak menghadapinya dengan cara kekerasan atau menggunakan pendekatan keamanan. "Karena itu kami mendorong agar mengutamakan pendekatan dialogis, agar ada penyelesaian dalam mengatasi bintang kejora ini," ujarnya. (fud)

Thursday, 7 August 2008

Kongres AS Desak SBY Bebaskan Anggota OPM

NEW YORK, KAMIS - Sejumlah anggota Kongres Amerika Serikat melayangkan surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang isinya antara lain meminta Yudhoyono memastikan pembebasan segera dan tanpa syarat dua separatis Organisasi Papua Merdeka, Filep Karma dan Yusak Pakage. Surat yang ditandatangani 40 anggota Kongres tersebut dialamatkan kepada Yudhoyono dengan penulisan alamat "Dr. H Susilo Bambang Yudhoyono, President of the Republic of Indonesia, Istana Merdeka, Jakarta 10110, Indonesia". Surat itu antara lain berbunyi, "Kami, para anggota Kongres AS, yang bertandatangan di bawah ini dengan hormat meminta Bapak (Presiden Yudhoyono, red) memberikan perhatian terhadap kasus Filep Karma dan Yusak Pakage, yang pada Mei 2005 dijatuhi hukuman karena keterlibatan mereka dalam kegiatan damai yang dilindungi hukum, yaitu bebas mengeluarkan pendapat, di Abepura, Papua, pada 1 Desember 2004." "Kami mendesak Bapak mengambil langkah untuk memastikan pembebasan segera dan tanpa syarat bagi Bpk Karma dan Bpk Pakage," demikian bunyi kalimat di bagian bawah surat. Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat Sudjadnan Parnohadingrat membenarkan adanya surat dari sejumlah anggota Kongres AS yang langsung ditujukan kepada Presiden Yudhoyono. "Memang benar. Surat itu tertanggal 29 Juli 2008 dan dikirimkan melalui kita. Sudah kita kirimkan ke Jakarta," kata Sudjadnan, Rabu (6/8). Ia melihat bobot kepentingan yang terkandung dalam surat tidak ringan. "Yang mengirimkan sudah tingkat Kongres AS. Dan yang memberikan tandatanganpun cukup banyak, 40 anggota Kongres," ujarnya. Menurutnya, pertanyaan dan kritik seputar penahanan Filep Karma dan Yusak Pakage juga cukup banyak dilontarkan oleh berbagai pihak di AS. "Tapi selalu kami katakan bahwa keduanya (Filep dan Yusak, red) ditahan karena ada unsur pidana. Proses hukumnya juga sudah tuntas dijalankan, mulai dari tingkat pengadilan tingkat pertama, banding, kasasi, hingga keputusan dari Mahkamah Agung," kata Sudjadnan. Kepada pihak-pihak yang mempertanyakan penahanan Filep dan Yusak, paparnya, Indonesia selalu menerangkan bahwa kedua separatis Papua Merdeka itu ditahan bukan karena melakukan demonstrasi, tetapi lebih karena materi unjuk rasa yang selalu mereka usung, yaitu ingin menciptakan Papua merdeka. "Setiap negara punya kategori, apa yang dianggap menjadi ancaman terhadap keamanan. Amerika, misalnya, mereka anggap terorisme sebagai ancaman. Bagi negara kita, tidak hanya terorisme. Upaya memerdekakan bagian dari wilayah NKRI adalah masalah serius. Itu sudah termasuk ancaman terhadap keamanan," tegas Sudjadnan. Ia juga menekankan bahwa pemerintah Indonesia tidak mungkin campur tangan dalam masalah pembebasan Filep dan Yusak dari tahanan. "Pemerintah tidak boleh mencampuri wilayah tersebut. Itu kewenangan pihak yudikatif," katanya, mengingatkan. Tentang surat dari 40 anggota Kongres, Sudjadnan mengungkapkan bahwa KBRI Washington D.C. sendiri dalam waktu dekat akan mengirimkan surat balasan. "Isinya, ya sama seperti yang kami telah paparkan kepada khalayak di AS yang pernah mempertanyakan soal penahanan Filep dan Yusak," katanya. Filep Karma dan Yusak Pakage pada Mei 2005 dijatuhi hukuman 15 dan 10 tahun penjara dalam kasus makar pengibaran bendera Bintang Kejora di Lapangan Trikora, Abepura, pada 1 Desember 2004.

Friday, 1 August 2008

Ditolak, Pembangunan Markas TNI di Belu

SUARA PEMBARUAN DAILY

[KUPANG] Rencana pembangunan markas TNI untuk batalyon baru dan kompi kavaleri tank di wilayah Kabupaten Belu dan Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timor (NTT), ditolak Uskup Atambua, Mgr Dominikus Saku Pr. Pembangunan markas TNI di dua kabupaten ini bukan merupakan kebutuhan mendesak karena yang dibutuhkan masyarakat adalah keadilan sosial.
Uskup Atambua, Dominikus Saku ketika dihubungi SP melalui telepon selulernya, Jumat (1/8) pagi mengatakan, penolakan rencana pembangunan markas TNI tersebut sudah dikemukakan langsung saat pertemuan dengan Komandan Komando Resor Militer (Danrem) 161 Wirasakti, Kol Inf Winston Pardamean Simanjuntak di Atambua, awal pekan ini.
Dijelaskan, pertemuan itu merupakan tindak lanjut terhadap Surat Tanggapan Uskup, setelah pihaknya menerima surat dari Kodim 1605 Belu dan Kodim 1618 TTU. Di mana, Komandan Kodim (Dandim) 1605 Belu memohon bantuan Bupati Belu menyediakan lahan antara 50 - 70 hektare (ha) dekat jalan utama di kota Atambua untuk pembangunan markas batalyon kavaleri tank.
Selain itu, dalam surat tertanggal 19 Mei 2008 tersebut, diminta pula lahan antara 30 - 40 ha untuk pembangunan markas kavaleri tank dan pembangunan kompi penyerbu di wilayah selatan Betun dan wilayah utara di Atapupu dengan luas lahan 10 ha hingga 15 ha.
Hal yang sama diajukan Dandim 1618 TTU dalam suratnya, tanggal 22 Mei 2008 kepada Bupati TTU dengan memohon penyediaan lahan untuk pembangunan markas batalyon infanteri di atas lahan antara 60 - 70 ha dan pembangunan markas kompi kavaleri tank dengan luas lahan antara 9 - 10 ha.
Menyuarakan
Terhadap permohonan tersebut, pihak gereja dalam hal ini keuskupan, perlu menyuarakan suara masyarakat. Untuk itu dalam rapat di tingkat keuskupan, sudah secara tegas ditolak rencana tersebut. Kehadiran pasukan yang cukup banyak bukan merupakan kebutuhan yang mendesak karena yang dibutuhkan masyarakat adalah ketenangan. Apalagi kondisi di wilayah perbatasan Indonesia - Timor Leste relatif aman dan kondusif.
Uskup Dominikus menjelaskan, dalam diskusi bersama itu, Danrem didampingi Dandim 1605 Belu, Dandim 1618 Belu, Komandan Batalyon (Danyon) 744/ SBY serta sejumlah perwira lainnya, banyak hal yang diutarakan. Bahkan Danrem mengutarakan soal ancaman dari luar yang akan merongrong kewibawaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Terhadap masukan ini, tambahnya, pihaknya tetap pada pendirian bahwa kehadiran militer memang sangat dibutuhkan manakala kondisi wilayah perbatasan sedang dalam keadaan perang. Saat ini, justru kehidupan masyarakat berjalan sangat baik, apalagi antara masyarakat di Timor Barat dan masyarakat Timor Leste memiliki akar budaya yang sama.
Danrem 161/ Wirasakti, Winstion Pardamean Simanjuntak mengatakan, kehadiran markas TNI di perbatasan Indonesia - Timor Leste sudah melalui pengkajian. Hal ini dikarenakan, ada upaya dari luar untuk merongrong kewibawaan NKRI. Mengantisipasi hal-hal tersebut, diperlukan tambahan pasukan TNI di kawasan perbatasan. Untuk itu, diharapkan adanya kemauan baik semua pihak terkait untuk bersama-sama memikirkan masa depan bangsa. [120]
Last modified: 31/7/08